Hindu

Mendidik Anak Suputra dalam Keluarga

Mujirah S Pd. (Rohaniwan Hindu)

Mujirah S Pd. (Rohaniwan Hindu)

Om Swastyastu. Om Awignam Astu namo sidham. Om Sidhirastu tad astu astu swaha, Om Ano Bhadrah Kratavo Yantu Visvatah. Semoga pikiran yang baik datang dari segalan penjuru semesta.

Sahabat pelita Dharma. Anak adalah harapan dalam sebuah keluarga. Bahagia atau tidaknya sebuah rumah tangga, antara lain ditentukan oleh kehadiran seorang anak.

Dalam pandangan Agama Hindu, seorang anak merupakan pewaris sekaligus penyelamat bagi orang tua dan para leluhur. Begitu pentingnya peran dan kedudukan seorang anak, maka setiap keluarga tentu mengharapkan lahirnya seorang anak yang suputra, seorang anak yang berbudi pekerti luhur, cerdas, bijaksana dan mampu mengangkat dan martabat orang tua, keluarga dan masyarakat.

Dalam Nitisastra Sloka 3.14 disebutkan, ekenaapi suvrksena, puspitena sugandhitaa, vaasitam tadvanam sarvam, suputrena kulam yatha. “Seluruh hutan menjadi harum baunya, karena terdapat sebuah pohon yang berbunga indah dan harum semerbak. Demikian pula halnya bila dalam keluarga terdapat putra yang suputra.”

Lantas, bagaimana agar dalam sebuah keluarga memiliki anak suputra?

Dalam konsep Hindu, mendidik seorang anak dimulai semenjak dalam kandungan. Hal ini termuat dalam lontar Semara Reka dan Angastya Prana. Untuk dapat mendidik anak agar menjadi seorang yang suputra, maka terlebih dahulu orang tualah yang harus mengubah dirinya menjadi pribadi yang baik.

Karena itu, dianjurkan dalam sastra agar seorang perempuan mengandung setelah melalui proses upacara perkawinan agar sanghyang kama ratih dalam diri orang tua telah disucikan sebelum bertemu dan menjadi benih. Hal ini sangatlah penting. Sebab, ibarat menanam, maka benih dan ladang harus dibersihkan dan disucikan terlebih dahulu untuk mendapat hasil yang baik.

Mendidik anak semasih di dalam kandungan atau yang diistilahkan prenatal, dimulai dari pembenahan pola fikir dan sikap kedua orang tua. Saat mengandung, kedua orang tua sesungguhnya sedang beryoga untuk mampu mengekang dan menghindari segala sesuatu yang tidak baik agar tidak berpengaruh pada janin. Wanita hamil diharuskan untuk terhindar dari perasaan yang kuat, misalnya marah, sedih, terlalu bergembira, terlebih lagi sampai bertengkar. Sebab, perasaan tersebut akan mempengaruhi perkembangan dan karakteristik si bayi.

Masa-masa ngidam bagi wanita hamil merupakan sebuah ujian bagi para calon ayah. Sebab, sesungguhnya saat itu si calon bayi sedang menguji keteguhan sang calon ayah untuk membuktikan bahwa dia adalah seorang yang pantas dan bertanggung jawab untuk dijadikan orang tua. Jika sampai ada calon ayah yang mengabaikan istri pada saat hamil, maka akan lahir seorang anak yang berani kepada orang tua. Sesungguhnya semua itu menjelaskan kepada kita bahwa seberapa pun beratnya kondisi, rasa emosi, dan perasaan yang tidak baik lainnya, maka semua itu harus dikendalikan karena masa kehamilan adalah masa beryoga bagi kedua orangtua.

Setelah pendidikan dalam kandungan, maka ada pendidikan setelah bayi lahir atau yang diistilahkan pascanatal. Dalam konsep ajaran Hindu, seorang anak yang baru lahir hingga berusia enam tahun tak ubahnya seperti seorang dewa. Maka, perlakukanlah dia seperti seorang dewa. Tidak diperbolehkan melakukan kekerasan terhadap anak usia tersebut, baik itu berupa kekerasan kata-kata maupun fisik. Pendidikan seorang anak dalam fase seperti dewa telah diterapkan oleh para leluhur kita sejak lampau.

Ketika si anak sudah menginjak usia enam sampai dua belas tahun, maka dia tidak ubahnya seperti seorang raja. Dia sudah mulai meminta ini dan itu. Sebisa mungkin orang tua harus menuruti, tentunya dalam batas-batas yang wajar. Jika anak agak nakal, maka harus dinasehati dengan sabar dan dengan kasih sayang, seperti menasihati seorang raja. Sebab, dalam masa ini seorang anak sedang mengembangkan kemampuan otaknya sehingga memiliki rasa ingin tahu yang sangat tinggi.

Saat anak sudah berusia dua belas hingga tujuh belas tahun, maka dia harus mulai diajarkan disiplin. Seorang anak harus mulai diberi tugas dan tanggung jawab. Ajari anak untuk melakukan tugasnya dengan bertanggung jawab. Misalnya, diberi tugas menyapu, mengepel, mebanten, dan sebagainya.

Dalam masa ini, orang tua harus bisa menerapkan ajaran Catur Naya Sandhi yaitu sama, beda, dhana, dan danda. Kapan orang tua harus berposisi sama dan sejajar dengan anak (sama), kapan harus memposisikan diri berbeda dengan anak, yaitu sebagai seorang guru dan pendidik sekaligus pengawas (beda), kapan saatnya orang tua harus memberikan hadiah kepada anak sebagai motivasi bagi si anak (dhana), dan kapan saatnya kita memberikan hukuman kepada anak (danda). Harus dipahami saat-saat yang tepat untuk menjalankan fungsi di atas.

Setelah anak berusia di atas tujuh belas tahun, maka orang tua harus bisa memposisikan diri sebagai seorang sahabat bagi anak-anaknya. Saat dewasa, seorang anak sudah mulai mengikuti kata hatinya, sehingga orang tua harus mampu memahami kondisi tersebut. Dengan bersikap seperti sahabat bagi si anak, maka akan ada keterbukaan antara orang tua dan anak sehingga orang tua akan lebih mudah mengontrol dan menasehati si anak. Sudah tidak tepat lagi dalam usia tersebut untuk memarahi dan mengekang anak seperti memarahi anak kecil. Hal tersebut justru akan membuat anak semakin jauh dan tertutup dengan orang tua.

Apa yang harus diajarkan kepada anak?

Pendidikan budhi pekerti bagi anak-anak dalam keluarga tedapat dalam Kitab Bhagavad-gita sebagai pedoman. Adapun sifat-sifat yang harus ditanamkan dan cara penamaannya adalah sebagai berikut:

1. Abhyasa, mengandung arti melatih diri, membiasakan diri terhadap hal-hal yang baik. Apa yang di abhyasa-kan? Semua perilaku yang baik harus dipraktikkan oleh orang tua dalam kehidupan sehari-hari. Orang tua harus mampu menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya. Anak harus sejak dini diajarkan untuk melakukan sembahyang, mengucapkan nama suci Tuhan secara teratur. Misalnya, anak harus dibiasakan mengucapkan Mantram atau doa sehari-hari. Disamping fungsi utamanya untuk menyucikan diri, mohon kejernihan pikiran dan keluhuran budhi pekerti, mantram juga dapat berfungsi sebagai kavaca (“baju sutra yang melindungi/menyelamatkan), maupun sebagai ”panjara” (benteng yang mencegah pengaruh negatif mempengaruhi diri dan lingkungan seseorang.

2. Tyaga, mengandung arti tulus ikhlas yakni ikhlas tanpa beban ketika menghadapi sesuatu. Sikap abhyasa dan sikap tyaga keduanya dapat dibandingkan seperti “maarkata nyaya” yaitu sikap anak kera, dan dengan ”marjara nyaya”, sikap anak kucing. Yang pertama berpegang erat-erat (seperti anak kera memegang erat-erat induknya saat ia dibawa kemana saja) dan melaksanakan ajaran agama sebaik-baiknya (bhakti), sedangkan yang kedua adalah seperti kepasrahan seekor anak kucing yang dicengkeram oleh mulut induknya saat berpindah-pindah. Seperti itu pulalah hendaknya kita pasrah dan menyerahkan diri kepada Tuhan.

3. Santosa, yang artinya puas menerima keadaan (santhusta), yakni dapat mensyukuri karunia-Nya. Seseorang tidak perlu terlalu menyesali diri, tetapi harus tetap optimis dalam menjalankan tugas kewajibannya. Kitab Weda menyatakan, tidak ada kegagalan bagi orang yang tekun berusaha.

4. Sthitaprajnya, yakni teguh dalam menghadapi tantangan, gelombang suka dan duka dalam menghadapi berbagai cobaan, hendaknya orang tetap berpegang teguh pada dharma.

Jika itu selaku orang tua tidak mampu mewujudkan semua itu maka kita gagal menjadikan anak yang suputra, yang didapat adalah anak kuputra – kebalikan dari suputra. Nitisastra Sloka 3.15 menyebutkan: “Seluruh hutan terbakar hangus hanya karena satu pohon kering yang terbakar. Bagitulah seorang anak yang kuputra menghancurkan dan memberikan aib bagi seluruh keluarga.”

Mari kita mengasuh dan mendidik anak dengan benar agar menjadi suputra. Om Santi Santi Santi Om

Mujirah S Pd. (Rohaniwan Hindu)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Rikie Andriyawan

Hindu Lainnya Lihat Semua

I Gusti Agung Istri Purwati, S.Sos, M.Fil.H (Penyuluh Agama Hindu Kankemenag Badung, Bali)
Mengatasi Stres

Mimbar Agama Lainnya Lihat Semua

Khutbah Jumat
Keagungan Ramadan