Kolom

Pancasila dalam Perspektif Pemikiran Para Senior Bangsa 

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)

Hari Lahir Pancasila diperingati setiap 1 Juni. Tema Peringatan Hari Lahir Pancasila tahun ini adalah "Gotong Royong Membangun Peradaban dan Pertumbuhan Global". Di tengah dinamika nasional dan global, bangsa Indonesia perlu mengaktualisasikan Pancasila sehingga menjadi kenyataan dan karakter dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pertumbuhan historis rumus dasar negara Pancasila berproses melalui tiga fase penting. Pertama, pidato Ir. Soekarno mengemukakan usulan Pancasila 1 Juni 1945 dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) di Jakarta. Sejarah mengabadikan Jakarta merupakan kota tempat lahirnya rumus dasar negara Pancasila, dan tempat diucapkannya Proklamasi Kemerdekaan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia.

Kedua, mukaddimah Undang-Undang Dasar hasil kerja Panitia Sembilan diketuai Soekarno yang memuat rumus dasar negara Pancasila disepakati sebagai konsensus nasional pada 22 Juni 1945.

Ketiga, pengesahan rumus dasar negara Pancasila tanggal 18 Agustus 1945 sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar.

Bung Karno selalu mengatakan dirinya bukan pencipta Pancasila. Namun sejarah mencatat jasa besar Bung Karno sebagai pengusul Pancasila dan Ketua Panitia Sembilan BPUPKI yang melahirkan Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Pengesahan Undang-Undang Dasar dilakukan setelah perubahan tujuh kata sila pertama dalam Piagam Jakarta berkat jiwa besar golongan Islam untuk persatuan Indonesia.

Sewaktu disahkannya Pembukaan Undang-Undang Dasar, sejak saat itu Pancasila menjadi dasar negara Republik Indonesia. Beragam pemikiran ideologis, aspirasi kenegaraan dan aliran politik di awal kemerdekaan dapat ditampung di bawah naungan Pancasila. Pancasila disepakati sebagai landasan falsafah negara, perjanjian luhur bangsa, gentlemen’s agreement dan kalimatun sawa’ (titik temu) yang menyatukan Indonesia.

Pancasila adalah filosofische grondslag (landasan falsafah negara) dan warisan para pendiri bangsa yang harus senantiasa mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemajuan peradaban Indonesia tercermin dari Pancasila sebagai puncak gagasan bernegara.

Sayidiman Suryohadiprojo, mantan Gubernur Lemhannas, dalam buku Mengobarkan Kembali Api Pancasila (2014) mengemukakan, ”Kebijakan membangun kehidupan politik, ekonomi, sosial, kebudayaan dan pertahanan-keamanan harus jelas berpedoman pada nilai-nilai Pancasila. Ini berarti, pengertian demokrasi yang terlalu bernuansa individualisme dan liberalisme perlu diganti dengan pengertian yang sesuai Pancasila. Bukan demokrasi yang ditentukan oleh uang dan tanpa moralitas. Pembangunan ekonomi perlu berpihak kepada rakyat banyak dan menjadikan seluruh rakyat sejahtera, tetapi juga mempunyai daya saing internasional yang tinggi untuk bekerjasama harmonis dengan negara lain. Pembangunan sosial (adalah) mewujudkan gotong-royong antar-setiap bagian masyarakat dan meniadakan konflik antar-golongan.”

Mengutip Jenderal Sayidiman – saya sempat berjumpa sebelum beliau meninggal dunia – dibutuhkan negarawan yang berjiwa dan bersemangat Pancasila. Makna Pancasila yang utama dan perlu segera terwujud adalah kesejahteraan lahir batin yang tinggi dan merata untuk seluruh rakyat Indonesia. Tidak ada keberatan bahwa di Indonesia ada orang kaya-miliarder, tetapi itu harus disertai rendahnya jumlah orang miskin dan sempitnya kesenjangan antara kaya dan miskin.

Mengenai Islam dan ideologi Pancasila, Presiden Soekarno dalam Kuliah Umum di Universitas Indonesia tanggal 7 Mei 1953 dengan tema Negara Nasional dan Cita-cita Islam, mensitir ucapan Mohammad Natsir. Bung Karno mengatakan, “Tentang kedudukan Pancasila dan Islam, aku tidak bisa mengatakan lebih daripada itu dan mensitir Saudara Pemimpin Besar Masyumi, Mohammad Natsir di Pakistan, di Karachi, tatkala beliau mengadakan ceramah di hadapan Pakistan Institute for International Relation, beliau mengatakan bahwa Pancasila dan Islam tidak bertentangan satu sama lain.” Pada bagian lain pidatonya, Bung Karno menegaskan, “....sebagai Presiden Republik Indonesia, tidak sekejap mata pun aku mempunyai lubuk pikiran di belakang kepalaku ini melarang kepada pihak Islam untuk menganjurkan mempropagandakan cita-cita Islam.”

Salah seorang ahli hukum dan mantan Menteri Dalam Negeri, Prof. Dr. Hazairin, SH, dalam buku Demokrasi Pancasila (1970) mengemukakan, sesuai prinsip negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 29 UUD 1945), dalam negara Republik Indonesia tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam bagi umat Islam, atau bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Nasrani bagi umat Nasrani, atau bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Hindu bagi orang-orang Hindu, atau bertentangan dengan kesusilaan agama Buddha bagi orang-orang Buddha.

Menurut para pengkaji Pancasila, lima sila itu mencakup sebagian dari ajaran universal agama. Tokoh agama mengatakan, Pancasila akan hidup subur di atas pangkuan ajaran agama. Ketaatan umat dalam menjalankan ajaran agamanya merupakan modal yang sangat baik bagi pengamalan Pancasila. Meski semua nilai-nilai dalam Pancasila sejalan dengan ajaran semua agama, tetapi tidak dimaksudkan untuk menggantikan kedudukan dan fungsi agama bagi para pemeluknya.

Mohamad Roem menulis artikel di Majalah Panji Masyarakat No 378 tahun 1982 berjudul, ”Saya menerima Pancasila karena saya adalah orang Islam.” Senada dengan Mohamad Roem, pahlawan nasional A.R. Baswedan dalam Mingguan Islam Populer Hikmah edisi No 23 Tahun 1954 mengemukakan, ”Karena adanya ajaran-ajaran Islam itulah maka prinsip-prinsip Pancasila itu sebelum lahirnya Pancasila telah menjadi filsafat hidup bangsa Indonesia umumnya! Walaupun umum bangsa kita itu tidak dapat merumuskannya dalam kata-kata yang dipakai dalam perumusan Pancasila itu. Riwayat terjadinya perumusan Pancasila dapat menceritakan bahwa kalau Pancasila itu dikatakan suatu hasil kompromis di antara beberapa pihak yang berbeda-beda ideologi, toh bagi pihak Islam tiada satupun dari sila-sila yang lima itu yang tidak dapat diterimanya! Terutama atas dasar keyakinan bahwa sila yang pertama itu, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, adalah sebagai dasar daripada sila-sila yang lain.”

Proklamator dan Wakil Presiden RI Pertama Mohammad Hatta ketika memperingati Hari Lahir Pancasila tanggal 1 Juni 1977, mengingatkan kepada seluruh bangsa Indonesia tentang makna sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Bung Hatta menegaskan, sila pertama itu tidak sekadar hanya dasar hormat menghormati agama masing-masing, melainkan jadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan persaudaraan. Pemerintahan negara tidak boleh menyimpang dari jalan lurus untuk mencapai kebahagiaan rakyat dan keselamatan masyarakat, perdamaian dunia serta persaudaraan bangsa-bangsa.

Republik Indonesia bukan negara agama (religion state) dan bukan negara sekuler (secular state), tetapi negara kebangsaan yang berketuhanan (religious nation state). Bangsa Indonesia mendirikan negara nasional, seperti digambarkan oleh Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945, adalah mendirikan satu negara buat semua. Pembentukan negara nasional bukan untuk menghilangkan kebhinnekaan yang merupakan takdir, tetapi mewujudkan ketunggal-ikaan sebagai bangsa dalam bingkai ikhtiar.

Pembangunan di bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, pendidikan, kebudayaan dan seterusnya haruslah memperkuat nilai-nilai Pancasila. Demikian pula segala peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah tidak boleh bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar negara.

Pancasila harus dijadikan acuan penanganan masalah pokok strategis bangsa dan arah pembangunan Indonesia ke depan. Pancasila merupakan pedoman bagi penyelenggara negara dalam mengelola kemajemukan bangsa dan membangun demokrasi yang berasaskan kedaulatan rakyat. Bangsa Indonesia perlu menjadikan Pancasila sebagai rujukan dalam membangun mental konstitusional menggantikan mental kolonial.

Dalam perjalanan bangsa mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045 tidak mudah melahirkan negarawan sekaliber Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Sjahrir, Haji Agus Salim, Mohammad Natsir, Muhammad Yamin, K.H.A.Wahid Hasjim, Mohamad Roem, Sjafruddin Prawiranegara, Soepomo, dan role model negarawan terbaik Indonesia yang lainnya. Semangat zaman sudah berubah, tantangan yang dihadapi juga berbeda, tetapi landasan dan tujuan bernegara tidak berubah.

Membangun peradaban bangsa dalam iklim pertumbuhan global membutuhkan sumber daya manusia unggul dan kegotong-royongan sebagai modal sosial. Generasi muda Indonesia perlu belajar dari pemikiran, perjuangan dan nilai-nilai keteladanan para pendiri bangsa. Bangsa ini membutuhkan negarawan yang Pancasilais dalam perkataan dan perbuatan.

M. Fuad Nasar, mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang.


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Kolom Lainnya Lihat Semua

Lainnya Lihat Semua