Katolik

Kaya di Hadapan Allah

Mimbar Katolik

Mimbar Katolik

Bila dibaca dari awal hingga akhir perumpamaan yang disampaikan Yesus (Lukas 12:13-21) pada hari ini, akan terasa betapa kosongnya kehidupan orang kaya dalam perumpamaan ini. Ia tidak mempunyai teman bicara. Ia hanya berbicara dengan diri sendiri. Ia bahkan tidak minta keringanan Allah bahwa malam itu jiwanya akan diambil.

Mungkin orang itu tak lagi dapat mendengar peringatan itu. Bahkan harta miliknya yang menjadi berkah dari atas itu tidak bisa menjadi barang hidup baginya. Tanah, panenan, lumbung, barang-barang yang dipunyai itu hanyalah obyek belaka yang hanya untuk dimiliki dan ditata/disusun, tidak pernah diupayakan berkembang agar makin “terasa ada dan berguna”.

Orang itu tidak tahu bagaimana mengisi kesepian hidupnya. Ia justru makin mengisolasi dirinya dengan membangun lumbung yang makin luas dan yang akhirnya malah menguburkannya hidup-hidup. Ia bahkan tak sempat menjadi kawan bagi dirinya sendiri. Ia memperbudak diri dengan tidak mendengarkan yang sayup-sayup masih ada dalam nalarnya, yaitu untuk mengamalkan harta yang dia punya pada orang lain.

Kita dapat tahu hal ini karena dikatakan Allah dalam ayat 20 “…untuk siapakah itu nanti?” Suara hatinya sedemikian tertimbun kekayaannya sendiri. Orang kaya itu sebetulnya ingin rujuk dengan dirinya sendiri dulu, ia ingin menikmati istirahat, makan-minum, dan bersenang-senang (ayat 19). Ini bukan hal buruk, bahkan dalam pandangan umum waktu itu, harta ialah berkat Ilahi (bdk. dengan kisah Ayub) yang mesti dikembangkan seperti talenta dan tidak dipendam atau dijauhi. Yang mempunyai bisa makin menikmatinya dengan mengajak orang banyak. Sikap inilah yang tidak dilakukan orang kaya itu.

Hal yang tidak dibuat oleh orang kaya itu adalah kemauan untuk mengamalkan hartanya. Di situlah mulai timbul ketamakan. Sikap penuh dengan diri sendiri dan tak butuh berbuat apa-apa lagi kecuali memiliki, memiliki, dan memiliki. Entah harta, entah pangkat, entah keahlian. Tapi gaya hidup itu nanti akan membuat orang yang bersangkutan tak berarti apa-apa. Perumpamaan itu ditutup dengan pernyataan “Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan Allah”. Ajaran yang mau disampaikan: jadilah kaya di hadapan Allah!

Pribadi yang “kaya di hadapan Allah” adalah Yesus sendiri. Dia yang memiliki segala-galanya, namun tidak berusaha mempertahakankan milik itu, tetapi membagikan kepada semua orang. Mari kita belajar dari kebodohan orang kaya itu untuk kemudian mengikuti apa yang diteladankan Yesus, tidak mengumpulkan harta untuk diri sendiri, tetapi memberikan apa yang kita punya untuk banyak orang sehingga baik kita maupun orang lain semakin berkelimpahan.

Gregorius Heri Eko Prasojo (Pembimas Katolik Provinsi Kepulauan Bangka Belitung)


Fotografer: Istimewa

Katolik Lainnya Lihat Semua

Mimbar Agama Lainnya Lihat Semua