Kolom

Ramadan dan Perilaku Humanis Religius

M. Fuad Nasar

M. Fuad Nasar

Buya Hamka (alm) dalam salah satu khutbahnya di Masjid Agung Al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta mengatakan, berbahagialah menjadi orang Islam yang dapat merasakan kekayaan jiwa yang tidak terpermaknai melalui ibadah puasa. Ulama dan tokoh bangsa itu mengemukakan kesan perjalanannya ke Eropa (1976) sebagai bahan perbandingan bagi bangsa Indonesia yang sedang menapak era modernisasi dan perubahan di berbagai bidang.

“Orang Barat sekarang ada yang sudah bosan dengan peradabannya sendiri. Gereja-gereja kelihatan sepi. Mereka merasa tidak perlu lagi beribadah. Sudah mulai bosan melihat suasananya sendiri, mulai dari naik kapal terbang atau berhenti di Airport, di tempat pemberhentian-pemberhentian di Amsterdam, di London, atau dalam bus dan kereta bawah tanah, muka mereka tidak ada yang jernih, tidak ada hubungan satu diri dengan diri yang lain, nafsi-nafsi hidupnya. Mereka berjalan cepat-cepat, tidak menyapa satu sama lainnya, muka keruh saja, dan kalau membaca, baca sendiri, orang kanan kiri tidak peduli. Duduk seduduknya, berjalan seperjalanannya, masa bodo bergaya, yang dipikirkan cuma: money atau uang, sebab dengan uang banyak, bergaya hidup mewah. Untuk menjadi iktibar bagi kita. Di kala orang Barat sudah bosan dengan kebudayaannya sendiri, sementara kita yang berada di negeri Islam ini, ada juga yang bosan terhadap kebudayaannya sendiri. Ia mencoba dahulu menjadi orang Barat…” ujar Prof. Dr. Hamka yang menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) periode pertama.

Penghayatan agama menjadi harapan terakhir untuk memulihkan wajah manusiawi kehidupan masyarakat. Islam mewajibkan puasa agar umatnya mencapai tingkat perkembangan spiritual tertinggi yang dapat diraih secara manusiawi. Bulan suci Ramadan adalah kesempatan berharga bagi umat Islam untuk meluruskan jalan hidup menuju keridhaan Allah dan kasih sayang antar sesama manusia.

Dalam Al-Qur’an, perintah menjalankan ibadah puasa (shaum) dijelaskan pada surat Al-Baqarah ayat 183. Puasa mengantarkan orang beriman kepada pencapaian derajat takwa. Puasa adalah ibadah universal yang terdapat di dalam semua agama samawi, sekalipun cara dan motifnya berbeda-beda. Di dalam syariat Islam yang merupakan penutup semua agama wahyu, ibadah puasa diwajibkan selama satu bulan Ramadan.

Kenapa di bulan Ramadan? Karena Ramadan adalah bulan peringatan turunnya Al-Quran yang pertama kali. Puasa merefleksikan sikap hidup muslim dalam memenuhi panggilan Ilahi dan mematuhi pimpinan Rasul.

Selain membina disiplin spiritual dan moral, puasa mengandung manfaat sosial guna membangkitkan kepedulian dan kepekaan di antara sesama manusia, baik kaya maupun miskin. Sebagai bagian dari amaliah Ramadan, umat Islam dianjurkan memperbanyak doa dan shalat sunnah (tarawih atau qiyamu Ramadan), tadarus Al Quran, iktikaf di masjid sepuluh hari terakhir Ramadan, sedekah, infak dan ditutup dengan menunaikan zakat fitrah di hari Idul Fitri.

Jika direnungkan, pengendalian diri selama bulan Ramadan mendorong tertanamnya perilaku humanis religius pada setiap diri, tidak saja di bulan Ramadan, melainkan di seluruh perjalanan hidup manusia sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya. Dalam pandangan sosiologi agama, penghayatan agama bersifat individual, tetapi realitas keberagamaan merupakan gejala sosial-empiris. Perilaku humanis religius yang dikondisikan selama bulan Ramadan harus diupayakan bertahan pasca-Ramadan.

Dakwah Islam periode awal berhasil melahirkan umat Nabi Muhammad Saw yang bermutu di masa lampau atau populer disebut generasi sahabat. Pada zaman itu tidak terdapat kesenjangan antara ajaran Islam dengan perilaku dan kualitas umatnya. Kualitas umat terbentuk karena mengamalkan Al-Qur’an sehingga spirit Qur’ani membentuk pribadi muslim. Perilaku humanis religius idealnya haruslah mewarnai kehidupan umat.

Sebagai muslim yang mencintai Islam dengan sepenuh jiwa dan raga, kita gembira dan bersyukur menyaksikan semarak Ramadan di Tanah Air dan di negeri-negeri Islam lainnya. Semarak kehidupan Islami tidak cukup hanya pada pelaksanaan shalat, puasa, zakat dan haji saja sebagai jalan yang mendekatkan manusia kepada Allah. Perilaku humanis religius harus memiliki berbagai bentuk dan manifestasi dalama kehidupan nyata.

Dalam konteks sosial, Islam mengajarkan sikap dermawan dan menolong orang lain sebagai jalan yang mendekatkan manusia kepada Allah. Jalan menuju surga, selain di masjid, juga di tempat-tempat kumuh, di gubuk-gubuk derita kaum dhuafa, di sekolah-sekolah, di rumah-rumah sakit, di lembaga penegak hukum dan keadilan, dan di pasar tempat berputarnya perekonomian. Di mana kita menemukan orang-orang yang dalam kesulitan, berlinang air mata dan menanggung beban penderitaan, di situlah agama harus mengayomi manusia.

Setiap muslim harus yakin bahwa perbuatan baik sekecil apa pun akan dibalas Allah, dan perbuatan jahat sekecil apa pun mendapat balasan yang setimpal. Berbuat baik dan memberi manfaat kepada sesama manusia tidak boleh membedakan suku, bahasa, agama dan politik. Di sisi lain, seperti dikatakan oleh K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahwa tidak penting apa pun agama atau sukumu kalau bisa melakukan sesuatu yang baik buat semua orang, maka orang tidak pernah tanya apa agamamu.

Ibadah dalam Islam merupakan manifestasi iman dan menghasilkan kesalehan sebagai manusia bertakwa atau dalam tulisan ini diistilahkan sebagai humanis religius. Takwa kepada Allah akan teruji ketika manusia berhadapan dengan realitas kehidupan. Takwa menggerakkan seseorang melakukan amar makruf nahi munkar yakni mengajak orang lain kepada kebaikan dan mencegah dari berbuat yang tidak baik dengan cara yang tepat. Masjid adalah tempat seorang muslim membangun kekuatan jiwa dengan iman dan takwa sebagai bekal dalam menghadapi perjuangan hidup dan melakukan peran sebagai manusia beragama di tengah masyarakat.

Harun Nasution dalam buku Islam Rasional (1995) menguraikan tujuan terakhir dan utama dari shalat, puasa, haji, dan zakat adalah pembinaan dan pendidikan akhlak mulia. Tujuan ibadah dalam Islam bukan semata-mata menjauhkan diri dari neraka dan masuk surga, tetapi tujuan yang di dalamnya terdapat dorongan bagi kepentingan dan pembinaan akhlak yang menyangkut kepentingan masyarakat.

Islam mengajarkan bahwa nilai manusia ditentukan oleh iman dan amalnya sepanjang hayat. “Allah tidak memandang bentuk tubuh dan harta kekayaanmu, tetapi memandang hati dan amalmu.” (H.R. Muslim). Wallahu a’lam bis-shawab.

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Kolom Lainnya Lihat Semua

Lainnya Lihat Semua