Kolom

Jalan Tengah: Tangan di Atas dan di Bawah

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin Makassar)

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin Makassar)

Setelah Salat Zuhur, kami sempat duduk berdiskusi dengan beberapa dosen tentang apa saja yang terkait dengan datanganya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Banyak cerita dan pengalaman lucu yang menjadi pernak-pernik hidup. Saya mencoba menarik benang merah dari ragam cerita mereka, tentang pentingnya merenungi kebenaran ajaran agama, bahwa tangan di atas lebih mulia dari tangan di bawah.

Pertama, orang dengan tangan di atas memiliki psikologi sebagai orang yang terberdaya. Orang seperti itu menyimpan "mindset" untuk selalu membantu, memiliki energi lebih dalam hidupnya. Mereka cenderung lebih sehat secara fisik dibanding mereka yang bertangan di bawah, karena saraf dan ototnya selalu bergerak aktif.

Orang dengan tangan di atas otaknya selalu aktif karena daya kreasinya selalu bekerja. Mereka tidak cepat pikun karena otaknya sering dipakai berpikir untuk berkarya buat kebermanfaatan. Orang dengan tangan di atas memiliki kecenderungan harapan hidup yang panjang karena elemen-elemen organnya bergerak seimbang.

Sebaliknya, orang yang berada pada tangan di bawah akan selalu terjerembab pada psikologi kaum lemah, menjadi orang yang selalu ingin diberi. Orang yang selalu diberi akan menyimpan memori sebagai orang yang tak berdaya, sehingga orang yang datang meminta tolong pun dikiranya juga akan membantunya. Mari mengikuti testimoni dari teman-teman yang saya ceritakan di atas.

Seorang teman dosen yang bertetangga dengan tukang becak, hampir setiap saat dibantunya untuk berbagai keperluan hidupnya. Suatu waktu, teman dosen ini meminta tolong untuk diantar ke sebuah tempat yang lumayan jauh. Mungkin biaya becaknya sekitar 10 ribu. Jadi 20 ribu pulang pergi. Setelah teman ini turun, dirabanya kantongnya, dan yang ada hanya uang 100 ribu.

Saat dijulurkannya uang seratus ribu itu, tukang becak itu langsung menerima uang itu dengan penuh hormat, membungkuk dan mencium tangan teman itu sebagai tanda terima kasihnya. Padahal sebenarnya teman itu berharap kembaliannya, atau sekali tidak perlu bayar, karena dalam hatinya, hampir setiap hari dibantunya. Dengan sikap tukang becak yang tetangganya itu, terpaksa uang 100 ribu itu direlakannya. Saat saya tanya, apa ikhlas? Dia bertanya balik: "adakah keikhlasan kalau dipaksakan?" Teman-teman dosen lain pada tertawa mendengar responnya.

Kurang lebih sama dengan cerita dosen lainnya tentang kelucuan kehidupan bertetangga. Teman dosen ini sering berbagi ke tetangga sebelahnya. Apa saja yang menjadi kelebihan, dibagikannya ke tetangganya. Suatu waktu, kulkas di rumahnya rusak. Dia ke tetangga sebelahnya untuk menitip stok ikan yang sudah dibelinya pada kulkas tetangga sebelahnya tadi. Belum sempat dia mengutarakan maksudnya, tetangganya langsung menjemput bawaannya sambil mengucapkan terima kasih atas pemberiannya seperti layaknya setiap diberi sesuatu. Teman itu jadinya tidak berdaya, dan merelakan stok ikannya tanpa bisa berkata-kata.

Pembaca, bangun generasi yang tidak bermental tangan di bawah, karena pertama, becak sudah dihapus di Makassar (apa hubungannya?). Yang kedua, teman yang tadi kulkasnya bermasalah, sudah diganti dengan kulkas yang lebih besar (lebih tidak ada hubungannya). Maksud saya, psikologi orang yang selalu berada pada tangan di bawah, pikirannya tidak pernah "move on" dan susah berada di jalan tengah kehidupan, karena hidupnya menunggu uluran tangan, hidupnya layaknya berada di simpang jalan. Kita tidak ingin membangun generasi masa depan yang minus kemandirian. Mimpi besar kita adalah "generasi emas" bukan "generasi cengeng".

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin Makassar)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Opini Lainnya Lihat Semua

Lainnya Lihat Semua