Opini

Can A Male Savior Save A Women?

JB Kleden (Penulis Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Kupang

JB Kleden (Penulis Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Kupang

“Sebelum liburan Paskah, mahasiswa semester VI Prodi Penyuluh Agama lewat mata kuliah Pendidikan Pemberdayaan Perempuan melaksanakan program kelas kampanye bersama menolak kekerasan seksual di lingkungan kampus dan pacaran sehat. Hay Puan tubuhmu berharga!!! Tubuhmu bukan properti. Nol Toleransi untuk kekerasan seksual di lingkungan kampus!!!”

Meski media sosial sering diasosiasikan dengan media guncing, kutipan yang berasal dari FB Lanny Koroh tersebut bukanlah sebuah innuendo. Ini cuma potret pelaksanaan program perkuliahan mahasiswa IAKN Kupang, yang dipost, didisplay, dan diumumkan dalam ruang media sosial. Tema program aksinya lah yang membuat postingan ini nampak sebagai sebuah small talk on big things.

Dari frasa pembukanya “sebelum liburan Paskah…” secara intuitip saja, bisa dikatakan, sangat boleh jadi aksi ini sekadar isi waktu menjelang liburan Paskah. Mungkin saja mata kuliah sang dosen telah selesai, daripada surfing to nowhere, yang hasilnya tidak jadi apa-apa juga, mendingan bikin aksi-aksian bersama ke mana suka: yang penting bermanfaat dan rame rasanya di medsos. Kira-kira begitu.

Kendati demikian, frasa pembuka yang mengesankan sebuah transito ini justeru menarik perhatian saya. Ia seperti sebuah antara, sebuah perangkai, jembatan yang menghubungan dua sisi yang saling kontras tetapi bertaut. Kampanye penolakan kekerasan seksual di kampus (program aksi) di sisi sini dan Paskah, saat pembebasan, saat kebangkitan di seberang sana.

Kita tahu kekerasan seksual berbasis gender di kampus, belakangan ini, telah menjadi pandemi yang amat mengkhawatirkan. Seperti korupsi ia telah menjadi extra-ordinary-crime dan membutuhkan keterlibatan bersama secara massif untuk pencegahannya.

Paskah merupakan tradisi iman Gereja untuk merayakan sengsara, wafat, dan kebangkitan Yesus Kristus yang menyelamatkan. Dan keselamatan itu memberi arti untuk kehidupan manusia karena membebaskannya dari keterpenjaraan di dalam kegelapan dan membuka perspektif yang baru, menjanjikan dan penuh harapan.

Jika tradisi iman dan kepercayaan Kristiani menyatakan Yesus Kristus adalah Mesias, Kristus Sang Juru Selamat, maka sebuah pertanyaan yang pantas diajukan di sini adalah: Can a male savior save a woman?

Mungkin ada yang pikir pertanyaan ini sekadar mengada-ada. May be yes, may be not. Bukankah kekerasan seksual di lingkungan kampus hanya sebuah gunung es dari monumen penderitaan wanita dalam budaya dan agama yang sudah terjadi selama berabad-abad karena patriarkalisasi? Yesus sendiri hidup dan dibesarkan dalam tradisi dan agama Yahudi dengan wajah yang sangat-sangat maskulin. Haruskah kaum perempuan musti menyingkirkan Yesus kemudian mencari sebuah penebusan dan penyelamatan yang berwajah feminis.

Pertanyaan ini telah dilontarkan lebih dari empat dasawarsa lalu dan menjadi titik eksplorasi Rosemary Radford Ruether dalam “Sexism and God-Talk” (1983). Perempuan Katolik saleh ini adalah salah satu cendekiawan pertama yang memikirkan secara mendalam tentang peran perempuan dalam kekristenan. Dan ia memberikan kesaksian tentang berlangsungnya “patriarkalisasi” selama lima abad pertama pertumbuhan gereja.

Dalam pertumbuhan itu, Gereja yang semula hanya satu sekte kecil yang bersembunyi dalam katakombe-katakombe, menjelma menjadi agama raksasa kerajaan Romawi yang sangat maskulin. Dan berkuasa sekuasa-kuasanya. Dengan argument yang moderat tetapi amat menantang, Rosemary berkesimpulan gambaran Mesias, Kristus, selama ini dipenuhi oleh mitos-mitos maskulin.

Perlu ditambahkan di sini, Mesias, Kristus adalah sebuah gelar, suatu gagasan, yang dilekatkan kepada Yesus setelah kebangkitan. Dengan gelar ini para pengikutNya coba menyatakan misteri yang terdapat dalam pribadi, karya, dan ajaran Yesus. Gelar itu tidak absolut. Yang absolut ialah misteri penyelamatan yang diwartakan semua agama besar sudah berabad-abad lamanya.

Jika Yesus itu dilucuti dari gambaran Mesias yang maskulin, kita akan menemukan Yesus historis seperti yang diwartakan Injil. Yang menjadi sasaran tembak a founding mother of feminist theology ini bukanlah Kristus yang feminis. Yang istimewa dan menjadi fokus utama, tetapi tidak eksklusif, dari aspirasi Rosemary adalah Yesus historis yang begitu kritis terhadap tradisi dan agama Yahudi seperti dilukiskan dalam Injil.

Yesus secara konsisten mengajarkan dalam perkataan dan perbuatannya bahwa mereka yang teraniaya dan tertindas justeru yang akan diselamatkan. Dalam hal ini kaum perempuan menjadi pencerminan mereka yang direndahkan, yang tertindas dari yang paling tertindas. Maka pertanyaan“Paskah: can a male savior save a woman bukanlah perkara kecil. Ia menyimpan seluruh pemahaman mengenai iman yang terlibat sepanjang waktu di segala tempat.

GUGATAN teolog feminis ini mengajak kita yang merayakan Paskah untuk secara kreatif memanfaatkan simbol-simbol yang begitu inspiratus dalam Kitab Suci untuk membuat dimensi pembebasan Yesus menjadi aktual dan relevan. Dalam konteks ini, kita bisa menggunakan pendapat Pieris mengenai caranya orang bisa secara adekuat berbicara tentang Kristus dalam konteks Asia.

Lebih dari dua dasawarsa, Aloys Pieris, manusia bijak dari Sri Langka ini berbicara mengenai Putera Allah di Asia. Dalam “Speaking of the Son of God in Non-Christian Cultures in An Asian Theology of Liberation (1988)” Pieris menganggap penting dua tindakan profetis Yesus dalam Injil, yakni Pembaptisan-Nya di sungai Yordan dan Pembaptisan-Nya pada Salib di Golgota untuk membuat Yesus bisa disapa di dalam hati bangsa-bangsa sepanjang zaman.

Peristiwa pembaptisanNya di sungai Yordan menunjukkan Yesus secara radikal mengidentikkan dirinya dengan kaum hina dina yang tersingkirkan dan dipinggirkan dalam tradisi adat dan agama yahudi. Yesus mengerti apa yang membelenggu dan apa yang membebaskan dalam religiositas Israel. Ia turun ke dalam sungai lalu menyerahkan diri dibaptis oleh Yohanes. Masuk ke dalam sungai Yordan artinya masuk ke dalam inti soteriologis budaya religious pada zaman dan tempatnya dan memperkenalkan diri sebagai Putera Allah yang terkasih yang harus di dengar.

Pembaptisan pertama ini membawa Yesus ke pembaptisan keduanya di Golgota. Religiositas benar tidak mungkin tanpa turut serta dalam konflik dan perjuangan menyelamatkan orang dari penderitaan, dari belenggu struktur yang menindasnya. Peristiwa Golgota ingin menegaskan agama tidak akan menjadi otentik bila tidak disertai dengan partisipasi dalam mengatasi belenggu kemiskinan yang membawa seseorang pada salib.

Perjuangan Kristus untuk menegakkan Kerajaan Allah, yang berarti Kerajaan Pembebasan bagi kaum tertindas, belum selesai dan musti dilanjutkan oleh para pengikutnya bersama dengan saudara-saudarinya yang beriman lain. Yesus historis tidak terumuskan dalam manusia 2000 tahun lampau. Penebusan terus berjalan dan berlanjut hingga saat ini.

Rosemary Radford Ruether dan Aloysis Pierris telah menunjukkan langkah-langkah yang telah diambil Yesus untuk memperkenalkan identitas diriNya yang unik dan misi penyelamatanNya. Anamnese, kenangan akan penderitaan, wafat dan kebangkitan Yesus, musti selalu akrab dengan kenyataan keras dari kaum kecil, juga dengan kaum perempuan dan peradaban yang terluka.

Oikumene Paskah dalam isolasi dengan situasi sosial keterlukaan yang menindas merupakan suatu bahaya. Kita hanya akan membuat Gereja sebagai tempat perlindungan dari pada suatu sumber ketenangan dan sakramen keselamatan.

“Nicht ein homo religious, sondern ein Mensch schlechthin ist der Crist”, demikian kata-kata teolog Lutheran Dietrich Bonhoeffer tentang seorang Kristen sejati di tengah dunia yang tak lagi menghormati nilai-nilai manusiawi ini. “Bukan seorang homo religious, melainkan seorang manusia yang sungguh-sungguh, begitulah seorang Kristen.” Karena misi penyelamatan agama-agama adalah urusan cinta lebih daripada urusan kebenaran

Keterlibatan adalah sebuah perjuangan seumur hidup. Di dalam perjuangan ini semua agama butuh saling menguatan, saling memberi inspirasi, mengingatkan dan meneguhkan untuk menjadi orang beriman yang terlibat dan terlibat sebagai orang beriman membangun Indonesia yang Damai. Untuk dunia yang aman. Program kelas seperti yang dilakukan Prodi Penyuluh Agama IAKN Kupang ini merupakan inisiatif yang baik untuk maksud tersebut. "Ia mendahului kamu ke Galilea; Jangan Takut!" (Matius 28:7, 10).

JB Kleden (Penulis Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Kupang


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua