Buddha

Makna Pattidana 

Ilustrasi

Ilustrasi

Yatha varivaha pura paripuranti sagaram, evameva ito dinnam petanam upakampati, Adasi me akasi me Natimitta sakha ca me, Petanam dakkhinam dajja pubbekatamanussaram

Artinya: Sebagaimana sungai yang airnya mengalir memenuhi lautan, demikianlah persembahan yang disampaikan sanak keluarga menuju kepada para mendiang; Di waktu lampau mereka (yg telah meninggal) memberi ini kepadaku, melakukan yang baik untukku, mereka adalah kerabatku, saudara, teman, patut diberikan persembahan dana kepada mereka yang telah meninggal dan mengingat apa yang telah mereka lakukan. (Tirokudda Sutta,bait 8-9.)

Ajaran Agama Buddha mengenal tradisi menghormat dan mengenang jasa para leluhur yang telah meninggal dengan melaksanakan Pattidana. Sembahyang Pattidana merupakan praktik melimpahkan jasa kebajikan yang dilakukan oleh sanak keluarga yang masih hidup kepada sanak keluarga atau leluhur yang telah meninggal dengan harapan dan doa semoga mereka dapat terlahir kembali di alam bahagia (surga). Ajaran luhur ini juga dilakukan oleh umat Buddha dengan budaya yang berbeda (berakulturasi) seperti Nyadran (di Jawa), dan Cheng Beng (Tionghoa).

Cheng Beng merupakan istilah popular dalam Bahasa Hokkian yang berarti “terang dan cerah”. Hari yang cerah dan terang dianggap sebagai hari yang tepat untuk mengenang dan menghormati mendiang orang tua atau leluhur bagi masyarakat Tionghoa. Mereka melakukan sembahyang Cheng Beng sebagai rutinitas tahunan yang tahun ini berakhir tanggal 5 April. Sembahyang Cheng Beng ditandai dengan ziarah kubur (datang ke makam leluhur untuk membersihkan dan bersembahyang) atau dengan membawa makanan tradisional serta alat persembahyangan, seperti teh, arak, dupa, kertas sembahyang, aksesoris dan berbagai alat persembahan.

Makna sesungguhnnya dari Pattidana, seperti halnya sembahyang Cheng Beng atau Nyadran adalah mengenang dan menghormat jasa para leluhur. Namun, cara terbaik melakukan pelimpahan jasa menurut Buddha adalah dengan memberikan persembahan (catupaccaya) kepada Bhikkhu Sangha atas nama leluhur yang telah meninggal. Dalam Tirokuda Sutta dinyatakan bahwa persembahan seperti itu akan bermanfaat bagi mendiang dalam waktu yang sangat lama.

Penghormatan serta balas jasa yang dilakukan oleh sanak keluarga kepada mendiang atau leluhur bukan hanya sekedar mengikuti tradisi, namun dilandasi oleh pengertian yang benar. Selain mempertahankan tradisi yang dilaksanakan secara turun temurun oleh nenek moyang, kegiatan ini patut dilakukan sebagai bagian dari mempertahankan dan memperkaya khasanah budaya bangsa.

Sembahyang Pattidana yang dilaksanakan oleh umat Buddha, maupun Cheng Beng yang dilakukan oleh umat tradisi Tionghoa dan Nyadran oleh umat tradisi Jawa serta tradisi serupa lainnya di Indonesia, apapun agamanya selaras dengan ajaran Buddha yang telah membudaya dan dapat diterima sebagai tradisi di masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya moderasi beragama telah mengakar kuat di masyarakat. Mengenang mereka yang telah berjasa dalam kehidupan dengan mempersembahkan dan melakukan hal-hal yang berguna dan bermanfaat merupakan kewajiban bagi kita sebagai anak bangsa. Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya?.

Semoga semua makhluk berbahagia,

Sumidah, S.Ag., MM, (Penyuluh Agama Buddha PNS Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten)


Fotografer: Hilman Fauzi

Buddha Lainnya Lihat Semua

Mimbar Agama Lainnya Lihat Semua