Kristen

Mencintai adalah Prestasi

Pdt. Supeno Lembang (Ketua Sinode Gereja Kristen Nafiri Sion)

Pdt. Supeno Lembang (Ketua Sinode Gereja Kristen Nafiri Sion)

Salam sejahtera bagi seluruh umat Kristen di tanah air. Selamat datang di Mimbar Kementerian Agama yang kita cintai ini. Selamat tahun baru, tahun 2022.

Refleksi Minggu ini membahas tentang Mencintai Adalah Prestasi. Nats terambil dari Yohanes 13:34 yang berbunyi sebagai berikut: “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi.”

Ayat di atas merupakan perintah baru yang diberikan Tuhan. Perintahnya, untuk saling mengasihi dengan standar seperti Yesus mengasihi manusia. Perintah artinya bukan alamiah, karena orang lapar tidak perlu diperintah, ia akan langsung makan. Manusia tidak usah diperintah untuk bernafas, karena bernafas adalah alamiah. Tetapi hal itu lain dengan mengasihi. Semua yang alamiah tidak perlu diperintah, akan tetapi perbuatan yang tidak alamiah cenderung sulit dan perlu diperintah, dijadikan alasan yang kuat karena Yesus adalah pemimpin kita semua.

Kita wajib menyelesaikan perintah itu, menggenapi sebuah tantangan. Karena itu, suatu perbuatan yang biasa tidak menjadi prestasi. Apabila kita menyelesaikan sebuah misi, itu adalah prestasi. Oleh karena itu mencintai adalah prestasi yang harus kita capai, harus diupayakan, diperjuangkan, dipersiapkan, bukan alamiah naluriah. Bukan pula masalah perasaan, mencintai ini berbeda dengan masalah perasaan.

Dari pengalaman sehari-hari, banyak orang mengalami cinta, mendapat perhatian, mendapat pemberian berlimpah, perasaan bergelora senang luar biasa. Sebenarnya ia tidak sedang mencintai tetapi ia sedang dicintai. Dari kecil, manusia sering belajar kemampuan untuk dicintai, jarang diajarkan bagaimana untuk mencintai, mengembangkan kapasitas untuk mencintai.

Anak kecil didandani sedemikian rupa, diajarkan bertingkah laku yang sopan agar memeroleh perhatian, pujian, bahkan mendapatkan cinta. Ajang pemilihan artis idol di televisi, ajang pemilihan ratu kecantikan, olahragawan terkenal, semuanya adalah pengembangan kapasitas untuk bisa dicintai. Kamu harus baik, ramah, agar nanti jodohmu orang hebat.

Pendek kata semua orang belajar dicintai. Kapasitas untuk mengasihi tidak pernah terasah. Sehingga, sedikit sekali kita jumpai dalam masyarakat, bahkan dalam gereja sekalipun, orang yang mempunyai kapasitas untuk mencintai. Yang banyak kita jumpai justru orang yang berlomba-lomba untuk dicintai. Seolah-olah membuat diri dicintai itu sama dengan membuat diri sukses. Dicintai disamakan dengan keberhasilan. Hal ini membuat mengasihi itu tidak terlatih dengan baik, bahkan dilupakan menjadi barang langka.

Orang Kristen berlatih, berlomba-lomba menjadi orang yang dikasihi oleh sesama. Bahkan, ia melatih diri untuk mendapat kasih Tuhan. Jadi jarang di gereja diajarkan bagaimana mengasihi, mencintai Tuhan. Padahal ada sisi lain yakni mengasihi Tuhan, mengasihi orang lain. Bukan sebagai objek penerima tetapi sebagai subjek pemberi. Bukan sebagai tanah yang menerima, tetapi sebagai matahari yang memacarkan kasih. Oleh karena itu, mencintai bukan urusan sederhana. Mencintai adalah kapasitas mengasihi, dan itu merupakan prestasi.

Mencintai tidak serta merta, seperti seni perlu dikembangkan dan dilatih. Harus ada usaha, ada upaya, ada pengetahuan. Jika seseorang ingin mengobati orang lain, bukan saja harus tahu anatomi tubuh, namun secara praktik juga harus mengetahui bagaimana mengobati orang tersebut. Jadi mengasihi juga begitu, perlu teorinya dan perlu juga praktiknya. Apalagi standar yang diberikan oleh Tuhan adalah mengasihi sama seperti Yesus mengasihi kita.

Perlu empat unsur untuk bisa mengasihi. Yaitu, kerendahan hati, keteguhan hati, keyakinan, dan kedisiplinan. Ini semua kualitas yang langka dan jarang diperlihatkan. Yesus memperlihatkan kerendahan hati yang sangat dahsyat, dalam rangka mengasihi manusia. Ia memberikan dirinya sebagai ganti dosa manusia yang luar biasa itu.

Di dalam Filipi 2:7 disebutkan: “melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.”

Mengosongkan diri seringkali kita pikirkan seperti mengosongkan botol Aqua, dikosongkan dan dituangkan airnya keluar, sehingga botolnya kosong. Bukan demikian, mengosongkan diri berarti mengesampingkan statusnya, mengabaikan hak yang melekat pada statusnya. Inilah makna kerendahan hati.

Jadi untuk mengasihi perlu elemen utama ini. Mengasihi isteri, suami, dan anak, seseorang perlu tindakan melampaui batas statusnya. Di dalam bahasa sehari-hari, melampaui gengsinya. Jadi mengasihi itu harus mengesampingkan gengsi. Untuk mengasihi manusia, kerendahan hati ini sangat dibutuhkan, perlu kestabilan di dalam batin, tidak takut dianggap remeh, tidak marah kalau ditolak, karena mencintai itu memang perlu upaya.

Kedua, mengasihi itu perlu keteguhan hati, karena mencintai itu bukan selalu perasaan yang menyenangkan. Kalau mencintai dan orang yang dicintai itu selalu wangi, harum, mencintai itu berbeda dengan pengalaman cinta. Pengalaman cinta dapat menyenangkan, berbunga-bunga, tetapi mencintai justru banyak tantangan, banyak hambatan yang perlu dilewati dan diatasi.

Mengasihi itu bukan untuk mencari upah dan mencari balasan. Mencintai yang sejati bukan perdagangan. Kalau saya mengasihi anda, anda buat apa? Anda kok seperti itu, buat apa saya mengasihi anda? Itu tidak jarang, justru sering didengar. Mengasihi tidak mudah, terkadang mengakibatkan luka. Lihat Yesus, Ia mencintai sampai terluka, sampai mati di atas kayu salib.

Keteguhan hati diperlukan agar orang tidak mundur di tengah jalan. Sebab, mengasihi ini adalah persoalan maraton. Tidak menjadi malas dan tidak menjadi kecewa karena yang dikasihi bukan saja tidak berterima kasih tetapi malah air susu dibalas air tuba. Oleh karena itu mencintai adalah prestasi. Pesan ini semakin jelas. Bagi orang Kristen, mengasihi itu adalah prestasi, semua harus mencoba menggapainya.

Mencintai perlu keyakinan. Keyakinan ini semacam iman yang diperlukan setiap oramg. Sehingga, mereka yang dicintai akan berubah menjadi orang yang lebih baik.

Mencintai adalah upaya mengembangkan pribadi yang dicintai. Lihat seorang ibu mengasihi anaknya, ia berharap suatu hari anaknya menjadi mandiri. Ia tidak berharap anaknya akan selalu bergantung kepadanya. Dia mencintai anaknya bukan seperti mencintai hanphonenya, bahwa ini adalah miliknya. Seorang ibu mencintai dan berharap anaknya berkembang bahkan lebih besar darinya. Jadi mencintai itu perlu keyakinan bahwa orang yang kita cintai itu meskipun buruknya seperti apapun, tetap punya keyakinan bahwa akan berubah menjadi orang yang lebih baik.

Itulah cinta Yesus. Yesus mengasihi manusia. Dia memiliki keyakinan bahwa umatNya akan menjadi orang yang lebih baik. Dengan cara mengasihi jauh lebih baik daripada menghukum. Di Perjanjian Lama, menghukum. Di Perjanjian Baru, mengasihi adalah sebuah cara untuk mengembangkan. Kalau dulu didisiplinan dengan cara digetok, kalau saat ini Tuhan Yesus menawarkan, bahwa mengasihi itu perlu keyakinan bahwa yang dikasihi itu akan berubah. Bukan selalu bergantung kepada-Nya, bukan milik Dia selamanya.

Mencintai itu perlu keyakinan, bahwa ada hal yang baik yang akan dialami oleh orang yang kita cintai. Yesus dalam mencintai manusia bermaksud mengembangkan pribadi itu, agar melakukan perkara lebih besar. Ada keyakinan, bahwa mencintai adalah jalan yang terbaik untuk menyelesaikan banyak masalah. Jadi sekali lagi mencintai itu adalah prestasi.

Terakhir, mencintai itu perlu disiplin. Mencintai bukan urusan perasaan yang naik turun, kadang senang, kadang sulit. Seperti seni, semakin dilatih, semakin sering mencintai. Semakin sering dilakukan, semakin fasih mengasihi.

Mengasihi perlu disiplin, karena ini jangka panjang. Mencintai adalah maraton. Sudah disiplinkah dalam mengasihi seseorang? Kondisi menyenangkan memudahkan seseorang untuk mengasihi. Bagaimana kalau tidak dalam keadaan menyenangkan, orang-orang yang mengasihi semakin lama semakin berkurang karena orang lebih banyak memfokuskan diri pada dirinya sendiri.

Jadi di tahun 2022 ini, semoga semakin banyak prestasi. Dengan segala kerendahan hati, mari jadikan mengasihi sebagai prestasi yang akan diraih tahun ini. Mari sama-sama membentuk, mempunyai kerendahan hati, keyakinan, ketekunan, dan disiplin dalam melatih kapasitas untuk mengasihi. Sehingga, tahun 2022 bisa dilewati dengan prestasi untuk saling mengasihi.

Tuhan memberkati. Kiranya umat Kristen di manapun berada, semakin teguh dan mempunyai cita-cita menjadikan mencintai sebagai sebuah piala yang akan dikejar dan bersama-sama melatih diri untuk mendapatkannya. Tuhan memberkati!

Pdt. Supeno Lembang (Ketua Sinode Gereja Kristen Nafiri Sion)


Fotografer: Istimewa

Kristen Lainnya Lihat Semua

Pdt. Dr. Andreas Agus (Rohaniwan Kristen)
Layak Dipercaya

Mimbar Agama Lainnya Lihat Semua

Khutbah Jumat
Keagungan Ramadan