Buddha

Gotong Royong Ala Orang Pedesaan Implementasi Praktik Baik Kerukunan

Gotong royong ala orang pedesaan Implementasi Praktik Baik Kerukunan

Gotong royong ala orang pedesaan Implementasi Praktik Baik Kerukunan

Kesederhanaan Kehidupan

Kehidupan menjadi unsur penting dalam peradaban manusia. Bentuk kehidupan manusia sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor pribadi manusia tersebut. Faktor eksternal ini bisa dari faktor keluarga, faktor lingkungan, faktor pendidikan, faktor kondisi, faktor situasi dan yang lainnya yang dapat mempengaruhi kehidupan seseorang. Seperti kehidupan orang di pedesaan dengan orang perkotaan memiliki perbedaan pandangan pada sudut pandang kehidupan.

Orang kota dalam mengambil keputusan terhadap permasalahan membutuhkan ketelitian dan kerumitan dalam analisis, tetapi orang di pedesaan akan melakukan keputusan analisis yang sederhana. Bahkan orang pedesaan tidak memikirkan segala sesuatu menjadi rumit, tetapi secara sederhana dan tidak ingin ada masalah yang timbul baginya.

Pola pikir orang pedesaan sangat sederhana tetapi tidak mengabaikan kebijaksanaan karena orang pedesaan tidak berpikir rumit. Orang pedesaan selalu apa yang dipikirkan ya itulah yang dilakukan, tidak ada intrik dan siasat. Berbeda dengan kehidupan orang di perkotaan banyak persaingan dan intrik dalam segala aktivitas demi bertahan hidup.

Falsafah bagi kita khususnya orang Jawa memegang agama sebagai ageman atau apa yang dipakai, maka melakukan sesuai berdasarkan keyakinan dan hati nurani. Pengamalan nilai-nilai agama yang dianut menjadi nafas kehidupannya. Kesederhanaan hidup yang sudah mendarah daging dalam kehidupannya membentuk karakter seseorang untuk mengurangi keserakahan.

Apalagi bila memiliki pemahaman terhadap adanya Hukum Karma bahwa segala perbuatan yang dilakukan, baik maupun buruk akan membuahkan hasil. Hal ini sejalan dengan syair pada Brahmaviharapharana (Paritta Suci) sebagai berikut:

Sabbe Satta
Kammassaka,
Kammadayada,
Kammayoni,
Kammabandu,
Kammapatisarana.
Yam kammam karisanti
Kalyanam va papakam va
Tassa dayada bhavisami


Semua makhluk adalah pemilik perbuatan mereka sendiri,
Terwarisi oleh perbuatan mereka sendiri,
Lahir dari perbuatan mereka sendiri,
Berkerabat dengan perbuatan mereka sendiri,
Terkantung pada perbuatan mereka sendiri.
Perbuatan apapun yang akan mereka lakukan,
Baik maupun buru,
Perbuatan itulah yang akan mereka warisi.

Syair ini bukan hanya menjadi slogan di dalam hidup bermasyarakat, namun benar-benar terimplentasi dalam tindakan pada kehidupan nyata sehari-hari. Setiap orang memiliki rasa tepo sliro yang tinggi dalam melakukan berbagai hal dan mengedepankan perbuatan baik sebagai cerminan kepribadian. Kesederhanaan hidup kadang maknanya termarjinalkan dengan kehidupan yang miskin.

Sebenarnya kesederhanaan hidup lebih bermakna pada pola kehidupan yang tidak rumit, namun tetap elegan dan bersahaja. Karena ukuran kehidupan sederhana tergantung pada persepsi setiap individu memaknainya. Kesederhanaan ini lebih bernakna pada ketidakrumitan sesuatu, baik pola pikir, sistem, maupun peraturan yang diterapkan.

Kepedulian terhadap lingkungan juga menjadi faktor penting dalam menjaga sikap dan perilaku. Untuk melakukan sesuatu hal yang tidak sesuai norma yang disepakati di lingkungannya, maka seseorang akan memikirkan dampak lingkungan sekitarnya. Bukan pelanggaran yang melanggar hukum pun yang menjadi pertimbangan dalam bertindak.

Contoh:
Kesepakatan tidak tertulis masyarakat setempat bila ada yang berduka para tetangga pasti bergotong-royong membantu. Bila ada tetangga yang bersikap angkuh tidak mau peduli, pasti jadi pembicaraan dan hukumannya saat dia terkena hal yang sama, maka orang juga tidak mau peduli.

Praktik Kerukunan Masyarakat

Kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk memberikan suatu nuansa tersendiri. Kerukunan hidup beragama telah diwariskan dari nenek moyang bangsa Indonesia. Hal ini sudah menjadi budaya kehidupan bangsa ini, namun demikian perlu senantiasa kita pupuk dan lestarikan budaya tersebut dalam kehidupan saat ini. Banyak faktor yang mempengaruhi budaya gotong-royong ini memudar dari budaya bangsa kita, bila tidak kita jaga dan lestarikan. Kita patut bersyukur sebagai bangsa Indonesia memiliki Pancasila. Dalam pengimplementasian nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dapat kita lihat dari beberapa kegiatan yang ada di masyarakat.

Contoh yang terbaru yang masih segar dalam ingatan kita adalah ritual Thudong para bhikkhu yang berjalan dari Thailand sampai di Candi Borobudur untuk menjalankan ibadah Peringatan Tri Suci Waisak 2567 Tahun Buddha. Selama perjalanan dan sepanjang perjalanan di wilayah Negara Kesatuan Indonesia dari Batam sampai Kabupaten Magelang Jawa Tengah telah kita lihat bagaimana indahnya toleransi beragama dan kerukunannya. Para Bhikkhu tersebut sepanjang perjalanannya disambut oleh berbagai elemen masyarakat yang terdiri dari berbagai agama yang ada. Masyarakat kita yang ramah memberikan segala keperluan para bhikkhu tersebut tanpa sekat agama, suku, ras dan golongan.

Semuanya berbaur dan melebur menjadi satu dengan suasana suka cita. Inilah makna dari penerapan moderasi beragama yang digaungkan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia. Ini merupakan contoh nyata yang dapat kita lihat beritanya dari berbagai media.

Selain itu juga kehidupan toleransi beragama dan kerukunan hidup beragama sangat kental kita temukan disekitar kita, khususnya di kehidupan pedesaan. Kehidupan orang desa yang sangat sederhana dalam pemikirannya senantiasa menjaga hubungan dengan warga sekitar sebagai keutamaannya. Kesederhanaan dalam berpikir ini juga mempengaruhi dalam hubungan sosial kemasyarakatan misalnya di desa Prigi. Orang Desa Prigi lebih menghargai sebuah hubungan ketimbang materi. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan.

Di desa Prigi masih mengikuti tradisi-tradisi setempat yang diwariskan oleh para leluhur pendahulu. Kegiatan kemasyarakatan tersebut dapat berupa kerja bakti bersih yang dikenal dengan sebutan gugur gunung. Gugur gunung bisa berupa bersih-bersih lingkungan, bersih-bersih jalan, membangun rumah ibadah baik masjid maupun vihara, bersih-bersih makam, dan sebagainya.

Kegiatan gotong-royong yang dikenal dengan sebutan Sambatan. Sambatan ini dapat berupa kegiatan membangun rumah, mencangkul di ladang, mencangkul dan menanam padi di sawah, kegiatan hajatan, dan sebagainya. Kegiatan hajatan ini memiliki berbagai macam diantaranya hajatan mantu atau perkawinan, hajatan parasaran bayi, hajatan sunatan atau khitanan, hajatan pitonan atau tujuh bulan kehamilan, dan sebagainya untuk hal yang membahagiakan.

Ada hajatan yang kaitannya dengan kematian yaitu melayat saat warga meninggal, kemudian hajatan untuk peringatan Nelung Dino (Peringatan 3 hari), Mitung Dino (Peringatan 7 hari), Matangpuluh (Peringatan 40 hari), Nyatus (Peringatan 100 hari), Pendak Pisan (Peringatan 13 bulan), Mendak Pindo (Peringatan 26 bulan), Nyewu (Peringatan Seribu Hari), Ngekoli (memberikan pelimpahan jasa yang waktunya tidak ditentukan).

Pada saat-saat melaksanakan kegiata-kegiatan dimaksud, warga desa Prigi bergotong-royong tanpa memikirkan perbedaan keyakinan yang dianut. Warga desa Prigi memiliki warga yang menganut Agama Islam dan menganut Agama Buddha. Mereka berbaur satu sama yang lainnya saling asah, asih dan asuh, serta harmonis dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan sosial bersama. Yang mencirikhaskan bahwa kegiatan yang dilakukan adalah kegiatan yang bernuansakan Agama Islam atau Agama Buddha adalah pada saat pelaksanaan doanya, yaitu doa dipimpin oleh Pemuka Agama Islam karena yang punya hajat (punya gawe atau punya kegiatan) beragama Islam atau doa dipimpin oleh Pemuka Agama Buddha karena yang punya hajat (punya gawe atau punya kegiatan) beragama Buddha.

Namun untuk yang hadir dalam kegiatan tersebut tidak membedakan orang beragama Buddha ataupun beragama Islam. Mereka tidak pernah mempertentangkan perbedaan keyakinan dalam menjalani kegiatan sosial bersama.

Biasanya yang sering berkonflik terkait perbedaan keyakinan itu adalah para pimpinan organisasi karena adanya ego dan prinsip organisasi, tetapi kadangkala berseberangan dengan tujuan berorganisasi. Tujuan berorganisasi secara umum adalah mencapai tujuan yang menjadi kesepakatan bersama. Di akar rumput di pedesaan, mereka tidak terlalu berkepentingan dengan prinsip organisasi karena mereka lebih mengedepankan sebuah hubungan dengan warga sekitar. Hal ini disebabkan oleh pemikiran yang sederhana dan berprinsip bahwa “hal bahagia perlu undangan” namun ”hal kesedihan tidak memerlukan undangan”.

Hal ini dapat dilihat dalam praktik kegiatan sambatan orang punya hajatan. Contoh: pada saat mau mantu biasanya yang punya gawe (yang punga hajat) mendatangi sanak-saudara dan warga lingkungannya untuk membantu menyiapkan segala perlengkapan hajatan, baik sarana prasarana maupun konsumsi. Semua yang bekerja sukarela dan tidak perlu memberikan upah, bahkan orang yang membantu bekerja pun saat datang masih membawa sembako.

Di desa segala sesuatu di kerjakan bersama-sama karena di desa tidak ada jasa chatering dan jasa sewa tenda, maka untuk memenuhi hal tersebut bergotong-royong dilakukan bersama tanpa melihat perbedaan agama. Bahkan bila hajatan terkait hal duka, contoh terkait peringatan kematian, maka warga sekitar datang membantu mempersiapkan sarana prasarana dan konsumsi tanpa menunggu undangan. Mereka begitu mendengar tetangganya ada melaksanakan hajatan peringatan kematian secara otomatis membantu segala keperluannya baik sarana prasarana dan penyiapan konsumsi, bahkan datang dengan membawa sembako.

Hubungan sosial yang terjalin di pedesaan didasarkan pada kemurnian hubungan persaudaraan dan ketulusan hati. Praktik kegiatan sosial seperti ini sudah sangat jarang ditemukan di hubungan masyarakat perkotaan karena kesibukan individu lebih mendominasi. Sebenarnya bila kita mau menilik kembali pola kehidupan masyarakat pedesaan yang sederhana dapat memberikan inspirasi dan pencerahan dalam kehidupan yang damai, sederhana, dan tentram, namun tetap elegan dan bersahaja. Kehidupan yang harmonis dan rukun senantiasa tercermin dalam kehidupan masyarakat pedesaan tanpa terkecuali masyarakat desa Prigi, walaupun masyarakatnya memeluk dua keyakinan yang berbeda, yaitu Agama Islam dan Agama Buddha.

Dari kehidupan penulis kecil hingga saat ini belum pernah terjadi konflik warga yang berlatar belakang agama. Ini membuktikan bahwa pola kehidupan gotong-royong ala masyarakat pedesaan lebih efektif dan mampu menjaga kerukunan, baik kerukunan hidup bermasyarakat maupun kerukunan hidup beragama. Inilah praktik baik kerukunan yang nyata dalam kehidupan ala orang desa.

Daftar Pustaka
1. Tim Penyusun Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, Diterbitkan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Jakarta, 2019.
2. Bhikku Dhammadhiro, Paritta Suci, Penerbit Yayasan Sangha Theravada Indonesia, Jakarta 2005.
3. Y.M. Jinadhammo Mahathera, Y.M. Dharmasuryabhumi Mahathera, Y.M. Viriyana Mahathera, Y.M. Nanasuryanadi Mahathera, & Y.M. Nanakaruno Mahathera, Paritta (Buku Tuntunan Puja Bhakti), Sangha Agung Indonesia, 2019
4. Narasumber Romo Wanito Subronto Sesepuh Masyarakat Desa Prigi dan Tokoh Agama Buddha Vihara Dharmajati Desa Prigi.

Penulis: Yayuk Sri Rahayu, S.Ag. (Penyuluh Agama Buddha Provinsi Jawa Tengah)


Fotografer: Istimewa

Buddha Lainnya Lihat Semua

Ilustrasi
Kasih Sayang Ibu
Buddha Wacana
Keyakinan Benar

Mimbar Agama Lainnya Lihat Semua

Khutbah Jumat
Keagungan Ramadan