Kolom

Ujung Jalan Tengah

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin Makassar)

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin Makassar)

Akhirnya kita tiba di penghujung Jalan Tengah. Jalan Tengah memang punya permulaan (start) dan tentunya punya akhir (finish). Anda boleh berada di Jalan Tengah meskipun anda berada di pinggir jalan. Karena Jalan Tengah tidak harus berarti di tengah jalan. Justru saat anda berada di tengah jalan akan membahayakan kehidupan anda.

Jalan tengah adalah konsep beragama. Bisa juga berarti metode, cara, strategi atau pendekatan dalam beragama. Orang yang berada di Jalan Tengah selalu menengok ke belakang dan menatap jauh ke depan. Mengapa menengok ke belakang? Supaya bisa mengatur jarak dengan aspek historis yang melatari hadirnya suatu pesan. Dan mengapa harus menatap jauh ke depan, supaya terbentuk perkiraan atau hitungan yang membantu untuk sampai ke tujuan.

Jalan Tengah itu bukan juga Jalan di Tengah. Berbeda dengan Jalan di Tengah yang merupakan potongan kalimat yang disambung oleh kata depan "di," Jalan Tengah adalah kata majemuk, berasal dari dua kata berbeda yang kalau digabung menghasilkan pemaknaan baru. Karenanya, Jalan Tengah itu bisa menjadi susunan konsep yang kemudian terbangun menjadi paradigma beragama.

Jalan Tengah juga tidak setiap saat harus berdiri di tengah-tengah dalam memediasi terjadinya gap atau perdebatan. Karena prinsip Jalan Tengah adalah kemaslahatan hidup. Karena untuk kemaslahatan, Jalan Tengah mencegah jalan pintas beragama, apalagi dengan cara memaksakan kebenaran dengan kekerasan.

Jalan Tengah bisa lebih condong ke sebuah pandangan atau ajaran, bila itu demi kemaslahatan bersama. Betul seorang kawan ilmuwan, bahwa mengartikan Jalan Tengah sebagai berdiri di tengah-tengah di antara dua pandangan, itu adalah pemahaman yang menutup kemungkinan untuk mengambil kemurnian sebuah ide atau gagasan yang memiliki pesona.

Jadi jalan Tengah itu meskipun berpihak, namun yang memandu pergerakan Jalan Tengah itu adalah sejauhmana sebuah keberpihakan itu memastikan tercapainya kebaikan bersama. Jalan tengah itu kokoh pada prinsip tidak memaksakan pemahaman dan menghargai keragaman. Dalam hal keragaman ini, banyak saran untuk menulis Jalan Tengah tentang perbedaan berlebaran. Saya mengapresiasi saran itu, namun saya menganggap hal itu adalah bagian dari warna khas bangsa ini yang didirikan di atas keragaman. Sejak mengerti berlebaran, saya selalu mengikuti Pemerintah. Namun, sejak itu pula saya diajarkan untuk menghargai perbedaan, saya tidak pernah terganggu dengan teman-teman yang berbeda hari lebaran yang saya ikuti. Itulah Jalan Tengah terbaik dari saya, bukan tidak pergi berlebaran.

Jalan Tengah itu inspirasi dalam kehidupan Multikultur. Masih ingat cerita orang Afrika kaya yang dermawan itu? Saya sudah ingat namanya: Femi Otedola. Saya tidak menceritakan banyak analisa terhadap cerita inspratif tentang aksi kebaikannya. Karena saya meyakini dengan metode Jalan Tengah, semua orang bisa mengambil makna dari sudut yang berbeda tentang sifat dermawannya. Jalan Tengah memberi ruang tafsir ke masing-masing orang secara merata, tanpa memaksakan makna apa yang paling benar yang bisa digenggam.

Masih ingat pembahasan tentang angka 13? Saya berani berdiri pada kritik terhadap menjamurnya mitos yang bisa mengganggu pola beraktifitas kita, khususnya pola beragama. Karena saya meyakini pemaknaan mitos itu lahir dari ketiadaan. Semua yang terjadi yang terkait dengan pemitosan, itu tidak memiliki hubungan sebab akibat, murni kebetulan.

Tidak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan, tapi hubungan sebab akibatnya ada pada aspek lain, bukan pada yang dimitoskan. Artinya Jalan Tengah itu mengandalkan fakta beragama di atas dari hal yang berbau fiksi. Kita tidak akan sampai pada Jalan Tengah yang sesungguhnya kalau nalar agama tidak bekerja secara optimal. Pada aspek inilah saya tidak sepenuhnya berada pada pandangan tentang superioritas intuisi tanpa nalar ala Jonathan Haidt.

Jalan tengah itu meniscayakan refleksi atau cermin. Masih ingat saat saya banyak membahas prilaku kebaikan dengan dasar ketulusan? Poin saya, kita tidak perlu berkecil hati kalau kita masih sering tidak tulus, karena kita punya wadah refleksi dan ragam cermin untuk selalu menata diri. Sama halnya saat membahas quadran orang dari sisi waktu dan uang. Orang yang pada level rendah, tiga dan empat adalah orang dengan kapasitas refleksi hidup yang rendah. Betul kata Kyai Zawawi Imran, orang dengan tipe seperti itu harus dibekali kemampuan refleksi diri untuk mampu mencari Jalan Tengah.

Terakhir, jalan tengah itu menghindari bias, khususnya bias gender. Jalan tengah bukan tentang kritik kepada laki-laki yang sering alfa memahami perempuan. Jalan Tengah bukan untuk membuka pembahasan yang mengotak-atik eksistensi perempuan. Jalan Tengah bukan tentang jenis kelamin secara biologis, tapi lebih kepada perlunya kedua jenis makhluk saling belajar keunikan, bawaan ataupun sesuatu yang sudah "given" pada diri mereka. Arahnya keseimbangan relasi bisa terwujud, dan kehidupan menjadi terang benderang.

Terakhir, Jalan Tengah juga tidak ingin membahas dua issu, politik dan poligami. Karena ide-ide jalan tengah tidak ingin dipolitisasi apalagi untuk ikut dalam penguatan issu politik identitas. Jalan Tengah juga tidak membahas poligami. Berat membahasnya apalagi mempraktekkannya. Kata seorang tokoh, "sepintar-pintarnya menyembunyikan sesuatu pasti akan terkuak, karena setiap gerak pasti meninggalkan jejak."

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin Makassar)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Kolom Lainnya Lihat Semua

Ruchman Basori (Inspektur Wilayah II, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI)
Puasa Birokrat

Lainnya Lihat Semua