Kolom

Jalan Tengah: antara Jalan Layang dan Hati Perempuan

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin Makassar)

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin Makassar)

Saya minta izin kali ini, mau bertutur tentang perempuan. Ini pun pertama kalinya selama edisi Ramadan ini. Saya memulai dengan meminjam kalimat umum, dalamnya laut bisa diduga, tapi hati perempuan siapa yang tahu. Saya akan menggunakan relasi isteri dan suami untuk menelaah karakter perempuan, karena dari relasi suami isteri-lah, perempuan lebih banyak bisa dibedah.

Pernah dengar anekdot tentang Jin yang terperangkap di sebuah botol? Suatu waktu, ada laki-laki yang lewat dan mengeluarkan Jin itu dari dalam botol. Jin itu berkata, terima kasih sudah membantu sekali mengeluarkan saya dari perangkap selama tahunan. Sebagai ganjarannya silakan minta apa saja, dan akan saya penuhi. Lalu laki-laki itu dengan cepat meminta untuk dibangunkan jalan layang dari tempatnya ke ibu kota yang dipisahkan oleh laut dan jauhnya 1000 kilometer, karena laki-laki itu phobia naik pesawat.

Jin itu langsung mengatakan, minta yang lain, terlalu berat itu. Laki-laki itu menggantinya, kalau begitu berikan saya kemampuan untuk membaca hati perempuan, dalam hal ini isteri saya. Kapan saya tahu hatinya senang atau sedih. Bagaimana saya tahu cara membuatnya bahagia. Bagaimana saya paham kapan mood-nya baik, dan kapan situasinya mendung. Lalu Jin itu menggaruk kepalanya sambil berkata: "Tadi jalan layang yang kamu minta dibuatkan itu satu jalur atau dua jalur?"

Apa yang bisa dibaca dari anekdot di atas? Betapa susahnya memahami hati perempuan. Mengapa susah, karena sikap yang ditampilkan sering tidak berpola bagi laki-laki, jadinya sering kebersamaan yang begitu lama tidak selalu bisa membantu.

Mari mengikuti sebuah alur relasi suami-isteri yang saya dapat dari "forward" isteri saya. Kalau suami yang salah dia mengatakan: "Saya minta maaf, Sayang," dan masalah dianggapnya selesai. Kalau isteri berbuat salah, apakah juga meminta maaf? Mereka bersikap manja, atau menangis atau merasa jengkel atau teriak atau meninggalkan rumah. Atau mengatakan: Kamu tidak tahu hati perempuan. Atau bilangnya: Kamu cueki saya, atau dengan sedihnya mengatakan, kamu tidak mencintai saya. Lalu apa kata suaminya: Saya mencintai kamu, saya minta maaf, sayang."

Dari alur dia atas, bisa disimpulkan bahwa apakah suami benar atau salah, ujung-ujungnya dia yang meminta maaf. Suami terbawa kepada alur yang kompleks sehingga terkaburkan inti masalahnya. Dan akhirnya suami yang mengambil keputusan untuk mengambil posisi salah.

Banyak mengatakan bahwa perempuan itu misterius. Saya lebih suka mengatakan "unik", karena adanya kekhasan pada diri mereka yang tidak dimiliki laki-laki. Konon, ada lapisan yang menghubungkan antara otak kanan dan kiri, dan lapisan itu jauh lebih tebal dibanding laki-laki. Lapisan tebal inilah yang membuat perempuan itu memiliki keunikan.

Ketebalan lapisan penghubung otak ini membuat perempuan menjadi "multitasking," bisa memasak sambil cuci piring, atau menjwab WA sambil menggerutu. Lapisan itu juga membantu perempuan untuk lebih banyak memproduksi kata dalam sehari dibanding laki-laki. Lapisan itu juga membuat wanita lebih emosional dibanding laki-laki. Tapi lapisan itu juga membuat wanita mampu mengelola emosinya, tetap bisa bekerja meskipun sedang sedih.

Namun, ketebalan lapisan penghubung otaknya menyebabkan presentase jumlah perempuan yang bisa membaca peta dan arah secara akurat sangat rendah. Mungkin itulah banyak wanita yang suka salah arah saat keluar dari toilet di mall, weser (lampu sein) kanan tapi belok kiri, atau banyaknya perempuan yang hilang saat berada di tanah suci.

Dengan sejumlah kekhasan itulah, laki-laki bisa lebih banyak belajar untuk menghadapi perempuan. Saya khawatir, istilah yang disematkan pada perempuan sebagai makhluk misterius, itu karena kegagalan para lelaki membaca kekhasan yang dimiliki mereka. Suami tidak mampu mengkotekstualisasi kekhasan itu dalam pola relasi suami-isteri. Jadi wahai para suami, pergi secepatnya minta maaf!

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin Makassar)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Kolom Lainnya Lihat Semua

Lainnya Lihat Semua