Kisah Inspiratif

Najiah: Kisah Guru Ngaji dari Banjar

Najiah lahir di Kambat Utara, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (disingkat HST), Kalimantan Selatan pada 6 Juli 1942.

Najiah lahir di Kambat Utara, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (disingkat HST), Kalimantan Selatan pada 6 Juli 1942.

Pagi itu Najiah gelisah. Dengan keriput wajahnya, perasaanya berkelebat begitu kuat meraba seakan terjadi sesuatu terhadap diri atau keluarganya. Makan tidak enak, tidur pun juga. Nenek 74 tahun itu mondar-mandir saja, karena batinnya centang-perenang. Mulutnya terus komat kamit berdzikir, melafalkan Asmaul Husna. Akhirnya, ia memutuskan berwudhu dan sembahyang Sunnat. Dan memanjatkan doa kepada- Nya, memohon petunjuk dan ketenangan batin. Kemudian, al-Qur’an ia lantunkan dengan hikmat.

Tak dinyana, kegelisahannya terjawab. Sore itu Najiah menerima seorang tetangga yang berkunjung ke rumahnya bernama Ibrahim. Pak Ibrahim berkata, “Nenek, besok ikut saya ya, ke kantor imigrasi buat diambil foto.” Najiah bingung, “Buat apa, Pak?” ujarnya. Sambil tersenyum simpul Pak Ibrahim bertutur, “Redy anak saya dan isterinya mau memberangkatkan Nenek pergi umroh tahun ini.” Najiah terpana dan meneteskan air mata. Badannya menggigil. Setengah tidak percaya, setengah bersyukur. “Inikah undanganmu, ya Allah? Alhamdulillah,” batinnya.

Ia pun mengucapkan banyak terima kasih kepada keluarga besar Bapak Ibrahim. Hingga Najiah berangkat umroh pada 2009 lalu, atas kedermawanan Redy dan isterinya. Keluarga besar mereka memang telah belajar mengaji dengan Najiah. Bahkan, isteri dari Redy, orang Manado yang kemudian masuk Islam, juga belajar membaca al-Qur’an dengan sang nenek. Mereka seperti keluarga sendiri.

Najiah lahir di Kambat Utara, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (disingkat HST), Kalimantan Selatan pada 6 Juli 1942. Ia anak pertama dari empat bersaudara. Mereka terdiri dari tiga perempuan dan satu orang laki-laki. Kedua orang tuanya asli HST, Muhammad Rafi’i dan Sabariah adalah seorang petani. Ayahnya hanya sempat sekolah hingga tingkat tsanawiyah dan ibunya berijazah SR (Sekolah Rakyat).

Sejak kecil Najiah telah didik pelajaran agama Islam oleh kedua orang tuanya. Namun, ia juga mendapatkan dasar-dasar keislaman di bangku sekolah. Meski tidak pernah mengecap pendidikan di pondok pesantren, Najiah kecil tekun belajar. “Zaman dulu itu, hampir setiap hari di kampung saya, ada kegiatan agama, seperti majelis taklim, yasinan, burdah, pengajian al Qur’an, tahlilan, dan sebagainya,” kenangnya. Mungkin karena ikatan kekeluargaan yang kuat dan ketiadaan fasilitas teknologi seperti listrik dan hiburan–“karasmin” kata orang Banjar–jadi anak-anak era itu cepat dan fokus belajar mengaji.

Setelah Najiah remaja, pernah suatu kali rombongan pengajian yang ingin ke desa sebelah untuk mengikuti pengajian akbar diperiksa aparat keamanan. “Kami ditanya ini-itu, karena memang saat itu, masa-masa panas politik setelah G 30 S 1965. Tapi, alhamdulillah kami kemudian diizinkan pulang karena dianggap tidak berbahaya, ya karena memang kami bukan orang politik, cuma sekadar ingin mengikuti tahlilan di kampung tetangga saja,” kenangnya getir.

Sebagai anak desa dengan kondisi ekonomi yang tak berpunya, Najiah hanya sempat sekolah hingga tingkat tsanawiyah. Kemudian, ia sempat bekerja sebagai tenaga honorer di sebuah kantor pemerintah di Batu Mandi, HST. Ia kemudian dijodohkan oleh keluarganya dan menikah dengan Isya Ansyari. Lelaki itu sebenarnya masih kerabat jauh. Keluarga suaminya ini adalah perantauan Banjar di Serawak, Malaysia. Isya sendiri mengenyam pendidikan hingga PGA (Pendidikan Guru Agama). Setelah menikah dan melahirkan anak pertamanya, Abdul Mujib, Najiah dan suami kemudian memilih merantau ke Gambut, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Di sanalah, ia lantas melahirkan putra kedua, bernama Mahli.

Pasca menetap selama sepuluh tahun di Gambut, keluarga kecil Najiah pindah ke Banjarmasin. Di sana, kerabatnya yang kebetulan belum memiliki keturunan, memintanya tinggal satu atap bersama. Pasca menetap di sana, pasangan suami-istri ini dianugerahi dua orang putera lagi, yakni Yusni dan Subhan Ramadani. Isya Ansyari, sang suami, telah lama berpulang keharibaan, pada 2003 silam.

Kini nenek dengan lima cucu ini, tinggal dengan Yusni dan Subhan Ramadani di rumah panggungnya yang amat sederhana di Gang Melati, Kelurahan Kebun Bunga, Kecamatan Banjarmasin Timur. Seperti diketahui, umumnya masyarakat Banjar membuat rumah panggung dengan bahan kayu besi (ulin) karena kondisi tanah yang berawa.

Mengajar Mengaji
Berprofesi sebagai guru mengaji suatu yang tak pernah dicita-citakan perempuan yang memiliki tinggi 161an berat 86 kg itu. Riwayat sebagai guru mengaji ini sebenarnya tak disengaja. Sewaktu tinggal di Gambut, ia merasa berkewajiban mendidik dasar-dasar ajaran Islam kepada anaknya. “Saya mengaji tata cara sembahyang dan membaca al-Qur’an kepada Mujib,” katanya. Ternyata Mujib belajar dalam tempo tiga bulan sudah bisa menamatkan al Qur’an. Saat itu dia sangat bersemangat dan rajin sekali. Najiah pun sangat senang dan bangga melihat ketekunan anaknya.

Tanpa disangka, suatu hari ada tetangga Najiah yang–mungkin karena sering mendengarkan siap hari rutinitas tadarus ibu-anak itu. Para tetangga berdatangan meminta tolong kepadanya untuk bersedia mendidik anak-anaknya membaca al-Qur’an. Jika ia ikut pengajian, yasinan atau tahlilan dengan warga sekitar, Mujib sering diajak. Karena terpikat dengan kefasihan sang anak membaca al-Qur’an, banyak ibu tertarik dan meminta Najiah mengajari anak mereka. Maka, makin bertambahlah jumlah murid mengaji di kediamannya.

Sejak saat itu, rumah saya setiap hari dikunjungi anak-anak belajar mengaji. Dengan tersipu ia mengenang masa itu, “setelah sekian puluh tahun, murid-murid saya dulu di Gambut itu, kini alhamdulillah sudah banyak yang sarjana dan berhasil dalam karir dan berumah tangga. Hingga sekarang, kami semua masih menjalin silaturahmi. Rasanya senang sekali dan bangga pada mereka,” ungkapnya.

Di Banjarmasin, terjadi hal yang serupa. Saat Najiah mendidik Subhan Ramadhani selepas Maghrib secara rutin, banyak tetangga yang menitipkan anaknya diajari mengaji. Memang saat itu di daerah sekitar tempat tinggal mereka belum berdiri taman pendidikan al-Qur’an (TPA). Maka, tidak heran banyak orang tua yang risau ingin menyekolahkan anaknya agar mampu dan fasih membaca al-Qur’an.

Hampir setiap hari, rumah Najiah diramaikan tadarus al-Qur’an. Bertahun-tahun kegiatan tersebut tiada putus hingga 2013 lalu. “Murid mengaji tidak hanya anak-anak, tapi juga ada yang dewasa. Tentu, jadwalnya berbeda. Kalau jadwal mengaji untuk anak-anak selepas Maghrib, nah untuk jadwal murid dewasa, biasanya mereka datang ke rumah sore hari,” katanya. Memang saat itu belum berdiri TPA di kampung ini. Tapi, tidak menutup kemungkinan jika diperlukan, Najiah siap datang menyambangi rumah murid dewasa.

Sejak 2013 lalu, Najiah berhenti sebagai guru mengaji. “Saya tidak lagi mengajar mengaji di rumah, karena memang sudah tidak ada lagi murid yang ingin diajari. Alhamdulillah, sekarang di sini sudah ada TK al-Qur’an, lembaga formal yang secara sistematis dan modern mengajari mengaji,” ucapnya. Kini ia bisa aktif mengikuti pengajian di berbagai majelis taklim, yasinan dan tadarus al-Qur’an.

Najiah dan beberapa temannya secara rutin mengikuti tadarus sebanyak satu juz perhari. Aktivitas ini sudah dijalani selama empat tahun. Mereka juga belajar tafsirnya. Meski demikian, Najiah masih sering dimintai tolong memandikan jenazah perempuan oleh masyarakat.

Suka-Duka
Senyum simpul tersungging di bibir Najiah kala melihat foto-foto yang berisi gambar anak-anak murid mengaji zaman dulu itu. Ia mengenang masa lalunya muncul kembali dengan perasaan syukur sekaligus terharu.

Dalam proses mendidik, Najiah tidak pernah memasang tarif kepada orang tua murid, begitu juga murid dewasa. Namun jika ada yang memberi, entah berupa uang atau beras, dan lain-lain, ia tidak bisa menolak. Baginya terpenting keikhlasan. “Jika ada orang memberi, kita sambut. Kalau tidak ya tidak apaapa, semua karena Allah SWT saja. Kenapa saya tidak pernah memungut biaya? Malu. Karena saya bukanlah guru mengaji yang baik dan ilmu pun masih rendah, belum apa-apa dibandingkan dengan kemampuan guru mengaji lainnya, apalagi pengajar di TPA. Saya ini hanya orang tua biasa yang tak berilmu pesantren,” katanya. Ia anggap menjalani semua itu sebagai amal ibadah.

Apa rahasia keberhasilan mendidik anak agar berhasil membaca al-Qur’an? “Kunci dalam mengajar kepada anak-anak adalah sabar. Bagaimanapun, sifat anak-anak berbeda dengan orang dewasa. Dunia mereka itu memang masa bermain dan bercanda-tawa. Kadangkadang bandel juga. Tapi, pokoknya kita sebagai guru harus sabar, tidak boleh marah-marah apalagi main pukul. Mana boleh kita menegur atau menghukum anak orang lain dengan cara memukul. Memukul anak sendiri saja tidak tega, apalagi anak murid,” jawabnya.

Najiah merasa sebagai pendidik harus memiliki rasa kasih sayang yang tinggi. Najiah membagi cerita, “jika ingin menegur murid yang bandel, gunakanlah kata-kata yang lemah lembut dan diselingi dengan canda-tawa, kemudian ajak lagi buat fokus untuk mengaji. Kalau mendidik dengan cara-cara keras dan marah, pasti anak murid akan berhenti belajar dan akhirnya tidak berhasil tamat membaca al-Qur’an. Itu yang tidak saya inginkan.”

Pengalaman yang agak berbeda ia rasakan saat mendidik murid dewasa. Kendalanya, para murid dewasa sering kali harus lebih ekstra sabar mendidik. Usia berpengaruh terhadap kualitas ingatan manusia dan susahnya lidah yang kelu dalam pelafalan. Namun demikian, tidak semua orang tua yang belajar mengaji mengalami proses sangat lamban, banyak juga yang dengan tekun dan rajin akhirnya berhasil menamatkan al-Qur’an. Setiap murid berbeda-beda, tergantung ketekunan, baik anak-anak maupun dewasa.

“Harap dimaklumi, murid-murid saya yang dewasa, kebanyakan sudah berumah tangga dan bekerja. Aktivitas mereka padat, jarang ada waktu melatih dan mengulang bacaan al-Qur’an. Karena itu saya selalu menyarankan kepada orang tua untuk mendidik anaknya belajar mengaji sejak dini, biar cepat dan fasih membaca al-Qur’an,” ujar Najiah.

Panen Keberkahan

Setelah mendedikasikan diri dengan mendidik al-Qur’an kepada anak selama lebih setengah abad, Najiah merasakan banyak keberkahan dalam hidupnya. Baginya al-Qur’an itu pedoman sekaligus kompas kehidupan di dunia, agar manusia bisa selamat di dunia dan akhirat. Tegas ia katakan, “percayalah, membaca dan mengamalkan mukjizat dari Nabi Muhammad SAW ini, bukan tindakan sia-sia, melainkan banyak faedahnya!”.

Banyak bekas murid-murid Najiah yang kini sudah lama tak bertemu. Biasanya para murid merantau ke pulau Jawa atau luar daerah Kalimantan Selatan. Kadang Najiah dapat kiriman hadiah, uang, surat ucapan selamat Idul Fitri dari mereka. Setiap Lebaran, di rumahnya selalu saja ada tamu yang pernah sebagai muridnya. Ada yang datang sendiri, ada pula dengan keluarganya.

Najiah merasa bersyukur tidak pernah merasa kekurangan apapun. Sepanjang tahun keluarganya cukup beras. “Tiap harinya saya cuma perlu membeli lauk-pauk. Beras ini zakat fitrah dari tetangga dan bekas murid-murid saya. Bahkan, bisa dibilang stok beras di rumah ini berlebihan. Maka, sebagian saya sedekahkan kepada sanak famili. Tapi saya tidak mau menjualnya. Saya simpan baik-baik dan gunakan untuk konsumsi,” ungkapnya.

Ada pengalaman menarik tentang murid Najiah. Suatu hari ia berjalan kaki dan disapa seorang polisi bermotor. Pria itu berkata, “Ayo Nek, ikut saya saja, nanti saya antar. Nenek mau ke mana?” Najiah bingung karena merasa tidak mengenalnya. Lantas polisi itu mengaku bernama Rasyid, bekas muridnya. Dia baru pulang dari Bandung. Sekarang berdinas di Banjarmasin. “Saya kaget sekaligus gembira, melihat dia sekarang sukses dan masih ingat saya,” katanya. Lantas, Najiah diantar sampai tujuan.

Hikmah lain ia alami dalam mengamalkan al- Qur’an. Dalam hidup tentu ada saja masalah, dengan begitu, Tuhan memberikan petunjuk dan entah bagaimana selalu saja ada jalan keluarnya. “Sering kali saya sedang tidak punya uang, tapi tak begitu lama kemudian rezeki itu datang sendiri, entah ada yang memberi, entah dari mana munculnya. Saya yakin ini berkah dari mengamalkan al-Qur’an itu,” tegasnya.

Najiah bisa dikatakan hidup pas-pasan. Sebagai lansia, ia tidak memiliki pakaian bagus seperti perempuan lain yang berpunya. Tetapi, selalu saja ada bekas murid yang memberikan hadiah, seperti kerudung dan mukena atau pakaian muslimah. Selain itu, ia juga bersyukur karena dapat menyekolahkan semua anaknya hingga sarjana. “Anak-anak alhamdulillah semuanya lulus S1. Semua berprestasi, mandiri dan dapat beasiswa,” ungkapnya. Kini dua puteranya bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dan dua lainnya bekerja sebagai wiraswasta.

Najiah masih menyimpan cita-citanya menunaikan ibadah haji. “Anak-anak saya sudah daftarkan tabungan haji. Entah kapan bisa berangkat, saya pasrah sepenuhnya kepada Allah SWT. Semoga saja, sisa umur nanti, saya berkesempatan menunaikan rukun Islam yang terakhir itu dan menjadi mabrur,” harapnya.

Penulis: Muhammad Iqbal

​​​​​​​====

Artikel liputan ini pertama kali dimuat dalam buku "Mendidik Tanpa Pamrih. Kisah Para Pejuang Pendidikan Islam" (Jakarta: Kemenag RI, 2015).

Kisah Inspiratif Lainnya Lihat Semua

Artikel Lainnya Lihat Semua

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Koordinat
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Nol
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Kumpul
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Temu
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Jenuh