Kolom

Film Buya Hamka, Potret Kerinduan Generasi Digital

M. Fuad Nasar (Mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)

M. Fuad Nasar (Mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)

Ketokohan seorang manusia dianggap inspiratif apabila berjasa, membawa perubahan yang baik di masyarakat, dan melekat dalam ingatan kolektif banyak orang. Prof. Dr. Hamka atau Buya Hamka salah seorang tokoh inspiratif Indonesia dan dunia Islam.

Sebuah film tentang biografi ulama besar dan pahlawan nasional Hamka telah diluncurkan dan akan tayang di bioskop mulai 20 April 2023 mendatang. Dalam film biopik berjudul Buya Hamka, aktor Vino G. Bastian memainkan peran utama sebagai Hamka. Selain menggarap filmnya, rumah produksi Falcon Pictures melalui Falcon Publishing juga merilis novel biografi Buya Hamka karya Ahmad Fuadi berdasarkan skenario film dan diperkaya dengan riset penulisnya.

Kehadiran film Buya Hamka mengobati kerinduan generasi digital kepada sosok panutan. Wakil Presiden K.H. Ma'ruf Amin usai menyaksikan pemutaran perdana film Buya Hamka di Epicentrum XXI Kuningan Jakarta Selatan menganjurkan masyarakat supaya menonton film ini. "Buya Hamka seorang tokoh yang patut kita jadikan teladan, baik sebagai tokoh ulama maupun sebagai seorang pejuang bangsa dan juga sebagai sastrawan. Banyak pelajaran dan hal-hal yang bisa dijadikan teladan dan inspirasi. Seorang Hamka sejak muda berjuang untuk agama, bangsa dan negara," ujar Wapres.

Hamka, nama lengkapnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah lahir 17 Februari 1908 di Sungai Batang Maninjau Sumatera Barat. Sejak masa kecil dalam diri Hamka telah tampak tanda-tanda akan menjadi orang besar. Hamka menempuh pendidikan formal Diniyah School, Sumatera Thawalib Padang Panjang dan menuntut ilmu secara autodidak (belajar mandiri).

Semenjak zaman pra-kemerdekaan nama Hamka telah dikenal sebagai mubaligh dan pengarang. Ia memimpin majalah Pedoman Masyarakat di Medan sampai Jepang masuk. Dalam masa revolusi kemerdekaan (1948 – 1949) Hamka ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan RI. Saat itu ia Ketua Front Pertahanan Nasional (FPN) Sumatera Barat dan Kepala Penerangan Markas Pertahanan Rakyat Daerah (MPRD).

Hamka hijrah ke Jakarta setelah penyerahan kedaulatan sekitar tahun 1950. Ia pernah menjadi pegawai tinggi Kementerian Agama di masa Menteri Agama K.H.A. Wahid Hasjim tahun 1950-an. Setelah Pemilu 1955 terpilih sebagai anggota Konstituante dari Fraksi Masyumi. Perjuangan di bidang pers dilanjutkannya dengan menerbitkan Panji Masyarakat.

Pada tahun 1955 Hamka diangkat sebagai Guru Besar Pusroh Islam Angkatan Darat. Guru Besar Pusroh Islam Angkatan Darat berjumlah 7 orang yaitu: Dr. Hamka, Dr. Kaharuddin Yunus, K.H. Syukri Ghozali, K.H. Anwar Musaddad, H.S.M. Nasaruddin Latif, K.H.A. Abdul Gafar Ismail, dan H. Abubakar Aceh.

Waktu Kementerian Agama mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di Yogyakarta, Hamka diminta menjadi dosen luar biasa. Universitas Al-Azhar Mesir (1959) dan Universiti Kebangsaan Malaysia (1974) menganugerahkan Doctor Honoris Causa kepada Hamka. Pada tahun 1966 Dr. Hamka dikukuhkan sebagai Guru Besar di dalam bidang penggemblengan jiwa pada Universitas Prof. Dr. Moestopo Beragama.

Di ibukota Jakarta ia terus berdakwah, mengarang buku-buku agama serta mengisi siaran Kuliah Subuh RRI Jakarta dan Mimbar Agama Islam TVRI. Setelah Kongres Muhammadiyah di Ujung Pandang (1971) dan Padang (1975) sampai wafat Hamka menjadi Penasihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) terbentuk tahun 1975, Hamka terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum MUI pertama. Mantan Menteri Agama Prof. Dr. H.A. Mukti Ali dalam buku Hamka Di Mata Hati Umat (1983) mengemukakan bahwa berdirinya MUI adalah jasa Hamka terhadap bangsa dan negara, tanpa Buya lembaga itu tak akan mampu berdiri. Hamka meletakkan jabatan Ketua Umum MUI dua bulan sebelum berpulang ke Rahmatullah. Peranan MUI yang memayungi seluruh ormas Islam dibutuhkan guna memperkuat rasa persatuan dan kerukunan. “Akhlak Islam yang sejati, mengumpulkan, bukan memecah, memperdekat, bukan menjauhkan, mengatakan mari kemari, bukan mengusir keluar dari sini." tulis Hamka dalam buku Prinsip dan Kebijaksanaan Da'wah Islam.

Hamka adalah ulama yang merakyat dan mendakwahkan Islam dengan kegembiraan. Setiap tutur kata dalam ceramah maupun tulisannya memikat perhatian pendengar dan pembaca. Masjid Agung Al-Azhar dan Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar (YPI Al-Azhar) merupakan saksi perjuangan dakwah Hamka sebagai Imam Besar sejak masjid tersebut selesai dibangun tahun 1957.

Dalam sebuah kajian tasauf Hamka mengingatkan bahwa menjaga kebersihan jiwa sama pentingnya dengan menjaga kebersihan badan, dan ibadah yang kita lakukan memiliki hubungan dengan jiwa. Setiap pribadi muslim harus memperkuat jiwanya agar sanggup hidup dengan penuh cita-cita.

Kolomnis Kons Kleden, seorang Katolik yang pernah mewancarai Buya Hamka di tahun 1980, menulis di Harian Umum Pelita pengalaman dan kekagumannya pertama kali bertemu ulama besar itu. Berikut petikan tulisannya berjudul Sang Bapak Telah Pergi:

“Setengah lima sore saya sudah berada di rumahnya. Wawancara mulai diadakan jam lima. Namun melihat tamu yang antri di depan rumah, waktu itu saya ragu apakah janji tersebut dapat dipenuhi. Tua muda, pria maupun wanita berderet dari depan pintu hingga ke pagar. Semuanya punya satu tujuan: Bertemu dengan Buya. Saya pun ikut menunggu. Di samping saya duduk seorang lelaki setengah tua dengan sebuah tas berwarna hitam. Mengisi waktu luang saya sengaja mengajaknya ngobrol. ‘Lalu apa tujuan anda datang bertemu Buya?’, tanya saya. ‘Saya ingin meminta restu dari Buya tentang buku yang saya tulis di samping meminta Buya menulis sedikit sambutan.’ jawabnya. ‘Sudah lama kenal Buya?’ tanya saya lagi. ‘Ah, Buya itu kan milik masyarakat, siapa saja bisa datang kepadanya untuk minta tolong atau nasihat, jawabnya bersemangat.’ Selang beberapa waktu datang seorang pria yang kelihatannya sangat kumal. Ia bersalaman dan ngobrol bersama kami. Menilik pakaiannya ia seperti gelandangan saja. Tujuannya bertemu Buya adalah meminta sumbangan.... untuk dirinya. Menurut ceritanya, keluarganya tertimpa musibah. Ternyata ia yang malahan diterima duluan oleh Buya. Sama hangatnya, sama penuh perhatiannya, seperti Buya menerima tamu-tamu yang datang bermobil atau berdasi. Melihat hal itu ada perasaan kecil di dalam diri saya berhadapan dengan Buya. Jam lima tepat giliran saya untuk bertemu.“ kenang Kons Kleden.

Suatu hari dua orang muda mudi mahasiswa IKIP Jakarta datang ke rumah Hamka. Salah seorang memperkenalkan diri, anak sastrawan Pramoedya Ananta Toer. “Oh anak Pram, apa kabar bapakmu sekarang? tanya Hamka dengan ramah. “Sudah bebas Buya.” Jawab anak itu. Hamka memuji karya-karya Pram seperti Keluarga Gerilya, Subuh, dan lain-lain. Putri Pram itu meminta bantuan Hamka untuk membimbing pengucapan syahadat pemuda temannya itu yang akan menikahinya. Ketika akan pamit, Hamka titip salam untuk Pram. Anak itu menangis, mungkin dia tak menyangka akan diterima dengan sangat baik oleh seseorang yang pernah dimusuhi dan difitnah oleh ayahnya yakni Pramoedya dan kelompoknya.

Komunikasi dakwah Hamka mudah dicerna dan dipahami oleh semua lapisan masyarakat. Seorang pembaca Majalah ”Gema Islam” mengajukan pertanyaan dalam rubrik tanya jawab agama kepada Hamka; ”Seorang ulama di tempat saya menyatakan, jika manusia mendarat di bulan, maka batallah kerasulan Nabi Muhammad Saw. Bagaimana pendapat Bapak dalam soal ini?”

Pertanyaan pembaca tersebut direspons Hamka sebagai berikut, ”Jika manusia sudah dapat mendarat di bulan, kami akan bersujud syukur kepada Tuhan, karena dengan demikian akan bertambah nyatalah ke-Rasulan Nabi Muhammad Saw. Karena di dalam Al Quran sebagai wahyu yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad Saw berjumpa beberapa ayat yang hanya dapat ditafsirkan dengan ilmu pengetahuan alam. Kalau kita tilik sejarah Islam, penyelidikan ruang angkasa ini hanyalah lanjutan daripada peneropong bintang dan bulan yang didirikan oleh sarjana-sarjana Islam di Baghdad, di Samarkand, di Mesir dan di Andalusia beberapa abad yang lalu. Lalu disambung sekarang dengan penyelidikan tajribiah (empirisme) orang Barat.” ungkapnya.

Prof. Dr. James R. Rush, Guru Besar Sejarah Yale University Amerika Serikat, menulis ulasan tentang Hamka dan Tafsir Al-Azhar, “Studi dan tulisan Hamka tentang kepercayaan agama dan pengetahuannya yang mendalam tercermin secara dramatis dalam keberhasilannya menyusun tafsir yang lengkap. Dan, untuk masyarakat Indonesia yang sedang berkembang, ia merupakan tiang penyangga. Ia mengharap agar masyarakat menjadi masyarakat Islam, masyarakat yang aman, damai dan modern di bawah lindungan Ka’bah.”

Kesetiaan Hamka dalam memegang prinsip agama berdasarkan ayat-ayat
Al-Quran dan Hadis dan sebagai pejuang bangsa yang mencintai tanah air, dibuktikan hingga akhir hayatnya. Dalam perjalanan hidupnya Hamka pernah mengalami ujian berat yaitu menjadi tahanan politik selama dua setengah tahun atas tuduhan fitnah yang direkayasa. Menurut Hamka, tidak ada orang yang tidak pernah berjumpa dengan kesulitan. Pada bab pendahuluan Tafsir Al-Azhar, diungkapkannya, Sungguh Allah Maha Kuasa! Zaman bergilir, ada yang naik dan ada yang jatuh. Dunia tiada kekal. Bagi diriku sendiri, di dalam hidup ini akupun datang dan akupun akan pergi. Kehidupan adalah pergiliran di antara senyum dan ratap. Air mata adalah asin, sebab itu dia adalah garam dari penghidupan.

Hamka wafat Jumat 24 Juli 1981/22 Ramadan 1404 H di Jakarta dalam usia 73 tahun. Sebelum dirawat di rumah sakit, Hamka masih sempat menulis untuk rubrik Dari Hati Ke Hati majalah Panji Masyarakat yang dipimpinnya selama 24 tahun yaitu artikel berjudul "17 Ramadhan".

Sebagai ulama dan pujangga Hamka meninggalkan lebih dari seratus legacy karya cipta intelektual yaitu buku-buku mengenai agama, sastra, filsafat, tasauf, politik, sejarah dan kebudayaan, seperti: Tasauf Modern, Falsafah Hidup, Lembaga Hidup, Lembaga Budi, Sejarah Umat Islam, Pribadi, Ayahku, Islam dan Adat Minangkabau, Muhammadiyah di Minangkabau, Pandangan Hidup Muslim, Said Jamaluddin Al-Afghany, Tafsir Al-Azhar (30 jilid), Hamka Berkisah Tentang Nabi dan Rasul, Empat Bulan Di Amerika, Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya, Kedudukan Perempuan Dalam Islam, Kenang-Kenangan Hidup, Pelajaran Agama Islam, dan Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao.

Buku roman dan sastra, antara lain, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Merantau Ke Deli, Di Dalam Lembah Cita-Cita, Dijemput Mamaknya, Terusir, Tuan Direktur, Mandi Cahaya Di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Keadilan Ilahi.

Buya Hamka salah satu putra terbaik Indonesia yang berjasa dalam pembangunan mental spiritual bangsa. Karyanya abadi dan menginspirasi lintas generasi. Semoga akan lahir Hamka-Hamka baru yang menyampaikan dakwah dengan sentuhan kemanusiaan dan menjadi teladan seperti tokoh besar Buya Hamka di masa lalu.

M. Fuad Nasar (Mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Kolom Lainnya Lihat Semua

Lainnya Lihat Semua