Kolom

Idulfitri dan Paskah, Menggugah Iman dan Kemanusiaan

Thomas Alfa E.B (Pranata Humas Ahli Muda, Ditjen Bimas Katolik)

Thomas Alfa E.B (Pranata Humas Ahli Muda, Ditjen Bimas Katolik)

Belum lama ini, tepatnya 9 April 2023, umat Katolik baru saja merayakan Hari Raya Paskah. Di kanal media sosial mengalir ucapan selamat Paskah dari berbagai orang, tanpa mengenal suku, pendidikan, pangkat, jabatan, dan juga agama.

Beberapa hari, umat Islam juga merayakan Idulfitri 1444 Hijriyah (menunggu hasil Sidang Isbat awal Syawal). Ucapan selamat yang sama akan menghiasi berbagai media sosial, tak luput pula “japri” via whatsapp dari pribadi ke pribadi, dari bestie to bestie. Ucapan tulus tak kenal suku, pendidikan, pangkat, jabatan, dan juga agama disampaikan. Untaian Selamat Hari Raya Idulfitri, Minal ‘Aidin wal Faidzin - Mohon Maaf Lahir Batin akan mengalir tulus untuk umat Islam yang merayakan.

Paskah dan Idulfitri, satu hakikat tentang yang Transenden dalam dua cara beriman berbeda. Di persimpangan keduanya berbeda, namun di ujung jalan keduanya berjumpa dalam satu hakikat yang sama, yakni Tuhan – Allah Yang Mahabesar. Dia yang adalah Actus Purus, kata Thomas Aquinas, atau yang Mahasempurna kata Descartes, atau yang kesempurnaan-Nya tak terbatas karena Ia tak terbatas, kata Leibniz.

Paskah dan Idulfitri mempertemukan manusia dalam prinsip kemanusiaan yang hakiki sebagai makhluk sosial. Paskah dan Idulfitri bermakna dalam “Keagungan Allah Yang Besar." (Allahu Akbar/Ad Maiorem Dei Gloriam) dan nilai kemanusiaan universal untuk bonum commune (kebaikan bersama).

Engkau Idulfitri, Aku Paskah

Paskah dimaknai sebagai jalan kepada kehidupan baru, keadaan di mana tidak sama seperti kehidupan sebelumnya. Ada pesan imperatif agar manusia kembali menempatkan diri dalam perilaku yang lebih baik; menjauhkan diri dari segala yang buruk atau larangan Tuhan, kemudian memberikan diri untuk kebaikan sesama, alam, dan memuliakan Tuhan.

Idulfitri dimaknai sebagai kesempatan untuk kembali kepada keadaan suci atau keterbebasan karena dosa, kesalahan, kejelekan, dan keburukan sehingga berada dalam kesucian atau fitrah sembari memperbaiki hubungan vertikal dengan Allah (hablum minallah) dan secara horizontal membangun hubungan sosial yang baik (hablum minannas).

Paskah dan Idulfitri memberi makna pada kehidupan. Selain hidup baru dan fitrah, ada makna saling menghargai. “Aku” dan “kamu” saling menghargai sebagai makhluk beriman serentak digugah, sejauh mana iman memberi makna.

Di persimpangan kita berbeda, namun di ujung jalan kita berjumpa dalam kemanusiaan dan persaudaraan. Itulah makna terdalam tentang menghargai atas iman yang memerdekakan. “Jikalau seorang berkata: “Aku mengasihi Allah, dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya.” (1Yohanes 4:20).

Hal yang sama dalam Q.S. Al-Baqarah 2:148. Ada teks tertulis, “Berlomba-lombalah dalam urusan kebaikan dan ketakwaan dan jangan berlomba-lomba dalam dosa dan permusuhan. Lebih diperjelas lagi dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah:195, “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al Baqarah:195)

Ya, Paskah dan Idulfitri adalah relasi aku dan engkau untuk kita. Aku dan kamu berelasi dalam ruang dan waktu. Kata Martin Buber, relasi “aku - engkau” adalah relasi antarsubjek yang berdasarkan cinta kasih. Relasi yang dibangun bersumber dari ketulusan hati dan menerima orang lain dengan penuh kasih.

Aku berikrar untuk hidup baru, engkau berikrar jadi manusia fitrah. Hidup baruku dan fitrahmu dapat dijumpai dalam Kita yang saling mengasihi. Kita yang berkomitmen untuk mencinta bangsa dan tanah air ini. Kita yang berkomitmen merawat toleransi. Kita yang berkomiten cinta damai, antikekerasan dan kita yang berkomitmen atas penerimaan terhadap tradisi. Ya, kita yang berkomitmen untuk menjaga dan merawat, bangsa kita, negara kita, masjid kita, gereja kita, pura kita, wihara kita, klenteng kita.

Dengan demikian, hidup baru dan manusia fitrah harus terwujud dalam cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahtan berlandaskan prinsip adil berimbang dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa. Kementerian Agama menyebutnya Moderasi Beragama.

Dari kita yang saling mengasihi, pelangi kerukunan umat beragama akan indah terpancar. Dari kita yang saling menghargai, mimpi tentang Indonesia hebat akan terwujud. Salam kerukunan untuk Indonesia hebat.

Thomas Alfa E.B (Pranata Humas Ahli Muda, Ditjen Bimas Katolik)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Kolom Lainnya Lihat Semua

Lainnya Lihat Semua