Kolom

Jalan Tengah: Orang Kaya dan Kursi Roda Anak Difabel

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin Makassar)

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin Makassar)

Saya pernah mendengar cerita tentang seseorang yang sangat kaya di benua Afrika. Saya lupa namanya. Orang kaya ini suka gelisah karena berbagai cara yang dilakukan untuk membahagiakan diri dengan kekayaannya, namun dia tidak menemukan hakikat kebahagian. Kita sebutlah, jumlah kekayaannya tidak setara dengan kebahagiaan yang diraih.

Dia membangun vila di daerah paling eksotik dengan pemandangan samudera, tapi setiap melihat hamparan laut itu tidak ubahnya hanya seperti genangan air raksasa. Dia memakai ragam perhiasan mahal dari emas sampai berlian, tapi rasanya seperti menjerat organ tubuhnya saja. Akhirnya dia memutuskan untuk tidak memakai perhiasan apa-apa, dan dari penampilannya tidak mengesankan sebagai orang kaya.

Dia pastinya sudah memiliki koleksi mobil dari yang mahal sampai paling mahal. Tapi beberapa lama dia baru tersadar, selama ini dia hanya memakai satu jenis mobil, yang paling murah dari koleksinya, jenis van, karena dia merasa bebas bergerak, makan camilan, dan tidur-tiduran sambil disopiri. Dia semakin sadar jumlah besar kekayaannya dan perolehannya yang disebutkan di atas ternyata tidak dipakainya dan tidak berpengaruh sama sekali terhadap rasa bahagianya.

Suatu waktu, dia terlibat dalam kegiatan amal, karena masuknya proposal dari yayasan anak diffabel, permintaan bantuan dua ratus (200) kursi roda untuk orang yang membutuhkan. Permintaan itu bukan sesuatu yang susah bagi dirinya. Taruhlah kalau dirupiahkan satu kursi roda yang lumayan mahal, 5 juta x 200 = 1 miliar.

Lalu setelah dia sanggupi, yayasan memintanya untuk menyerahkan langsung bantuannya. Dia terima juga seperti rutinitasnya selama ini ketika memberikan bantuan. Meskipun itu sering juga tidak membuatnya bahagia, karena penyerahan bantuan penuh seremoni dan puji-pujian formalitas belaka.

Sebelum pergi, dia mendekati para anak difabel itu untuk menyapanya satu-satu sambil memberikan empati. Tibalah pada anak difabel yang terakhir, saat dia beranjak setelah mengusap kepalanya dan mulai membelakang, anak itu memegang tangannya erat-erat. Orang kaya itu kembali menengok dan membungkuk sambil bertanya, "apalagi yang kau butuhkan, saya akan penuhi sekarang." Anak itu langsung berkata: "Saya hanya ingin melihat muka Bapak lebih jelas, supaya saya bisa menandai saat bertemu di surga nanti."

Orang kaya itu langsung memeluk anak itu keras-keras sambil beruarai air mata. Lalu dia habiskan waktunya memeluk dua ratus anak difabel yang sudah duduk di atas kursi rodanya. Baru kali itu dalam hidupnya, dia merasakan kebahagiaan yang tak terkira. Setelah momen itu dia fokuskan waktunya untuk selalu berdonasi terkhusus pada kaum lemah.

Para pembaca, saya hanya mengulangi sebuah cerita inspiratif di atas, dan tidak ada analisa berarti dari saya. Saya hanya ingin mengatakan bahwa semua orang bisa bahagia kalau mampu menemukan caranya, atau mampu memanfaatkan momentum. Orang kaya itu menemukan kebahagiaan pada hal yang murah bagi dirinya. Apa yang membahagiakannya? Dentuman kebermanfaatan hidupnya. Samalah, kalau anda membaca dan membagi tulisan saya, saya juga sangat bahagia. Asal jangan bilang, demi kebahagianmu, saya membagikan tulisan ini. Tidak ada kebahagiaan lahir dari keterpaksaan. Itu kata saya, bukan judul lagu.

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin Makassar)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Kolom Lainnya Lihat Semua

Lainnya Lihat Semua