Internasional

Indonesia, Irak, dan Australia Jajaki Kerja Sama Pendidikan untuk Kaum Santri

Konferensi Internasional tentang Agama, Perdamaian, dan Peradaban

Konferensi Internasional tentang Agama, Perdamaian, dan Peradaban

Jakarta (Kemenag) --- Indonesia dan Irak tengah menjajaki kerja sama penguatan pendidikan bagi kaum santri. Hal tersebut dibahas dalam diskusi meja bundar dibahas di sela perhelatan akbar Konferensi Internasional tentang Agama, Perdamaian, dan Peradaban yang diselenggarakan Majelis Ulama Indonesia bekerja sama dengan Liga Muslim Dunia di Jakarta.

Evan ini berlangsung tiga hari, 21-23 Mei 2023. Hadir, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama Waryono Abdul Ghafur, serta ulama luar negeri, termasuk dari ulama Irak dan Australia.

“Indonesia memiliki 40.000 pondok pesantren, 148 di antaranya adalah Ma’had Aly yang fokus khusus dalam kajian keislaman. Mahasiswa dari Irak sangat dimungkinkan untuk nyantri di lembaga-lembaga kami ini,” jelas Waryono di Jakarta, Senin (22/5/2023).

Para ulama Irak menyambut baik gagasan tersebut. Mereka mengatakan bahwa “dan sangat baik bagi pelajar-pelajar dari Indonesia untuk dapat belajar di Irak.”

Hal senada disampaikan oleh Syekh Salim, ulama Australia. “Darul Fatwa memiliki beberapa hektar lahan dan mahasiswa-mahasiswa dari Indonesia dapat mampir dan menginap di sana,” sebutnya.

Hadir juga dalam diskusi tersebut, antara lain KH. Sholahudin Al-Hadi (Katib Syuriyah PCNU Kab. Bekasi), Dr. Andi Hadiyanto (Dosen Universitas Negeri Jakarta), KH. Ali Sobirin El-Muannatsy (Pengasuh Pondok Pesantren Nihadlul Qulub Moga, Pemalang, Jawa Tengah), dan Ustadz Hasan Bashori dari Pojok Gus Dur.

Semantara rombongan dari luar negeri yang hadir dalam diskusi tersebut antara lain Prof. Dr. Hazim Thorisy Hatim, Universitas Imam Kazhim; Syekh Sattar Jabar Hilo Al-Zahrany, Komunitas Sabean Dunia; Syekh Dr. Nihad Khalil Naji Al-Any, Direktur Lembaga Bimbingan Masyarakat Islam; Dr. Abdul Kareem Naser Mahmood Al-Ismail, Majma’ Fiqh; Syekh Sayid Ehsan Assayid Sholeh al-Hakim, Lembaga Dialog dan Perdamaian Imam Husein; dan Syekh Dr. Hameed Al Khafaji, Institute for Peace and Peace Building dari Irak, serta Syekh Prof. Dr. Salim Alwan Al-Husayni, Ketua Umum Darul Fatwa Australia.

Diwawancarai usai diskusi, Ali Sobirin menyambut baik gagasan pertukaran santri Indonesia, Irak, dan Australia.

“Kita tahu, pada abad 7-8, Irak mengalami masa kejayaannya. Utamanya pada masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid, khalifah kelima dari kekhalifahan Abbasyiyah yang kita kenal sangat adil dan bijak,” jelas Pengasuh Pondok Pesantren Nihadlul Qulub yang juga penulis buku Teknologi Ruh.

“Kita umat Islam mengalami masa keemasan ilmu pengetahuan pada masa itu. Kitab-kitab para salafush-sholihin berlimpah ruah di berbagai bidang, dan menjadi benih lahirnya era renaisance bahkan ilmu pengetahuan modern hingga sekarang ini,” lanjutnya.

“Akan sangat baik jika para santri kita dapat menyerap ruh kejayaan dan belajar ilmu pengetahuan di berbagai bidang yang berserak di negeri 1001 Malam itu, sekaligus untuk kita muslim Indonesia dapat berpartisipasi aktif dalam mewujudkan perdamaian dunia,” pungkasnya.

Sementara itu Ustadz Hasan Bashori menyampaikan “Kita tahu bahwa almaghfurlah Gus Dur adalah juga alumni Universitas Baghdad.”

“Beliau sosok yang dapat dilihat untuk melihat keberlimpahan ilmu pengetahuan di Irak sana,” pungkas pengampu Pojok Gus Dur.

Deklarasi Jakarta
Konferensi Internasional tentang Agama, Perdamaian, dan Peradaban yang diselenggarakan oleh Majelis Ulama Indonesia bekerjasama dengan Liga Muslim Dunia di Jakarta ini dihadiri berbagai tokoh agama, seperti tokoh-tokoh agama dari berbagai ormas Islam, para tokoh agama dari berbagai agama, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.

Konferensi ini juga melahirkan Deklarasi Jakarta dengan tiga poin penting sebagai berikut:

1. Agama adalah sumber ajaran transformasional sebagai pedoman bagi penganutnya untuk hidup damai, harmoni, dan menjadi inspirasi dalam membangun peradaban. Karena mengajarkan nilai-nilai universal seperti hak dan kewajiban asasi manusia, toleransi, kesetaraan, dan persaudaraan kemanusiaan

2. Perbedaan adalah keniscayaan. Pemerintah dan kekuatan civil society harus berupaya menjaga, menghormati, dan melindunginya, serta mendorong menjadi kekuatan bersama dalam membangun kemajuan peradaban. Untuk itu, kerukunan antarumat beragama harus terus dilakukan

3. Diperlukan langkah konkret secara bersama memperkokoh aliansi global dalam ikut serta menyelesaikan berbagai konflik melalui dialog agar dapat menciptakan keamanan, perdamaian, dan dapat bersama-sama membangun peradaban.


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Internasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua