Opini

BPIH, antara Kalkulasi Biaya dan Kebijakan Politik

Askar berjaga di sekita Kabah

Askar berjaga di sekita Kabah

Menarik mencermati dinamika pembahasan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 1444 H/2023 M. Proses pembahasan Panitia Kerja (Panja) BPIH demikian terbuka, disiarkan langsung melalui kanal Youtube Komisi VIII DPR sehingga publik bisa turut mengikuti diskusinya. Sepanjang sejarah kerja Panja BPIH, sepertinya pembahasan tahun ini lah yang paling terbuka, kondisi yang sangat positif tentunya.

Pembahasan BPIH diawali dengan rapat kerja antara Kementerian Agama dan Komisi VIII DPR pada 19 Januari 2023. Raker itu mengagendakan penyampaian usulan pemerintah terkait biaya haji tahun ini. Mewakili pemerintah, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengusulkan rata-rata BPIH sebesar Rp98.893.909,11.

Bersamaan itu, pemerintah mengusulkan komposisi BPIH yang terdiri dari dua komponen. Pertama, Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) yang ditanggung jemaah sebesar Rp69.193.734,00 (70%) dan penggunaan dana Nilai Manfaat (optimalisasi) sebesar Rp29.700.175,11 (30%). Merujuk Undang-undang No 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, Nilai Manfaat adalah dana yang diperoleh dari hasil pengembangan keuangan haji yang dilakukan melalui penempatan dan/atau investasi.

Konteks 2022
Pemberangkatan jemaah haji Indonesia mengalami dua kali pembatalan, yakni tahun 2020 dan 2021, karena dunia dilanda pandemi. Baru pada tahun 2022, Arab Saudi memberi lampu hijau bagi pengiriman jemaah haji dari luar negaranya. Jemaah haji Indonesia bisa kembali beribadah haji. Pertengahan April 2022, Pemerintah Arab Saudi menginformasikan bahwa kuota haji Indonesia 2022 berjumlah 100.051 jemaah, terdiri atas 92.825 reguler dan 7.226 haji khusus.

Pemberian kuota haji tahun 1443 H/2022 M tidak dilaksanakan seperti tahun-tahun sebelumnya, yaitu melalui penandatangan MoU antardua negara yang diwakilkan oleh Menteri Haji dan Umrah Arab Saudi dan Menteri Agama RI. Kuota diberikan secara langsung oleh Pemerintah Arab Saudi melalui e-Haj dan bersifat mandatori atau given. Sehingga, saat itu tidak ada ruang negosiasi karena memang tidak ada pembahasan MoU antarmenteri sebagaimana penyelenggaraan tahun-tahun sebelumnya.

Dalam suasana masih pandemi, penetapan kuota haji oleh Kerajaan Arab Saudi, baru diterbitkan pada pertengahan April 2022. Secara waktu, informasi kepastian kuota haji saat itu sebenarnya sudah sangat mepet, karena biasanya pembahasan MoU sudah dilakukan sejak bulan Desember tahun sebelumnya. Apalagi, pemberangkatan kloter pertama jemaah haji sudah harus dilakukan pada awal Juni 2022.

Beruntung, saat itu pemerintah melakukan sejumlah langkah mitigasi. Pembahasan BPIH sudah dilakukan sejak awal 2022, dengan asumsi kuota 50%, yakni 110.500 jemaah. Estimasi yang tidak meleset jauh dari total kuota yang akhirnya diberikan Saudi. Dalam pembahasan itu, Komisi VIII dan Pemerintah pada 13 April 2022 menyepakati BPIH rata-rata sebesar Rp81.747.844,04 per jemaah. Rinciannya, Bipih yang harus dibayar jemaah rata-rata sebesar Rp39.886.009, sedang penggunaan dana Nilai Manfaat per jemaah sebesar Rp41.053.216,24.

Pada tahun 2020, sebelum adanya keputusan pembatalan keberangkatan, Komisi VIII dan Pemerintah sebenarnya sudah menyepakati BPIH. Saat itu, Bipih yang harus dibayar jemaah rata-rata senilai Rp35,2 juta. Artinya, ada selisih dengan penetapan Bipih 2022. Meski demikian, selisih itu tidak dibebankan kepada jemaah haji lunas tunda tahun 1441 H/2020 M. Penambahan biaya dibebankan kepada alokasi Virtual Account.

Tahap selanjutnya, jemaah melakukan pelunasan Bipih 2022. Jelang keberangkatan, tepatnya pada pertengahan Mei, setelah jemaah haji 2022 melakukan pelunasan Bipih, Arab Saudi menetapkan adanya kenaikan Biaya Masyair (layanan di Arafah, Muzdalifah, dan Mina) bagi semua negara pengirim jemaah haji dengan jumlah yang sangat signifikan. Layanan yang biasanya dan telah dianggarkan pada kisaran SAR1.500 an melonjak ke angka SAR5.656 per jemaah. Selain itu, ada juga tambahan anggaran untuk tachnical landing di Bandara Juanda, Surabaya. Total anggaran yang dibutuhkan lebih dari Rp1,5 triliun. Jika didistribusikan pada kuota jemaah haji reguler saat itu, tambahan anggaran mencapai dari Rp16,9juta per orang.

Ada tiga pilihan sikap atas keputusan sepihak Saudi saat itu. Pertama, membebankan tambahan anggaran itu kepada jemaah. Jika pilihan ini diambil, berarti jemaah harus menambah pembayaran Bipihnya. Jika yang harus dibayar lagi Rp16,9juta misalnya, artinya total Bipih 2022 mencapai Rp56,7 juta.

Kedua, membatalkan kembali pemberangkatan jemaah haji Indonesia. Faktanya, ada sejumlah negara yang mengambil pilihan ini, salah satunya adalah China. Ketiga, anggaran tambahan operasional haji tidak dibebankan kepada jemaah haji, tapi mengunakan dana efisiensi dan Nilai Manfaat keuangan haji.

Pada praktiknya, pilihan ketiga yang disepakati pemerintah dan Komisi VIII DPR. Jemaah tetap hanya membayar Bipih 2022 dengan rata-rata RP39,8 juta. Namun, anggaran Nilai Manfaat menjadi membengkak, melebihi batas alokasi normal yang bisa disiapkan oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Dana Nilai Manfaat yang awalnya dialokasikan pada kisaran rata-rata Rp41,05 juta, jika ditambah lebih kurang Rp16,9juta, totalnya mencapai Rp57,9 juta. Dalam laporan BPKH disebutkan bahwa BPIH 2022 mencapai Rp97,79 juta dengan rincian Bipih sebesar Rp39,89 juta dan Nilai Manfaat mencapai Rp57,91 juta. Komposisi yang sangat tidak ideal karena nyata menggerus Nilai Manfaat yang sebenarnya juga menjadi hak jemaah haji yang masih antre untuk berangkat ke Tanah Suci.

Kalkulasi BPIH
Januari 2023, pemerintah mengusulkan BPIH sebesar Rp98,8 juta. Usulan ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan BPIH 2022. Usulan pemerintah selanjutnya menjadi dasar pembahasan Panja BPIH. Serangkaian pembahasan dilakukan, termasuk peninjauan lapangan, baik di dalam negeri maupun di Arab Saudi. Itu dilakukan dalam rangka mengkonfirmasi sejumlah komponen dan usulan biaya yang diajukan pemerintah. Dari situ, diharapkan dapat diperoleh rumusan BPIH yang terbaik. Proses kalkulasi BPIH pun dimulai.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah kalkulasi diartikan sebagai perincian biaya, ongkos, atau pengeluaran. Istilah ini juga diterjemahkan sebagai perhitungan. Dalam konteks BPIH, kalkulasi bisa diartikan sebagai upaya melakukan penghitungan biaya, ongkos, atau pengeluaran yang dibutuhkan dan dianggap rasional dalam penyelenggaraan ibadah haji.

Proses ini harus dilakukan oleh DPR sebelum mereka memberikan persetujuan atas usulan yang disampaikan Pemerintah. Mekanismenya dilakukan oleh Panja BPIH. Regulasi mengatur bahwa persetujuan DPR harus diberikan paling lama 60 hari setelah diterimanya usulan BPIH dari pemerintah. Selang hampir sebulan, Pemerintah dan Komisi VIII DPR pada 15 Februari 2023 menyepakati besaran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 1444 H/2023 M dengan rata-rata Rp90.050.637,26 per jemaah haji reguler. Jumlah ini sekitar Rp8 juta lebih sedikit dibanding usulan awal pemerintah, Rp98.893.909,11.

Penurunan tersebut terjadi, karena ada sejumlah efisiensi yang disepakati dalam pembahasan Panitia Kerja (Panja) BPIH. Efisiensi itu antara lain berkenaan anggaran hotel di Makkah, layanan katering dari sebelumnya tiga kali menjadi dua kali, selisih kurs Dollar dari estimasi awal Rp15.300 menjadi Rp15.150, efisiensi biaya sewa pesawat dari USD33.950 menjadi USD32.743, termasuk juga bersumber penurunan living cost dari awal diusulkan SAR1.000 menjadi hanya SAR750.

Politik Komposisi
Berdasarkan kalkulasi, BPIH usulan pemerintah dengan kesepakatan DPR berjarak 8juta. Selisih yang menurut hemat penulis relatif mudah dipahami dan rasional karena memang adanya efisiensi setelah dilakukan cek harga di lapangan dan juga penurunan sejumlah layanan.

Namun, perbedaan mencolok justru terjadi pada komposisi. Bersamaan dengan BPIH pada kisaran Rp98,8juta, pemerintah mengusulkan komposisi Bipih 70% dan penggunaan Nilai Manfaat hanya 30%. Argumentasinya, memperhatikan aspek keadilan dan kesinambungan pengelolaan dana Nilai Manfaat. Pemerintah berpandangan Nilai Manfaat dana jemaah haji harus dijaga karena tidak hanya menjadi hak jemaah yang akan berangkat, tapi juga lebih lima juta jemaah haji yang masih mengantre.

BPKH dalam beberapa tahun terakhir hanya mampu mengalokasikan nilai manfaat maksimal Rp7,1 triliun. Dua tahun pembatalan keberangkatan jemaah haji memberi hikmah tersendiri. Kondisi itu menjadikan BPKH bisa menyimpan saldo Nilai Manfaat hingga Rp15 triliun (2020 dan 2021). Hampir dua triliun saldo itu terpakai pada tahun 2022 untuk menutup pembayaran kenaikan biaya Masyair dan kekurangan lainya. Berdasarkan kesepakatan dengan Komisi VIII, saldo tersebut tahun ini juga akan terambil hampir Rp2 triliun.

Pemerintah menilai skema defisit Rp2 triliun per tahun tidak bisa terus-menerus dijalankan. Sebab, jika itu terus terjadi, sementara imbal hasil BPKH tidak ada kenaikan signifikan, maka saldo bisa habis dalam lima tahun ke depan. Padahal, pada 2027 diperkirakan akan ada dua kali pemberangkatan jemaah haji, awal dan akhir tahun. Sehingga, dibutuhkan alokasi anggaran Nilai Manfaat sampai dua kali lipat.

Atas argumentasi ini, pemerintah memandang pentingnya mulai memperhatikan keberadilan dan keberlanjutan Nilai Manfaat. Sebab, anggaran nilai manfaat juga hak jutaan jemaah yang masih antre. Di situlah pemerintah mengajukan usulan komposisi 70%:30%. Sebab, dengan komposisi tersebut, perkiraan dana Nilai Manfaat yang akan digunakan hanya pada kisaran Rp5,9 triliun, masih di bawah ambang batas alokasi maksimal dari BPKH.

Komisi VIII DPR pada dasarnya senada dengan pemerintah dalam hal pentingnya menjaga kesinambungan Nilai Manfaat. Hal ini antara lain tercermin dari adanya kesepakatan bahwa prosentasi Bipih tahun ini harus lebih besar dari Nilai Manfaat. Hanya saja, dinamika dalam Rapat Panja dan Raker Komisi VIII mencerminkan keinginan agar Bipih tidak terlalu memberatkan jemaah. Di sinilah kebijakan politik ikut memarnai komposisi biaya haji. Komisi VIII DPR bersama pemerintah pada akhirnya menyepakati Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) yang ditanggung jemaah sebesar Rp49.812.700,26 (55,3%). Sedangkan penggunaan nilai manfaat hasil pengelolaan dana haji sebesar Rp40.237.937 (44,7%).

Tentu saja ada konsekuensi dari setiap pilihan kebijakan. Kesepakatan Bipih memang relatif lebih rendah dari usulan pemerintah. Namun, hal itu juga berdampak pada lonjakan penggunaan Nilai Manfaat. Usulan awal pemerintah, penggunaan Nilai Manfaat hanya Rp5,9 triliun. Sementara hasil kesepakatannya mencapai Rp8,09 triliun. Bahkan, seiring adanya kebijakan lunas tunda 2020 tidak menambah biaya pelunasan, ada penambahan kebutuhan nilai manfaat mencapai Rp845 miliar. Sehingga totalnya mencapai Rp8,9 triliun. Ada perbedaan hingga Rp2 triliun. Ini jelas bukan jumlah yang kecil, mengingat Nilai Manfaat juga menjadi hak jutaan jemaah yang masih antre dan didistribusikan ke virtual account mereka masing-masing.

Fakta ini menunjukkan betapa kalkulasi komposisi Bipih dan Nilai Manfaat tidak bisa dilepaskan dari aspek politik dalam proses pengambilan kebijakannya. Tarik ulurnya pada keadilan keberpihakan, baik pada jemaah yang akan berangkat maupun jemaah yang masih dalam antrean. Kondisi ini juga sangat dipengaruhi pada sejauhmana kemampuan BPKH dalam menghasilkan Nilai Manfaat yang optimal. Semakin banyak Nilai Manfaat yang dihasilkan dan bisa dialokasikan, tentunya akan dapat menekan Bipih yang harus dibayar jemaah. Sebaliknya, jika hasil BPKH tidak kunjung bertambah, kebijakan politik yang berakibat potensi defitist hingga Rp2 triliun memang perlu ditinjau ulang, sebagaimana usulan pemerintah.

Dus, dalam konteks yang seperti ini, pemerintah di tahun mendatang cukup mengusulkan BPIH saja. Adapun komposisi Bipih dan Nilai Manfaatnya bisa dibahas kemudian, berdasarkan kemampuan alokasi Nilai Manfaat dari BPKH dan pertimbangan politik lainnya. Wallahu a'lam!

Moh Khoeron (Pranata Humas Ahli Muda Kementerian Agama)

*Artikel ini telah terbit dengan judul yang sama pada rubrik Opini Koran Sindo edisi 20 Februari 2023 dan sindonews.com


Editor: Indah

Opini Lainnya Lihat Semua

Keislaman Lainnya Lihat Semua

Ruchman Basori (Inspektur Wilayah II, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI)
Puasa Birokrat