Kolom

Wukuf di Arafah dan Pengakuan Keterbatasan Diri Sebagai Manusia

Wukuf di Arafah

Wukuf di Arafah

Di antara keistimewaan (khashâish) yang diberikan oleh Allah SWT kepada ummat Nabi Muhammad SAW adalah ibadah haji, dan orang yang melaksanakannya tergolong wafdullah (duta Allah) yang akan “disuguhkan” dengan pertunjukkan tanda-tanda keagungan-Nya, serta merasakan kenikmatan batiniyah yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Sebagaimana dalam hadis dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda:

وفد الله ثلاثة : الغازي و الحاج و المعتمر (أخرجه النسائ)

“Ada tiga delegasi Allah yaitu orang yang berperang, orang yang melaksanakan ibadah haji, dan orang yang melaksanakan ibadah umroh.” (HR. Nasa’i)

Ibadah haji adalah instrument penting dalam menguatkan sendi-sendi ke-Islam-an yang teraplikasikan dalam keihsanan kepada Allah dan makhluk-Nya. Ibadah haji juga memiliki karakteristik yang paling sempurna dibandingkan dengan ibadah lainnya yang meliputi ruhiyyah (ibadah ruh), jasadiyah (ibadah fisik), dan Mâliyah (ibadah harta). Sehingga seseorang yang melaksanakan ibadah haji berarti telah menyempurnakan seluruh sendi ke-Islam-annya.

Salah satu komponen penting ibadah haji adalah wukuf di Arafah. Rukun haji ini memiliki karakteristik khusus yaitu terhimpunnya seluruh jamaah dalam satu lokasi, satu waktu, dan satu jenis pakaian. Di Padang Arafah, seluruh hamba Allah berwukuf dengan memakai 1 (satu) warna dan 1 (satu) jenis pakaian yaitu kain ihram berwarna putih. Tidak ada perbedaan status sosial di padang Arafah, melainkan kesamaan status sebagai hamba Allah. Tidak terlihat perbedaan suku, melainkan kesamaan aqidah dan tauhid. Tidak ada kebanggaan dengan perbedaan warna kulit, melainkan kesamaan dalam lebur kekerdilan diri. Tidak ada perkataan kotor, perkataan keji, atau ungkapan kesombongan, melainkan kesamaan dalam indahnya munajat permohonan ampunan dan rahmat. Di padang Arafah, semua manusia dari berbagai bangsa dan suku melebur menjadi satu.

Khittah Ibadah Wukuf

Oleh sebab itu, wukuf di Arafah menjadi simbol shilatul îman (keterhubungan keimanan), shilatul arhâm (keterhubungan nasab), dan shilatul hadhârah (keterhubungan peradaban). Sebagaimana diisyaratkan oleh Allah SWT dalam QS. Al Hujurat: 13

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.”

Ketiga shilah tersebut (keimanan, nasab, dan peradaban) merupakan esensi “khittah ibadah Wukuf” yang dikemas oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW menjadi landasan utama penguatan prinsip-prinsip keagamaan dan kemanusiaan. Khittah ibadah wukuf terlukiskan dalam pesan Rasulullah SAW saat menyampaikan khutbah haji Wada’ (perpisahan) yang meneguhkan pentingnya menjaga kemuliaan harkat dan derajat manusia.

Khittah ibadah wukuf yang melekat pada shilatul iman (keterhubungan iman) yaitu prinsip ketuhanan (al Ilahiyyah), di mana jamaah yang haji yang datang dari seluruh penjuru dunia berpegang teguh pada kalimatun sawaa` yaitu ketauhidan dan keimanan. Di padang Arafah, mereka memohon ampunan dan rahmat kepada Tuhan Yang Maha Tunggal yaitu Allah SWT.

Adapun khittah ibadah wukuf yang melekat pada shilatul arhâm (keterhubungan nasab) yaitu prinsip kemanusiaan yang menekankan kesadaran bahwa seluruh manusia berasal dari jiwa yang satu (min nafsin wâhidatin) yaitu Nabi Adam AS. Momentum Wukuf di Arafah menguatkan tali kekerabatan di antara anak cucu nabi Adam meski berbeda jarak, tempat, dan waktu. Khittah ini membawa kepada penguatan nilai-nilai kemanusiaan untuk saling tolong menolong, saling bekerjasama dalam kebaikan, saling berkasih sayang, dan berakhlaqul karimah sebagaimana yang diibaratkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam hadits dari Nu’man bin Basyir, Rasulullah SAW bersabda:

ترى المؤمنين في تراحمهم ،وتوادهم ، وتعاطفهم ، كمثل الجسد ، إذا اشتكى منه عضو ، تداعى له سائر جسده بالسهر والحمى ” رواه البخاري ومسلم

“Kamu melihat kaum mukminin dalam berkasih sayang, mencintai, tenggang rasa, adalah seperti satu tubuh, jika ada bagian tubuh yang sakit maka seluruh tubuh lainnya merasakan panas dan berjaga.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Sedangkan khittah wukuf yang ketiga adalah shilatul hadhârah (keterhubungan peradaban) yaitu prinsip pengetahuan dan budaya. Dalam wukuf di Arafah menghasilkan pengetahuan tentang tanda kebesaran Allah SWT yang terdapat pada perpedaan warna kulit dan bahasa sehingga tercipta pola pikir, tradisi, prilaku, dan perabadan yang beraneka macam. Dalam ibadah Wukuf juga tercipta sikap ta’aruf atau saling bertukar informasi atau pengetahuan tentang perabadan suatu bangsa, sehingga jamaah haji memiliki wawasan yang luas tentang peradaban dunia.

Ketiga shilah tersebut yaitu keimanan, nasab, dan perabadan akan terakumulasi dalam khittah inti wukuf yaitu makrifat, berupa pengetahuan dan penghayatan tentang hakekat penciptaan diri sendiri yang mengantarkan kepada penghayatan keagungan Allah SWT. Manusia harus memahami bahwa dirinya membutuhkan keimanan, memiliki keterbatasan dalam penciptaan, dan membutuhkan kreasi manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Padang Arafah adalah ladang makrifat, di mana jamaah haji wajib menjalani zawal yaitu pergeseran ke arah yang positif, bergeser dari shâlih (baik) menjadi mushlih (menebar kebaikan), bergeser dari muslim menjadi mu`min/muttaqin, bergeser dari angkuh menjadi patuh, bergeser dari karakter buruk kepada karakter baik, bergeser dari kemaksiatan kepada ketaatan.

Demikian pula jamaah haji wajib berwukuf, yaitu berdiam sejenak untuk memutus keburukan dalam hati, pikiran, dan tindakan. Dan jamaah haji wajib ber-arafah yaitu menyadari bahwa dirinya memiliki keterbatasan-keterbatasan, serta menyadari bahwa kehidupah dunia hanyalah kendaraan menuju kehidupan akhirat yang kekal.

Dalam ibadah wukuf, pakaian ihram hanyalah symbolik bahwa kehidupan manusia itu dibatasi, tidak seorang pun dari jamaah haji yang berani melewati batasan itu, semua harus memakai kain ihram dengan warna yang sama dan di lokasi yang sama. Jika terdapat jamaah haji yang memakai pakaian berjahit atau berwukuf di luar padang Arafah, maka ibadah hajinya batal. Hal ini menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang dibatasi, dibatasi dengan syariat, dibatasi dengan batas usia, dibatasi kekuatan fisiknya, dibatasi jangkauan berpikir, dan lain sebagainya.

Manusia memang memiliki kekuatan fisik dan akal serta kesempurnaan dalam penciptaannya, namun terbatas dan terukur. Proses penciptaan manusia pun telah diatur oleh Allah SWT, dan fungsi tubuh pun memiliki batasan. Manusia terlahir lemah, kemudian dijadikan kuat oleh Allah, lalu kemudian kembali menjadi tua dan melemah. Sebagaimana firman Allah SWT,

اَللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْۢ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْۢ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَّشَيْبَةً ۗيَخْلُقُ مَا يَشَاۤءُۚ وَهُوَ الْعَلِيْمُ الْقَدِيْرُ

“Allah adalah Zat yang menciptakanmu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan(-mu) kuat setelah keadaan lemah. Lalu, Dia menjadikan(-mu) lemah (kembali) setelah keadaan kuat dan beruban. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia Maha Mengetahui lagi Mahakuasa.” (Qs. Ar Rum: 54)

Karakteristik keterbatasan menunjukkan arti kesempurnaan, karena manusia tercipta dan berbuat dengan spesialisasi yang berbeda antara satu dengan lainnya. Tidak ada seorang pun yang memiliki semua spesialisasi, dia ilmuwan, juga olahragawan, juga pedagang, juga wartawan, juga petani, dan sebagainya. Namun kebijaksanaan Allah SWT yang menjadikan manusia dibatasi ruang dan waktu, serta dibatasi kemampuan fisik dan pengetahuan agar tercipta harmonisasi kehidupan, sikap saling membantu, sikap saling bertukar pengetahuan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, berwukuf di padang Arafah untuk meneguhkan kesadaran diri sebagai makhluk yang dibatasi.

Kesimpulan tulisan ini, bahwa wukuf di Arafah adalah momentum terbaik bagi setiap jamaah haji untuk menguatkan tali keimanan (shilatul îmân), tali kemanusiaan (shilatul arhâm), dan tali peradaban (shilatul hadhârah) untuk menggapai khittah inti ibadah wukuf yaitu makrifat. Sehingga setelah melaksanakan ibadah haji, mereka mengalami pergeseran secara positif dalam pengamalan nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan.


Dr. H. Ahmad Zayadi, M.Pd (Direktur Penerangan Agama Islam)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Opini Lainnya Lihat Semua

Lainnya Lihat Semua