Feature

Se-amin Walau Tak Se-iman

Ammy Sudarmin (Guru PAI SMK Negeri 1 Tana Toraja)

Ammy Sudarmin (Guru PAI SMK Negeri 1 Tana Toraja)

Aku dan Tuhanku dengan caraku
Dan engkau dengan TuhanMu dengan caramu
Serta Mereka dengan TuhanNya dengan cara mereka
Kita tetap se-amin walau tak se-iman

Hidup dalam masyarakat majemuk dan plural dengan berbagai latar belakang adalah sebuah keniscayaan di Indonesia. Salah satu faktor yang memengaruhi keberagaman tersebut adalah faktor geografis. Indonesia yang luas dan terdiri dari ribuan pulau, menciptakan peluang besar terhadap keberagaman seperti suku, budaya, ras, serta golongan termasuk agama dan kepercayannya.

Rakyat Indonesia bebas memeluk agama dan menjalankan ibadahnya masing masing. Hal ini termaktub dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 1 dan 2. Peraturan ini memberi legitimasi kepada semua insan yang berkewarganegaraan Indonesia untuk memiliki hak perogatif dalam berkepecayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai sila pertama dalam Pancasila.

Dalam praktik kehidupan sehari hari, baik dalam aktivitas pemerintah maupun kegiatan kemasyarakatan, keyakinan kepada Tuhan ditandai dengan ibadah sesuai cara pemeluknya masing-masing. Mengawali dan mengakhiri berbagai aktivitas dengan cara religious, yaitu berdoa yang dibahasakan pula sesuai keyakinan masing-masing.

Aktivitas ini merupakan santapan sehari-hari dan berjalan sebagaimana mestinya, sejak dahulu hingga saat ini. Bukan lagi menjadi persoalan siapa yang memandu atau memimpin doa tersebut. Sebab, masing-masing pihak dari kalangan yang berbeda keyakinan telah mampu menyikapi dengan cara masing-masing.

Sebagian ikut menundukkan kepala lalu melafaz doanya sendiri dalam hati, sebagian ada yang ikut mendengarkan lalu mengaminkan, dan sebagian lagi tidak ikut sama sekali walau tetap menjaga kekhidmatan dengan tidak bersuara. Semua itu sah-sah saja.

Kita tidak bisa memaksa naluri beragama seseorang untuk bertindak sesuai standar norma kita. Ini merupakan hubungan eksklusifnya dengan Tuhannya di mana tata cara ibadahnya juga merupakan milik pribadinya sendiri sesuai keyakinannya.

Lalu bagaimana jika perbedaan keyakinan itu terjadi dalam satu atap?

Membayangkannya saja sepertinya akan membuat otak semrawut, ribet, dan otomatis menyimpulkannya menjadi susah bahkan cenderung mustahil. Bagaimana tidak, tata cara ibadah notabene akan berbeda, makanan pun ada takaran dan standar halal haramnya masing-masing.

Namun dalam perjalanannya, ternyata hal ini tidak sesulit dalam bayangan kita.
Di Tana Toraja, kehidupan beragama yang majemuk pada satu rumah tangga banyak dijumpai. Ada yang suami istri dengan agama yang berbeda dan anak-anaknya pun diberi kebebasan untuk memilih ikut pada kepercayaan mana yang sesuai hati nuraninya. Ada yang dalam satu rumah tangga, orang tuanya berbeda agama dengan anak-anaknya karena beberapa faktor, antara lain pernikahan atau anaknya memilih jalannya sendiri.

Tak jarang dijumpai dalam sebuah rumah bahkan terdiri dari beberapa organisasi keagamaan. Jika itu adalah Islam, maka sesama saudara, kadang berbeda organisasi, Kakak sebagai Muhammadiyah dan adeknya NU. Itu sah saja saja di mana kehidupan bermuamalahnya sama sekali tidak terganggu dengan itu. Jika saudara kita yang Nasrani, kerap dijumpai orang tuanya Kristen Protestan namun anaknya dapat terbagi menjadi beberapa denominasi. Anak-anaknya bisa menjadi Kristen Protestan mengikuti orang tuanya, namun ada juga yang kemudian menjadi Katolik serta menjadi Pantekosta. Tak jarang ada yang kemudian memeluk Advent di mana ibadahnya justru pada hari Sabtu, bukan Minggu seperti saudara-saudaranya yang lain.

Sekali lagi, itu menjadi hal yang lumrah. Tak memicu konflik seperti yang ada dalam bayangan awal kita.

Belum lagi sebuah rumah yang di atasnya beragam, di mana terdapat Pemeluk Aliran Kepercayaan (Aluk Todolo) yang dilebur sebagai Hindu, Kristen Protestan, Katolik dan ada yang Islam. Ini bisa kita temukan, dan sampai sekarang tidak pernah ada berita negatif yang mencuat akibat perbedaan itu.

Yang ada adalah saling pengertian, saling menghargai bahkan saling mengingatkan. Mengingatkan di sini contohnya, jika waktu salat tiba, maka keluarga yang beragama lain akan mengingatkan untuk melaksankan salat. Saat salah salah satu anggota keluarga sedang beribadah, maka yang lain secara naluriah menjaga kekusyukan itu.

Saat perayaan hari raya, semua akan ikut terlibat dalam proses persiapannya terkecuali pada proses ibadah masing masing. Yang muslim kadang membantu memasang pohon Natal, membantu persiapan Paskah serta berbagai persiapan lainnya dengan sekali lagi terkecuali proses ibadahnya.

Sebaliknya, yang Nasrani dan Aluk Todolo ikut sibuk menyiapkan hidangan buka puasa serta ikut larut dalam euforia lebaran dengan segala pernak perniknya. Lalu, dikala Aluk Todolo sedang melaksanakan ritual, maka yang Nasrani, dan Islam hadir untuk ikut memeriahkan. Menyaksikan dan memberi ucapan selamat. Tak lebih. Dan itu berjalan dengan sangat alami. Tanpa paksaan, tanpa embel embel namun semata karena ikatan kemanusiaan terlebih ikatan kekeluargaan yang sangat kuat bagi suku Toraja.

Ikatan ini terjadi atas penanaman nilai-nilai kekerabatan yang tinggi sejak lahir. Orang tua mengajarkan sifat kekeluargaan yang kental. Bahwa tiap orang memiliki hak azasi untuk menjadi apa dan bagaimana, termasuk agamanya namun pertalian darah tidak dapat dihapus. Pepatah Toraja mengatakan "Darah yang mengalir dalam tubuh kita tidak akan mampu dipisahkan dan dibersihkan, bahkan jika seluruh air di Sungai Saddang digunakan untuk mencucinya".

Hal ini pula yang menjadikan berbagai aktivitas budaya di Tana Toraja, selalu menjadi ajang untuk silaturahmi. Siapapun dia, menetap di mana pun, serta agama apapun dia, maka akan berusaha hadir dan melebur dalam aktivitas tersebut.

Tentang takaran halal dan haram pada makanan, masing masing pihak sangat menjaga satu sama lain. Saat makan bersama, maka tak pernah kita meyaksikan hidangan yang haram bagi salah satu anggota keluarga. Ini sangat dijaga, termasuk sterilnya peralatan yang digunakan.

Uniknya, saat akan menikmati hidangan maka rutinitas doa bersama akan tetap dilaksanakan. Dipimpin secara bergiliran oleh siapa pun dengan agama dan keyakinan apapun. Terlepas dari siapa pun yang memimpin doa itu, maka yang lain akan menyesuaikan dengan tata caranya masing masing.

Yang Islam akan menengadahkan tangan sambal melafaz doa makan, yang Kristen membaca doa bapa kami dengan mengepal kedua tangan, yang Katolik akan membuat tanda salib lalu disambung dengan tata cara doanya. Yang Aluk Todolo pun akan merapal doanya juga dengan suara yang tidak mengganggu yang lain, hingga kata ‘Amin’ akan menjadi pertanda bahwa doa telah selesai dari pihak yang memimpin doa.

Yah, inilah toleransi yang sesungguhnya, di mana tak ada sekat sebagai sesama manusia. Yang ada adalah kebebasan untuk menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayannya. Saling jaga, saling menghargai dan tolong-menolong tanpa melihat latar belakang. Tentu saja, dengan batasan-batasan yang tidak dilanggar, terutama ibadah masing-masing.

Semua pihak boleh fanatik terhadap keyakinanya, namun juga harus sadar bahwa pihak lain juga akan berpegang teguh pada kepercayannya itu. Jika kita telah sadar akan fakta tersebut maka niscaya kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara akan damai tenteram dan sejuk sepanjang waktu.

Karena kita sadar bahwa Kita bisa se-amin walau tak se-iman.

Ammy Sudarmin (Guru PAI SMK Negeri 1 Tana Toraja)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Feature Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua