Kristen

Beriman dan Berbuat di masa Pandemi

Pdt. Anton Pasaribu, S.Th (Ketua Sinode Gereja Presbyterian Missi Indonesia/GPMI)

Pdt. Anton Pasaribu, S.Th (Ketua Sinode Gereja Presbyterian Missi Indonesia/GPMI)

Syalom. Salam Sejahtera dari Tuhan Yesus Kristus bagi kita sekalian. Ada peribahasa yang megatakan tak kenal maka tak sayang, tetapi saat ini saya mengatakan tidak kenal maka tidak tahu. Sebab berbicara tentang sayang, Tuhan mengajar kita untuk sayang kepada semua orang/ mahluk.

Sinode Gereja Presbyterian Missi Indonesia yang disingkat dengan Sinode GPMI, satu-satunya yang berkantor Pusat di Kota Batam. Sinode ini di dirikan pada tahun 2000 oleh seorang Missionaris dari Korea Selatan yang bernama Rev. Ki Sool Cho (alm) yang telah menyerahkan hidupnya sepenuhnya untuk Indonesia. Harapan kami pemirsa mimbar agama kristen Republik Indonesia di manapun, untuk mendoakan Sinode GPMI untuk tetap maju dalam ambil bagian melaksanakan Amanat Agung Yesus Kristus untuk Indonesia.

Indonesia dan dunia dilanda Pandemi Covid 19 hampir dua tahun. Pandemi ini telah membentuk tatanan hidup yang baru bagi seluruh umat manusia. Tatanan pola hidup yang baru ini tentu menimbulkan persoalan yang baru juga, baik dalam bidang ekonomi, kesehatan, sosial kemasyarakatan, keagamaan, dan lainnya.

Sebagai umat Tuhan, bagaimana kita mengatasi persoalan-persoalan tersebut? Bagaimana kita dapat bersukacita dan bahagia serta memiliki pengharapan di masa-masa yang sulit dan tidak pasti ini? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, saya memberi tema Mimbar Minggu kali ini dengan “Beriman dan Berbuat di masa Pandemi”. Dalam Yakobus, 2:17 dijelaskan, “Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati”.

Tema “Beriman dan Berbuat di masa Pandemi” ini sengaja diangkat berkenaan dengan tema kalender gerejawi minggu ini yang menekankan tentang kewaspadaan terhadap kemunafikan. Kata kemunafikan dalam KBBI memberikan pengertian, ‘berpura-pura percaya atau setia kepada agama tetapi sebenarnya dalam hatinya tidak’. Dalam pengertian lainnya, ‘selalu mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan perbuatannya’.

Istilah yang dipakai dalam Alkitab berasal dari kata Yunani ‘hupokrites’ yang berarti ‘seorang pemain drama’( aktor/ aktris). Yaitu, seseorang yang memerankan suatu peran kepura-puraan, di mana peran itu menunjukkan sesuatu kehidupan yang berbeda dengan kenyataan yang sesungguhnya.

Tuhan Allah membenci sikap yang demikian. Yesaya menuliskan dalam kitabnya mengenai sikap ini bahwa Tuhan Allah akan menindak orang-orang yang demikian secara ajaib, (Yesaya, 29:13-14), yang dikutip oleh Yesus ketika menunjuk kepada pemimpin-pemimpin agama Yahudi, dalam Matius 15:8-9, “Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia." (TB).

Beberapa ayat yang lain dalam kitab Injil menjelaskan bahwa Yesus mengecam keras kemunafikan. Dia mengatakan bahwa orang ‘munafik’ itu bagaikan serigala buas yang menyamar seperti domba" (Matius 7:15); orang ‘munafik’ itu bagaikan kuburan yang penuh dengan kebusukan dan bau, namun dilabur putih" (Matius 23:27), dan kemunafikan itu bagaikan "ular-ular," dan "keturunan ular beludak" (Matius 23:33). Sebab itu, perlu kita perhatikan perkataan Yesus dalam khotbah dibukit, WASPADALAH. (Mat,7:15)”.

Perkataan ini menunjukkan bahwa semua orang punya potensi jatuh dalam kehidupan kemunafikan, bukan hanya orang-orang yang hidup di luar Kristus, tetapi di antara anak-anak Tuhan bahkan para pemimpin-pemimpin gereja, orang-orang yang berdiri di belakang mimbar dan juga para pengajar-pengajar dikampus-kampus teologia.

Ada dua hal, yang perlu kita waspadai berkaitan kemunafikan. Pertama, waspadalah supaya kita sendiri jangan jatuh pada kehidupan kemunafikan. Kedua, waspadalah supaya kita tidak diperdaya oleh orang-orang yang hidup dalam kemunafikan, sehingga, kita terperangkap dalam maksud-maksud yang terselubung melalui perkataan-perkataan atau perbuatan-perbuatannya yang pura-pura.

Yang menjadi pertanyaan bagi kita, apa yang harus kita lakukan sebagai sikap waspada terhadap kemunafikan itu? Yang kita harus lakukan adalah membangun kehidupan spiritualitas dengan iman yang benar. Kita harus mengalami pertumbuhan iman yang sehat dan iman itu harus kelihatan melalui perbuatan-perbuatan yang nyata melalui kehidupan kita.

Yakobus (2:17) mengatakan, “Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati”. Dan ditegaskan dalam ay.22, “Kamu lihat, bahwa iman bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna”.
Yakobus menjelaskan ada dua obyek dari perbuatan-perbuatan yang dilahirkan dari iman, yaitu: Tuhan Allah dan sesama manusia.

Pertama, perbuatan yang dilahirkan dari iman berkenaan dengan Tuhan Allah. Yakobus, 2: 21 menjelaskan, Bukankah Abraham, bapa kita, dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya, ketika ia mempersembahkan Ishak, anaknya, di atas mezbah?.

Kisah yang menakjubkan, anak yang dijanjikan yang diperoleh di masa tuanya, diminta Tuhan untuk dipersembahkan menjadi korban bakaran, dia taati dan lakukan. Prinsip Abraham adalah menjadi orang yang taat kepada Tuhan. Taat pada panggilan Tuhan, Taat pada perintah Tuhan. Dia tidak memiliki alasan atau pertimbangan untuk tidak menaati Tuhan. Prinsip ini menunjukkan iman yang berkualitas yang nyata dari perbuatan sehingga Abraham disebut bapa orang beriman. Baginya, Tuhan Allah menjadi yang utama dan yang Pertama.

Pandemi ini membuat warna yang berbeda dalam hidup bergereja; diberhentikan sementara perkumpulan, dibatasi jumlah peserta dalam ibadah, dipersingkat jam Ibadah, dilaksanakan ibadah secara online atau metode lainnya. Menurut saya, sebenarnya hal itu tidak menjadi masalah, yang menjadi masalah adalah jikalau ibadah itu kita lakukan dengan tidak berkualitas, ibadah itu hanya menyentuh mata dan telinga namun hati tidak.

Hendaklah di masa yang sukar oleh pandemi ini kita makin lebih hormat, lebih taat, lebih sungguh-sungguh, lebih benar di hadapan Tuhan. Kita harus menjadi penyembah-penyembah yang benar, yang menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran. Sebab Alkitab mengajar kita, bahwa pilihan yang tepat yang harus kita lakukan di masa-masa kesulitan dan kesukaran adalah datanglah menghadap Tuhan.

Peperangan Israel dengan Amalek dikisahkan bahwa apabila Musa mengangkat tangannya, lebih kuatlah Israel, tetapi apabila ia menurunkan tangannya, lebih kuatlah Amalek (Kel, 17:11). Daud berkata dalam nyanyian syukurnya kepada Tuhan, Maz, 18:5-7, “Tali-tali maut telah meliliti aku, dan banjir-banjir jahanam telah menimpa aku (5). Tali-tali dunia orang mati telah membelit aku, perangkap-perangkap maut terpasang di depanku (6). Ketika aku dalam kesesakan, aku berseru kepada TUHAN, kepada Allahku aku berteriak minta tolong. Ia mendengar suaraku dari bait-Nya, teriakku minta tolong kepada-Nya sampai ke telinga-Nya (7).”

Pandemi ini sudah menimpa kita, memberikan keletihan bagi pemerintah dalam usaha mengatasinya, menimbulkan kesusahan kepada seluruh masyarakat yang terdampak virus ini. Maka Yesus berkata dengan lembut kepada kita, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (Matius, 11:28).

Kedua,perbuatan yang dilahirkan dari iman berkenaan dengan sesama. Yakobus, 2: 15 menjelaskan, “Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, dan seorang dari antara kamu berkata: "Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!," tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu?”.

Yakobus membuat suatu narasi yang menyadarkan kita, bahwa tidak patut bagi seorang yang beriman, bagi seorang Kristen, bagi seorang pengikut Kristus, memperkatakan perkataan namun tidak selaras dengan perbuatan. Tentulah ketika melihat orang yang tidak berpakaian berilah dia pakaian, kepada yang kekurangan makanan, berilah dia makanan, maka tepatlah apabila kita berkata “Selamat Jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang”. Teladan orang Samaria yang murah hati ketika melihat orang-orang yang berkesusahan di sekitaran kita, harus diterapkan.

Menarik untuk memperhatikan pengajaran Yesus dalam Matius, 25:31-46. Dijelaskan, bahwa pada kedatangan Anak Manusia dalam kemuliaan-Nya, Dia akan mengumpulkan semua orang, seperti gembala Ia akan memisahkan antara domba dan kambing. Domba ke sebelah kanan dan kambing ke sebelah kiri. Yang menarik, yang membuat berbeda domba dan kambing bukan bentuk tetapi perbuatan. Domba adalah yang memberi makan yang lapar, memberi minum yang haus, memberi tumpangan kepada orang asing, memberi pakaian kepada yang telanjang, merawat orang yang sakit dan mengunjungi orang-orang yang terpenjara. Sedang kelompok yang disebut kambing yang berada disebelah kiri-Nya, walaupun melihat, berada bersama tetapi tidak melakukannya.

Pandemi ini telah merusak sendi-sendi perekonomian dan kesehatan masyarakat. Tidak sedikit yang mengalami kebangkrutan usaha, kehilangan lapangan pekerjaan, kesulitan menciptakan lapangan usaha baru, banyak yang sakit dan harus diisolasi, tidak sedikit yang akhirnya meninggal dunia dan meninggalkan duka yang mendalam bagi keluarganya. Mereka mungkin ada di sekeliling kita, ada orang-orang yang lapar, haus, asing, sakit, berdukacita, kehilangan pengharapan yang menantikan uluran tangan orang, Maka Tuhan mengatakan kepada kita supaya hadir di tengah-tengah mereka membawa kabar bahagia.

Lakukanlah sesuatu yang berguna bagi mereka. Lakukanlah sebisa anda melakukannya. Sebab menolong orang bukan diukur dari seberapa anda mampu tetapi seberapa anda mau. Paulus menegaskan, “Sebab seluruh hukum Taurat tercakup dalam satu firman ini, yaitu: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”, (Galatia, 5:14).

Kesimpulan
1. Tentu kita mengenal seekor reptil yang disebut bunglon. Ia bisa mengubah warna kulitnya menyesuaikan di mana dia berada, tetapi tidak mengubah kodratnya. Di hadapan manusia, kita bisa bersikap munafik dan mengelabuinya, tetapi tidak ada orang yang sukses bersikap munafik di hadapan Tuhan. Sebab Tuhan Mahatahu. Oleh sebab itu, jauhilah hidup kemunafikan dan milikilah iman yang berkualitas melalui iman yang nyata dari perbuatan-perbuatan kita.

2. Satu batang besi ukuran 10 kg mungkin hanya dihargai Rp60.000. Tetapi jika besi itu diolah menjadi paku bisa menjadi seharga Rp200.000. Jika besi itu diolah dan dibentuk menjadi kursi dipan dan diletakkan di Istana raja untuk dipakainya, pasti akan dihargai dengan nilai yang sangat mahal. Artinya, dunia ini bisa memberikan nilai yang rendah tentang kita, mengabaikan kita, namun jika kita menunjukkan iman dalam perbuatan kita dengan melatih dan menumbuhkan ketaatan, melakukan apa yang harus dilakukan kepada Tuhan dan kepada sesama manusia yang membutuhkan belas kasihan, apalagi di masa pandemi ini, maka itulah yang memunculkan kita menjadi orang-orang yang bernilai kerajaan. Sebab kita telah menunjukkan nilai hidup yang beriman dan berbuat di masa pandemi ini.

Yesus berkata dalam Matius, 5:13-16: Kamu adalah garam dunia, jika garam itu tidak asin, tidak ada lagi gunanya selain di injak-injak orang. Kamu adalah terang dunia. Terang tidak mungkin tersembunyi, dia harus ada di atas kaki dian. “Garammu harus asin dan terangmu harus bersinar” melalui iman yang nyata dari perbuatan khususnya di masa pandemi ini. Amen.

Tuhan Yesus memberkati


Pdt. Anton Pasaribu, S.Th (Ketua Sinode Gereja Presbyterian Missi Indonesia/GPMI)

Kristen Lainnya Lihat Semua

Pdt. Dr. Andreas Agus (Rohaniwan Kristen)
Layak Dipercaya

Mimbar Agama Lainnya Lihat Semua

Khutbah Jumat
Keagungan Ramadan