Opini

Agama dan Civil Society

Kamaruddin Amin (Dirjen Bimas Islam)

Kamaruddin Amin (Dirjen Bimas Islam)

Salah satu characteristic feature of Indonesia yang unik dan merupakan modal sosial yang sangat berharga adalah eksistensi, engagement, dan peran civil society, khususnya Islamic based civil society dalam proses dan kehidupan berbangsa bernegara. Civil society berbasis Islam ini telah menjadi agen-agen produktif dalam mendiseminasikan pesan-pesan agama. Mereka terlibat aktif berkontribusi memberdayakan masyarakat, mendidik mencerdaskan bangsa, menjadi jembatan emas menerjemahkan agama dalam berbangsa dan bernegara.

Civil society merekatkan kehidupan sosial di tengah mega keragaman Indonesia. Mereka mengkonstruk artikulasi Islam Indonesia yang kompatibel dengan demokrasi dan modernitas dan respek terhadap keragaman. Bahkan secara umum, civil society Indonesia memiliki hubungan yang sangat kooperatif, mesra, dan produktif dengan pemerintah.

Peran itu antara lain dimainkan NU dengan badan-badan otonomnya, antara lain Muslimat NU, Fatayat NU, Gerakan Pemuda Ansor NU, Ikatan Pelajar NU, IPPNU, PMII, Jam’iyyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah al-Nahdhiyyah (JATMAN), Jam’iyyatul Qurra wal Huffaz (JQH), Ikatan Sarjana NU, Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi), Pencak Silat Pagar Nusa, PERGUNU, Serikat Nelayan NU, Ikatan Seni Hadhrah Indonesia NU (Ishari NU).

Hal sama juga diperankan Muhammadiyah dengan badan otonomnya, mulai dari Aisyiyah, Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Tapak suci putra Muhammadiyah, dan lainnya. Civil Society lainnya adalah Persis, al Irsyad, LDII, al-Washliyah, Hidayatullah, Persatuan Umat Islam (PUI), Nahdhatul Wathan, al Khaerat, Jamiyyat Khaer, Matlaul Anwar dan masih ada sekitar 12.386 lagi ormas Islam ditambah dengan tidak kurang dari 93.854 majlis taklim dan 7699 lembaga dakwah.

Itu semua adalah entitas penting yang tidak hanya telah menjadi infrastruktur sosial (the unshakable social infrastructure) dan turut mengkonstruk Islam Indonesia yang damai, toleran, inklusif dan demokratis, tapi juga telah berperan sentral dan instrumental sebagai agen perwakilan (representative agent) dalam menjelaskan Islam di Indonesia melalui lembaga pendidikan, lembaga dakwah, dan lembaga pemberdayaan masyarakat yang mereka bina.

Demikian pula, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) berbasis kabupaten kota, bahkan kecamatan, yang terus bekerja mengelola keragaman dan merawat kerukunan antar umat beragama. Bersama pemerintah dan ormas lainnya, mereka juga berperan dalam merawat keutuhan NKRI. FKUB selalu tampil terdepan Ketika muncul masalah antar umat beragama.

Peran sentral MUI tak kalah pentingnya, tidak hanya membimbing dan menjaga keimanan umat tetapi tidak jarang menjadi rujukan dan sumber otoritas, walau bukan satu-satunya rujukan, ketika muncul paham keagamaan yang berbeda dari pemahaman mainstream atau oleh sebagian “dianggap melenceng atau sesat”. Kasus Ahmadiyah, Syiah, Salamullah, NII, al Qiyadah al Islamiyah, Mahesa Kurung, Haqiqiyah, al Haq, Bab Kesucian, Inkar Sunnah, Hakekok, al Mahdiyah, dan lainnya, adalah di antara paham keagamaan yang muncul dalam kehidupan beragama di Indonesia.

Pemerintah bersama MUI dan ormas Islam lainnya telah mengambil langkah bersama mengelola dinamika keagamaan ini. Sehingga, potensi konflik dan keresahan yang dapat ditimbulkan berhasil diredam, walau belum dapat diklaim tuntas. Inilah salah satu contoh sinergi dan kolaborasi antara pemerintah dan ormas Islam dalam menyelesaikan masalah sosial keagamaan yang muncul. Inilah distingsi landskap Islam Indonesia yang tak mudah ditemukan di negara muslim yang lain.

Konvergensi, dialektika, serta sinergi agama, negara, dan civil society dalam pergumulan Indonesia modern telah terbukti sangat produktif dan powerful menjaga dan merawat konstitusi, UUD 1945, Pancasila, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika, yang merupakan kesepakatan para pendiri bangsa. Jika ada gerakan yang ingin mengubah konstitusi, maka tidak hanya berhadapan dengan pemerintah tetapi juga dengan ormas ormas keagamaan ini.

Namun demikian, semua ini tidak berarti everything is gonna be fine. Globalisasi dan kemajuan teknologi informasi dengan segala hal positif yang dibawanya juga berpotensi mendisrupsi kehidupan sosial keagamaan, termasuk ancaman bagi peran dan otoritas ormas-ormas Islam, terutama jika tak mampu beradaptasi dengan realitas dan tidak cukup cakap dalam berkontestasi mengelola kecendrungan umatnya.

Potensi panetrasi ideologi transnasional, ekstremisme, terorisme, sampai ultra konservatisme, akan menjadi kenyataan yang tak terbendung jika tidak dilakukan langkah langkah preventif.

Seperti apa tantangannya? Simak edisi Refleksi Ramadan berikutnya

Kamaruddin Amin (Dirjen Bimas Islam)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua