Feature

Kisah Pahlawan: Syarif Hidayat, Mengajar Berbekal Dua Liter Beras

Ilustrasi: Mega Halimah

Ilustrasi: Mega Halimah

Bagaimana seorang petani biasa memimpin madrasah selama 35 tahun dan membuat sistem pembayaran melalui beras?

Kampung itu bernama Cilulumpang, berjarak 37 km dari Kota Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Kemarau panjang sedang melanda tempat itu: sawah-sawah gersang, sungai yang mulai mengering dan pepohonan yang meranggas. Untuk mencapai kampung tersebut, penulis harus melalui jalanan yang cukup terjal dan melintasi kebun-kebun karet yang berada di lereng bukit Warungkiara. Jalanan pun masih belum diaspal, beberapa masih berupa marka yang belum rapi dan berkerikil. DI sana, kita akan bertemu seorang petani dengan kehidupan yang sederhana, tapi ia adalah cahaya bagi warga Cilulumpang dengan madrasah yang dipimpinnya.

“Daerahnya sangat jauh, Kang. Semua warga bertani, tapi sekarang lagi paceklik,” tutur tukang ojek yang mengantar saya dari pangkalan ojek Cikidang, pinggir jalan raya, 8 km dari kampung Cilulumpang. Satu jam kemudian saya sampai di sebuah bangunan berwarna coklat yang dibagi empat petak kecil-kecil berukuran 6x4 meter. Tepat di depan bangunan itu ada papan kayu bertuliskan: Diniyah Takmiliyah Awaliyah Miftahul Aulad.

Di sanalah, Syarif Hidayat memimpin sebuah madrasah kecil bagi anak-anak. Bangunan ini berdiri sejak tahun 1980.

Berawal dari inisiatif H Atang, sesepuh Kampung Cilulumpang yang melihat ketiadaan lembaga pendidikan agama di kampung tersebut, ia mengajak warga mendirikan madrasah. Tak lama setelah itu, datanglah seorang pemuda. Ia alumni pesantren Siqoyatur Rohmah, Sukabumi, asuhan KH Mahmud Mudrika Hanafi. Kelak, pemuda 25 tahun itu menikahi Wewen, putri H Atang.

Nama pemuda itu Syarif Hidayat. Setelah beberapa waktu seusai pernikahan berlangsung, ia dipercaya mengelola madrasah tersebut. Di madrasah itu, aia mengajar akhlak, fikih, ibadah ubudiyah dan syariah. Ada sekitr 130 – 140 murid setiap tahun yang belajar di sini. Dari sekitar 2000 warga Kampung Cilulumpang, 90% pernah mengaji di madrasah ini. Saat ini, ia dibantu 5 orang guru yang kebanyakan alumni madrasah tersebut.

“Kiai Syarif itu ulama, guru bagi warga Cilulumpang. Kesabaran yang diajarkan pada kami, khususnya mengelola anak-anak agar selalu punya akhlakul karimah,” ungkap Ustadz Ismail, guru sekaligus alumni Madrasah Miftahul Aulad.

Mungkin tidak pernah terbayangkan dalam benak Syarif Hidayat bahwa madrasah yang diamanahkan kepadanya itu kini mampu bertahan hingga 35 tahun. Tentu bukan waktu sebentar, ia seakan tak percaya hal ini bisa terjadi. “Semua ini pasti karena barokah,” ujarnya.

Berbekal Beras Dua Liter
Mata pencaharian utama warga di Kampung Cilulumpang adalah bertani. Tidak banyak yang berprofesi di bidang lain, entah itu berdagang, apalagi pegawai. Tingkat pendidikan di kampung ini juga tidak terlalu tinggi. “Rata-rata ya SMP atau SMA. Kebanyakan yang muda pergi ke kota, jadi buruh,” papar Sopyan (28 th), putera kedua Syarif Hidayat.

Sopyan yang juga aktif di Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LPPNU) Kota Sukabumi ini menjelaskan, bagaimana susahnya menjadi petani di Kampung Cilulumpang. Praktis, hanya musim penghujan sawah bisa ditanami padi. Selebihnya, sawah akan dibiarkan. Ketiadaan irigasi atau waduk yang mampu menampung air hujan menjadi penyebab utama. Efeknya, dalam setahun warga cuma dua kali panen saja. “Kalau sudah musim kering, sawah akan dibiarkan saja. Kira-kira 4-5 bulan per tahun sawah jadi tidak produktif,” tambahnya.

Beras menjadi komoditi utama di kampung ini, tapi hasilnya pu tidak terlalu banyak. Syarif Hidayat pun harus memutar otak, bagaimana supaya anak-anak tetap mendapatkan pendidikan agama tanpa memberatkan warga. “Kaau di SD, pendidikan agama hanya satu jam seminggu, kalau nggak ada madrasah repot. Mereka 1-2 jam sehari bisa diajar agama. Biar agama tersebar, akhlaknya bagus, ditambah kitab-kitab,” ujarnya.

Untuk memudahkan pendidikan di madrasah, ia berinisiatif untuk menggunakan beras sebagai metode pembayaran. “Untuk mempermudah warga. Dulu 1 liter per bulan, sekarang naik 2 liter. Tapi itu pun tidak tiap bulan,” ungkapnya.

Syarif Hidayat pernah memakai uang untuk alat tukar untuk biaya pendidikan madrasah, namun macet. Jarang orang tua murid mampu membayar biaya madrasah. Hal ini tentu membuatnya berpikir lebih keras, apalagi terkait dengan penghasilan – meskipun untuk hal ni para guru tidak pernah mengeluh. Jika beras sudah terkumpul akan dibagi rata kepada enam guru yang mengajar di madrasah.

“Itu kalau ada, kebanyakan tidak ada. Tiga sampai empat bulan baru ada,” tambahnya. Syarif Hidayat mengisahkan bahwa perolehan beras ini tidak lancar tiap bulan. Apalagi jika musim paceklik melanda. Yang tidak membayar pun banyak. “Yang penting anak bisa sekolah. Bisa belajar agama,” tambahnya.

Sementara itu untuk mencukupi kebutuhan bulanan madrasah seperti kaur, listrik dan lain sebagainya, ia biasa menggunakan dana pribadi. Tak jarang juga urunan sesama guru, bahkan menurut Ustadz Ismail, tak jarang ia mengajak murih untuk patungan membeli kapur, seribu rupiah tiap murid. Selebihnya, sistem ini mampu membuat madrasah menjadi dinamis, tidak terpaku pada uang-uang bulanan.

Hal berbeda ketika musim panen tiba. Para orang tua murid biasanya akan datang ke madrasah dengan membawa beras, bersamaan dengan digelarnya samenan (kenaikan kelas) yang dilakukan setahun sekali. Di acara semanen ini pula akan digelar ngaleseng (pidato) adri murid dan jamuan bersama hasil dari beras yang dikumpulkan. Tapi sebagaimana hukum pasar, semakin banyak sebuah barang semakin turun harga barang tersebut. Semakin banyak beras yang terkumpul, maka harganya pun kian turun. Itu terjadi tiap tahun.

“Kalau dihitung misalnya, setahun dapat 2.400 liter beras, kalau diuangkan biasanya di sekitar 10 jutaan/tahun. Lalu, ya dibagi rata. Kalau dihitung kurang dari 2 juta/tahun untuk seorang guru. Perbulan tiap guru dapat bisyaroh 200 ribu-an,” papar Ustadz Ismail, lulusan angkatan pertama madrasah Miftahul Aulad.

Ia menambahkan, seperti yang sering diajarkan Kiai Syarif, madrasah bukanlah tempat mencari keuntungan pribadi tapi mengabdi. “Prang pertama yang mengajarkan saya agam aya Pak Syarif. Ngajarin kitab. Ia tokoh ulama yang mengajarkan agama di Kampung Cilulumpang. Dan kampung ini dianggap agamanya bagus dibanding dengan lain karena beliau,” tambahnya.

Sebagaimana lazimnya manusia pada umumnya, terkadang Syarif Hidayat juga terkendala urusan keuangan. Ia memiliki tiga anak: Abdullah Alawi (32 tahun), Sopyan (28), dan Geugeu Awliyah (22). Ketiga anaknya mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, sedangkan ia sendiri hanya lulus SD dan bekerja sebagai petani biasa. “Paling tidak ya harus mengeluarkan biaya 3 juta per bulan,” katanya.

Penghasilannya tiap tahun sebagai petani rata-rata hanya mampu panen tidak kurang 15 kuintal per tahun. Dari madrasah tentu tidak besar. Sama dengan guru-guru lain. “Kadang-kadang ada undangan ceramah di hajatan. Tapi ada saja. Pokoknya mah, min haisu la yahtasib,” selorohnya, tertawa.

Teringat Wasiat Kiai
Ketika suasana hatinya sedang gundah dan tantangan sekamin berat, ia selalu teringat sosok Ajengan Mahmud Mudrika Hanafi, pemimpin Pesantren Siqoyatur Rahmah, Sukabumi, tempat ia nyantri berpuluh-puluh tahun lalu. “Kalau kamu mukim di tengah masyarakat banyak gangguannya, lanjutkan. Kalau tidak ada gangguan, jangan diteruskan,” ujar Syarif mengingat sosok gurunya tersebut. Kepalanya menerawang dan kelimatnya sedikit terbata-bata kala melafalkan kalimat tersebut. Menurutnya, kalimat tersebut adalah sebuah wasiat dan hingga kini ia pegang teguh.

Jik aada sesuatu yang membuatnya bertahan hingga saat ini, bisa jadi itu karena wasiat dari Ajengan Hanafi, begitu ia biasa menyapa gurunya. Kata-kata itu pula yang memantapkan hatinya untuk tetap mengajarkan agama, menyiarkan Islam dan membina akhlak masyaraka kampung Cilulumpang. Syarif pun mengakui tantangannya saat ini lebih berat dibanding masa-masa sebelumnya, terlihat dari persentasi jumlah santri yang tinggal di kobong (asrama). Santri yang tinggal di kobong ini biasanya bukan sekadara mengaji di madrasah diniyah, melainkan juga ngaji kitab-kitab yang diajarkan saat subuh dan malam hari, dan jumlahnya terus berkurang.

“Kalau dulu, ada sekitar 30 – 4- an santri. Anak sekarang uangnya ada, bukunya terbeli, eh anaknya yang nggak mau,” tukasnya.

Ia membandingkan santri zaman sekarang dengan dulu. Dahulu warga desa biasa berjalan kaki, banyak jug adari warga kampung lain dan berkilo-kilo jauhnya, tetap datang ke madrasah untuk ngaji. “Sekarang sudah pada pakai motor, malah nggak aya nginep di kobong. Ngaji. Alasannya takut ketinggalan sekolah. Padahal mah dulu jalan kaki biasa,” tambahnya.

Ia berusaha tetap bijak melihat ini. Tantangannya kini berbeda. Namun, hal itu tidak pernah menyurutkan langkahnya untuk tetap bertahan mengajar. Bahkan, ia bercita-cita mendirikan madrasah tingkat wustho (menengah). “Kalau ada madrasah tsanawiyah (MTs), anak-anak bisa belajar agama lebih banyak lagi. tidak perlu jauh ke daerah lain. Tidak perlu jalan kaki 3 km untuk ke SMP terdekat di kecamatan,” ujarnya.

Mendirikan MTs tentu tidak mudah, apalagi selama 35 tahun Madrasah Miftahul Aulad berdiri belum memiliki akta resmi, sebuah yayasan sebagai payung kelembagaan madrasah. Selama ini, akta masih menginduk ke yayasan orang lain dan untuk madrasah yang ia pimpin sedang dipersiapkan legalitasnya.

Belakangan ia berpikir, bagaimana bisa memperbaiki kobong yang sudah mulai rusak berat itu dan -walaupun para guru itu tidak pernah mengelu – kesejahteraan guru madrasah itu. Ketiga anaknya juga sudah belajar di perguruan tinggi. Ia berharap anaknya bakal menjadi generasi penerus, mengelola madtasah dan mendirikan MTs sebagaimana yang ia idamkan. Tentunya jika ada bantuan dari pemerintah atau lembaga lain, akan cukup membantu. Namun menurutnya, ada atau tidaknya yayasan tidak akan berpengaruh pada proses belajar-mengajar di Miftahul Aulad.

Toch, selama ini kegiatan terus berjalan dan guru-guru terus akan berjuang bersama membangun masyarakat. “Sampai semampunya, saya tidak mau kalah. Sampai liang lahat, saya tidak akan berhenti belajar dan mengajar sesuai perintah agama,” ujarnya.

Dedik Priyatno
Tulisan ini diambil dari buku “Mendidik Tanpa Pamrih: Kisah para Pejuang Pendidikan Islam” yang diterbitkan Ditjen Pendidikan Islam, Kemenag, tahun 2015.


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Feature Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua