Kolom

Pendidikan Kedokteran pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam

M Fuad Nasar

M Fuad Nasar

Transformasi dan alih status Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri di bawah Kementerian Agama, dari Institut Agama Islam Negeri menjadi Universitas Islam Negeri, di kalangan akademisi UIN dipandang sebagai tuntutan sejarah dan sekaligus kebutuhan masyarakat. Transformasi IAIN menjadi UIN dipelopori UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2002 di masa Rektor Prof. Dr. Azyumardi Azra, CBE, disusul UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan UIN Alauddin Makassar. Sampai saat ini (Mei 2023) terdapat 29 UIN di seluruh Indonesia yang sebelumnya adalah IAIN.

Perubahan dari institut menjadi universitas menghadirkan mandat baru dan tantangan baru bagi Perguruan Tinggi Keagamaan Islam untuk membuka program studi (prodi) dan fakultas non-keagamaan atau sering disebut fakultas umum. Pembukaan fakultas umum dilakukan dalam semangat mengintegrasikan sains dan Islam sebagai disiplin ilmu dan sumber nilai-nilai moral yang dibutuhkan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Salah satu fakultas dan prodi baru UIN dengan persyaratan sangat ketat dan selektif ialah Fakultas Kedokteran. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tercatat sebagai Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri pertama yang membuka Fakultas Kedokteran. Setelah itu disusul UIN Alauddin Makassar, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, dan UIN lainnya seperti UIN Wali Songo Semarang sedang melakukan akselerasi persiapan pembukaan Fakultas Kedokteran.

Ilmu Kedokteran Berakar pada Perikemanusiaan

Pendidikan kedokteran di Tanah Air telah berlangsung sejak tahun 1851, ditandai dengan berdirinya Dokter Djawa School di Batavia (Jakarta). Sekolah Dokter Jawa semula hanya menerima pelajar dari suku Jawa. Dalam perkembangan kemudian STOVIA menerima pelajar dari luar Jawa, terbanyak dari Minangkabau, Sumatera Barat.

Sekitar tahun 1900- 1902, atas gagasan Dr. H.F. Roll, dilakukan reorganisasi dan penyempurnaan pendidikan Dokter Djawa School. Dokter Djawa School diberi nama baru, yaitu School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) dan masa pendidikan diperpanjang dari 5 menjadi 6 tahun.

Saya menggaris-bawahi pernyataan Prof. R. Slamet Iman Santoso, alumni sekolah dokter STOVIA (School Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen) tentang karakteristik ilmu kedokteran. Saya masih sempat berjumpa dan berkenalan dengan Prof. Slamet Iman Santoso semasa hidupnya dan beliau meninggal pada tahun 2004 dalam usia 97 tahun. Menurut Bapak Pendidikan Psikologi Indonesia itu, “Ilmu kedokteran adalah ilmu yang berakar pada perikemanusiaan.”

Dalam autobiografi Warna-Warni Pengalaman Hidup (1992), salah satu bacaan yang menginspirasi saya, Bapak Slamet Iman Santoso mengisahkan pengalaman pendidikan kedokteran berbasis nilai-nilai etik (medical ethics) di STOVIA. “Pendidikan kami tidak pernah terlepas dari pengawasan para asisten, atau pun guru-guru yang lebih senior, maka kami menjadi manusia dengan watak yang mantap. Misalnya, sikap Profesor LESK dalam mengontrol pekerjaan saya. Percakapan antara co-assistent dan pasien selalu diawasi. Pernah teman saya menyapa seorang pasien dengan kata ’lu’. Langsung dia dipanggil, dan di bawah empat mata dikoreksi: Kalau sekali lagi menggunakan ‘lu’, akan diskors sekian hari! Pada kami ditanamkan pengertian untuk menghormati pasien, sebab kami hanya bisa belajar kedokteran bila ada pasien. Jadi, kami harus berterima kasih kepada mereka.“ ungkap beliau.

Slamet Iman Santoso mengungkapkan nilai-nilai etik pendidikan kedokteran yang menginspirasi generasi penerus, “Dalam menggunakan bahasa pun selalu diawasi dan berhati-hati. Jangan memberikan keterangan yang bisa menimbulkan rasa takut, putus asa. Tetapi, jangan pula memberikan harapan yang berlebihan. Semua keterangan harus jelas dan pas. Sering kami diwajibkan menunggui pasien yang sedang menghadapi ajalnya dan dikelilingi sanak saudaranya. ’Kalau Saudara tidak bisa menyelamatkan penderita, maka Saudara harus meringankan penderitaan keluarga yang ditinggalkan’ – itulah yang selalu diingatkan. Soal ketertiban menulis resep, merahasiakan resep, dan lain-lain soal rahasia kedokteran, selalu dijelaskan kasus per kasus. Jadi, kami mendapat pendidikan Etika Kedokteran sambil bekerja, sambil melaksanakan tugas kedokteran. Tidak ada mata pelajaran Etika Kedokteran, melainkan tindakannya-lah yang dibina terus-menerus. Hanya tindakan terus-menerus yang bisa menjadikan manusia memiliki watak; bukan kuliah, bukan pidato, bukan teori atau himbauan.” tulis ahli neurologi-psikiatri dan pendiri Fakultas Psikologi UI itu.

Sejauh manakah nilai-nilai etik dan keteladanan masa lampau menginspirasi dunia kedokteran masa kini di zaman yang telah berubah?

Jika kita membaca Kode Etik Kedokteran Indonesia Tahun 2012, pasal 1, setiap dokter wajib menjunjung tinggi, menghayati, dan mengamalkan sumpah dan atau janji dokter. Sumpah Hippokrates abad ke-5 SM diakui sebagai dasar dan inspirasi terbentuknya Sumpah Dokter dan Susila Kedokteran modern.

Sumber pertama Sumpah Dokter Indonesia berasal dari Deklarasi Genewa 1948 yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’ (MPKS) Departemen Kesehatan RI bersama Panitia Dewan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Setelah beberapa kali revisi, Sumpah Dokter Indonesia berbunyi sebagai berikut:

“Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan; Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang terhormat dan bersusila, sesuai dengan martabat pekerjaan saya sebagai dokter; Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur profesi kedokteran; Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena keprofesian saya sebagai dokter;Saya tidak akan menggunakan pengetahuan saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan perikemanusiaan, sekalipun diancam; Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai saat pembuahan. Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan pasien, dengan memperhatikan kepentingan masyarakat; Saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, gender, politik, kedudukan sosial dan jenis penyakit dalam menunaikan kewajiban terhadap pasien; Saya akan memberikan kepada guru-guru saya penghormatan dan pernyataan terima kasih yang selayaknya; Saya akan perlakukan teman sejawat saya sebagai saudara kandung.”

Pendidikan Kedokteran PTKIN

Pendidikan kedokteran di negara kita dalam beberapa dekade belakangan menunjukkan kemajuan positif. Fakultas Kedokteran Perguruan Tinggi Umum Negeri/Swasta dan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri dari tahun ke tahun secara keseluruhan telah menghasilkan ribuan dokter yang mengabdi di masyarakat. Dokter yang melanjutkan pendidikan spesialis dan sub-spesialis di dalam dan luar negeri semakin banyak setiap tahunnya. Paradigma etik dan moral kedokteran mengajarkan bahwa dokter mempunyai kewajiban untuk mengobati pasien sampai sembuh atau meninggal dunia.

Kompetensi dan pengalaman dokter secara klinis dan akademis di dalam dan di luar negeri semakin berkembang. Akan tetapi nilai-nilai pengabdian dan jati diri seorang dokter tidak terbentuk secara instant. Pendidikan kedokteran adalah pendidikan yang sarat dengan nilai-nilai pengabdian dan perikemanusiaan. Para dokter alumni PTU dan PTKIN diharapkan mewarisi nilai-nilai pengabdian dokter yang terbentuk sejak abad ke-19 M.

Prof. A.A. Loedin dalam Sejarah Kedokteran Di Bumi Indonesia (2005) mengungkapkan mata rantai sejarah pendidikan kedokteran dimulai dari Dokter Djawa School, STOVIA (School Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen), NIAS (Nederlandsch-Indische Artsen School) sampai ke GHS (Geneeskundige Hoge School) atas perjuangan anggota Volksraad asal Sumatera Barat, dr. Abdul Rivai.

Pendidikan kedokteran UIN adalah bagian integral dari pendidikan kedokteran Indonesia yang memiliki sejarah panjang dan distingsi dengan pendidikan kedokteran pada umumnya. Di samping mengajarkan ilmu kedokteran murni, pendidikan kedokteran UIN membekali mahasiswanya dengan perspektif keislaman.

Sebagai pemerhati, saya ingin menyatakan bahwa dokter lulusan Fakultas Kedokteran UIN harus memiliki keunggulan dalam penerapan Medical Ethics. Merujuk ulasan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, pandangan etika keagamaan sangat penting dihayati oleh para dokter, sehingga dalam menjalankan praktik kedokteran tidak semata mengikuti dorongan profesi dengan tuntutan ilmu yang dipelajarinya, melainkan – lebih dari itu – didorong oleh misi untuk melayani umat manusia sebagai puncak ciptaan Tuhan. Profesi apa pun jika tidak diarahkan pada tujuan mulia yang lebih tinggi, akan terjebak bagaikan kerja robot yang merendahkan martabat manusia.

Dokter Tarmizi Taher, mantan Menteri Agama RI, dalam buku Medical Ethics (2003) mengutarakan di Tanah Air Indonesia, perhatian terhadap etika kedokteran kurang cukup berkembang. Hal ini juga sesuai dengan kurangnya minat dari kalangan terdidik untuk menjadi dosen bidang ini. Sementara itu perkembangan ilmu kedokteran di dunia modern tidak hanya sebagai kajian medis sebagaimana tradisi ilmu kedokteran konvensional. Tetapi melibatkan disiplin ilmu lain, seperti analisis psikologi, filsafat dan agama. Sebuah tren baru dalam dunia kedokteran adalah pelibatan pendekatan non-medis, yaitu mental, pikiran dan spiritual.

Dokter yang memiliki kesadaran etik atas dasar keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan YME, tidak akan mau melakukan tindakan medis yang diketahui melanggar hukum agama dan melanggar etik atau sumpah dokter, meskipun dibujuk atau dipaksa. Praktik kedokteran yang melanggar hukum agama, etik atau sumpah dokter, misalnya tindakan aborsi (menggugurkan janin dalam rahim), euthanasia (suntik mati), cloning manusia, atau inseminasi buatan yang bukan dari benih suami istri.

Dokter yang berkesadaran etik tinggi tidak akan merekomendasikan suatu tindakan medis berbiaya tinggi terhadap pasien yang tidak terlalu dibutuhkan atau masih ada alternatif lain, walaupun secara finansial akan menguntungkan bagi dokter dan rumah sakit. Etika kedokteran Islam dan nilai-nilai Pancasila mengharuskan seorang dokter menempatkan perikemanusiaan dan keselamatan pasien di atas segalanya. Dalam praktik kedokteran Islam, di samping otak yang bekerja, perasaan dan keyakinan agama harus berfungsi sebagai pemandu tindakan.

Dokter pengabdi kemanusiaan yang menerapkan nilai-nilai Islam dalam menjalankan profesinya diharapkan lahir dari Fakultas Kedokteran UIN. Dalam bidang pengajaran dan penelitian, Fakultas Kedokteran UIN diharapkan berada di garda terdepan dalam penelitian ilmiah di bidang kesehatan dan kedokteran dengan menggali hikmah ayat-ayat Al-Quran dan relevansinya dengan sains modern.

Pengembangan pendidikan kedokteran di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam pada waktunya akan memberi nilai tambah bagi kemajuan ilmu kedokteran, etika kedokteran Islam dan kualitas kesehatan masyarakat. Bangsa Indonesia mengenal sosok dokter dan cendekiawan muslim, seperti Dr. Med. Ahmad Ramali, Dr. H. Ali Akbar, dr. H. Subki Abdulkadir, dr. H. Kusnadi, Prof. Dr. dr. Dadang Hawari dan tokoh kedokteran muslim lainnya. Semoga para dokter alumni UIN dapat meneladani pengabdian dan wawasan keilmuwan para dokter senior Indonesia tersebut.

Sistem pendidikan kedokteran dan regulasi profesi dokter di Tanah Air memerlukan terobosan-terobosan yang berguna bagi perkembangan ilmu kedokteran, perlindungan profesi dokter dan membawa manfaat kepada masyarakat luas. Saya optimis, tantangan dan harapan publik bisa dijawab oleh beberapa Perguruan Tinggi Keagamaan Islam yang menyelenggarakan pendidikan kedokteran.

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang).


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Kolom Lainnya Lihat Semua

Lainnya Lihat Semua