Kolom

Khittah Pancasila dan Peran Lembaga Keagamaan

Ahmad Zayadi (Direktur Penerangan Agama Islam)

Ahmad Zayadi (Direktur Penerangan Agama Islam)

Hari ini, kita perlu mengingat kembali esensi dari "khittah Pancasila". Sejak awal kelahiran pada 1 Juni 1945, Pancasila telah memiliki khittah (cita-cita, tujuan dasar) yang menjadi landasan utama perjuangannya. Khittah Pancasila ini sangat penting karena menjadi tiang penyangga dan dasar dari nilai-nilai dan prinsip-prinsip ideologi dan dasar negara itu.

Khittah Pancasila terdapat dalam nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang melekat pada setiap sila Pancasila, yaitu ketuhanan (al-ilahiyyah), kemanusiaan (al-basyariyyah), persatuan (al-ukhuwwah), kerakyatan (al-raiyyah), dan keadilan sosial (al-‘adalah al-ijtima’iyyah). Kelima nilai dan prinsip dasar ini saling terkait dan tidak bisa dipisahkan. Ketuhanan yang Maha Esa, sebagai sila pertama, memberikan napas dan ruh bagi seluruh sila Pancasila.

Para pendiri bangsa menginginkan Indonesia menjadi negara yang bertuhan, di mana warga negara juga memiliki keyakinan keagamaan. Soekarno dalam Pidato 1 Juni 1945, yang kemudian diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila, dengan jelas menyatakan, “Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang ber-Tuhan.”

Dengan sila ketuhanan ini, terlihat tekad para pendiri bangsa untuk menjadikan Negara Pancasila sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan. Dengan pemahaman ini, kita tidak mengadopsi paham sekuler yang ekstrem yang memisahkan "agama" dan "negara" serta berpretensi menyudutkan peran agama ke ruang-ruang privat dan komunitas. Sejarah mencatat, spirit tersebut berhasil menggagalkan pemberontakan G30S/PKI yang berniat mengganti Pancasila dengan sistem komunisme.

Meskipun Indonesia bukan negara berbasis satu agama, namun menjadi negara yang religius berarti negara melindungi dan memajukan kebebasan beragama. Selain itu, agama juga didorong untuk memainkan peran publik dalam penguatan norma dan etika sosial. Spirit ini pula yang berhasil menghentikan misi DI/TII yang menggunakan motivasi pendirian Negara Islam dengan cara memberontak pemerintah yang sah pada kisaran tahun 1949 hingga 1962.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, nilai-nilai ketuhanan (nilai-nilai agama/religiusitas) harus menjadi sumber etika dan spiritualitas. Nilai-nilai yang bersifat vertikal-transendental ini menjadi landasan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga jelas bahwa kebangsaan kita adalah "kebangsaan yang berketuhanan".

Konstitusi, UUD 1945, dengan tegas menyatakan bahwa negara ini didirikan atas dasar ketuhanan. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 29 Ayat (1), "Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa." Selanjutnya, pada Ayat (2), ditegaskan bahwa "Negara menjamin kebebasan setiap penduduk untuk menganut agamanya masing-masing dan beribadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya."

Oleh karena itu, di negara ini tidak boleh ada sikap atau tindakan yang menentang ketuhanan atau keagamaan. Tidak boleh ada sikap atau tindakan yang menghina atau merendahkan agama. Begitu pula, tidak boleh ada upaya yang meremehkan peran agama. Pengaktualisasian keagamaan tidak hanya diberikan ruang, tetapi juga didorong secara terus-menerus sebagai dasar moralitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, upaya sekularisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidaklah pantas di Indonesia dan bertentangan dengan prinsip Pancasila dan UUD 1945.

Meredam Politik Identitas

Spirit Pancasila bertentangan dengan ekstremisme, politik identitas, dan politisasi agama yang sering kali memecah belah dan mengancam stabilitas bangsa. Ekstremisme berbasis ideologi atau agama cenderung menekankan supremasi kelompok tertentu, mengabaikan keragaman dan kesetaraan yang dijunjung tinggi dalam Pancasila. Hal ini dapat menyebabkan konflik sosial dan ketidakadilan dalam masyarakat.

Politik identitas yang terlalu vokal dan eksklusif, serta politisasi agama yang memanfaatkan keyakinan keagamaan untuk mencapai tujuan politik tertentu, juga bertentangan dengan semangat inklusif dan egaliter Pancasila. Pancasila mengajarkan perlunya menghormati dan memperjuangkan hak-hak semua warga negara, tanpa membedakan suku, agama, ras, atau kelompok tertentu. Politik identitas dan politisasi agama yang ekstrem dapat mengabaikan prinsip-prinsip Pancasila yang mempromosikan persatuan, keadilan, dan kesejahteraan bersama.

Untuk menjaga integritas Pancasila, penting bagi negara dan masyarakat untuk menentang dan menangani secara tegas ekstremisme, politik identitas yang eksklusif, dan politisasi agama yang merusak keharmonisan sosial. Diperlukan pendekatan yang inklusif, dialog antaragama dan antarkelompok, serta penegakan hukum yang adil untuk mencegah dan menanggulangi upaya-upaya yang bertentangan dengan semangat Pancasila. Hanya dengan memperkuat kesadaran kolektif dan mengedepankan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, kita dapat membangun Indonesia yang berkeadilan, bermartabat, dan menjunjung tinggi persatuan dalam keragaman.


Peran Lembaga Keagamaan

Eksistensi bangsa Indonesia hingga hari ini bukan tanpa sebab. Terdapat peran dan kontribusi civil society yang berbasis lembaga keagamaan yang selama ini mendidik dan memberdayakan masyarakat, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Dalam konteks ini, ada beberapa komponen lembaga keagamaan yang berperan strategis untuk memperkuat penanaman dan pengamalan nilai-nilai Pancasila.

Pertama, ormas Islam. Dengan jumlah mencapai ribuan di seluruh pelosok negeri, ormas Islam memiliki peran penting dalam mengaktualisasi nilai-nilai Pancasila di masyarakat, terutama dalam menghadapi ancaman berbagai ideologi. Mereka dapat mengajarkan nilai-nilai keagamaan yang sejalan dengan Pancasila, sekaligus mengedukasi umat Islam tentang pentingnya menjunjung tinggi kebhinekaan, persatuan, dan kesatuan dalam bingkai Pancasila.

Selain itu, ormas Islam besar seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Nahdlatul Wathan, Al-Irsyad Al-Islamiyah, Al-Washliyah, juga dapat mempromosikan kerukunan antarumat beragama melalui kegiatan dialog, pertemuan lintas iman, dan program kerja sama. Kegiatan tersebut sangat strategis yang berkontribusi dalam membangun kesadaran dan saling pengertian antarumat beragama serta memperkuat semangat persatuan dan kesatuan dalam kerangka Pancasila.

Kedua, Majelis Taklim dan Lembaga Dakwah. Lembaga pendidikan nonformal ini menjadi forum diskusi dan pembelajaran yang memperkuat pemahaman dan pemaknaan Pancasila dalam perspektif keagamaan. Melalui kegiatan seperti pengajian dan kajian, para anggota dapat mempelajari dan mendiskusikan nilai-nilai Pancasila serta mengaitkannya dengan ajaran agama Islam dalam tindakan dan sikap sehari-hari.

Jumlah majelis taklim yang mencapai 93.854 di seluruh Indonesia ini juga berperan dalam membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya menginternalisasi nilai-nilai Pancasila dalam masyarakat. Apalagi kini sudah ada 10.500 dai yang tergabung dalam organisasi Majelis Dai Kebangsaan (MDK) yang menjadi mitra strategis pemerintah untuk menggali pemahaman dan praktik nilai-nilai kebangsaan dalam kehidupan sehari-hari yang dijunjung tinggi oleh Pancasila, seperti persatuan, keadilan, demokrasi, dan kemanusiaan.

Ketiga, Penyuluh Agama Islam, memiliki peran yang penting dalam menanamkan nilai-nilai Pancasila kepada masyarakat. Mereka selama ini bertugas memberikan penyuluhan keagamaan yang relevan dengan konteks kehidupan berbangsa. Apalagi saat ini sudah terbentuk Ikatan Penyuluh Agama Republik Indonesia (IPARI) yang beranggotakan sebanyak 50.000 penyuluh.

Melalui berbagai kegiatan penyuluhan, seperti ceramah, khotbah, dan bimbingan rohani, penyuluh agama dapat menyampaikan pesan-pesan yang menghubungkan nilai-nilai agama Islam dengan prinsip-prinsip Pancasila. Dengan pendekatan komunikatif, mereka dapat menekankan pentingnya persatuan, toleransi, keadilan sosial, dan menghormati keberagaman sebagai bagian integral dari agama Islam.

Keempat, lembaga seni budaya Islam, memiliki peran yang signifikan dalam menanamkan nilai-nilai Pancasila kepada masyarakat. Melalui seni dan budaya, lembaga ini dapat mengkomunikasikan pesan-pesan kebangsaan dan nilai-nilai keagamaan kepada masyarakat dengan cara yang menarik dan menyentuh hati. Lembaga yang jumlahnya sudah mencapai 142 se Indonesia ini dapat menghadirkan pertunjukan seni, seperti tarian, musik, teater, dan seni rupa, yang mengangkat tema-tema kebangsaan dan agama Islam, yang sejalan dengan Pancasila.

Belum lagi lembaga seni Islam seperti Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ) yang berperan yang penting dalam menanamkan nilai-nilai Pancasila kepada masyarakat melalui pengajaran dan kompetisi tilawah Al-Qur’an dan seni kaligrafi. LPTQ yang jumlahnya mencapai 548 se-nasional dapat mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila dalam seni pembacaan Al-Qur’an serta mempromosikan persatuan, toleransi, keadilan, dan kebersamaan.

Beberapa contoh lembaga keagamaan di atas adalah bagian dari peran penting "infrastruktur sosial" bagi Indonesia yang tidak dimiliki oleh negara-negara lain di dunia. Tanpa infrastruktur sosial yang kuat dari berbagai komponen masyarakat, tidak bisa dibayangkan bagaimana nasib Pancasila hari ini.

Perjalanan bangsa Indonesia memang tidak mudah, apalagi untuk menuju “khittah Pancasila” dalam ruang-ruang kehidupan masyarakat. Tantangan dinamika geopolitik dan kondisi dalam negeri saat ini yang masih menunjukkan gejala-gejala ekslusivitas seperti politik identitas, intoleransi, ekstremisme, dan lain-lain. Oleh karena itu, khittah Pancasila ini membutuhkan komitmen dan gerakan masif masyarakat untuk mengamalkan nilai-nilai Pancasila dengan melibatkan semua umat beragama secara aktif.

Ahmad Zayadi (Direktur Penerangan Agama Islam)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Kolom Lainnya Lihat Semua

Lainnya Lihat Semua