Opini

Covid-19: Mengembalikan Jati Diri Manusia dan Bangsa

M. Wahib Jamil

M. Wahib Jamil

Suatu hari, sahabat kami yang senantiasa bersama saat berangkat, pulang, dan aktifitas kerja bercerita kalau kondisi fisiknya mulai terasa tidak nyaman. Ia tak bisa mencium bebauan, mencecap rasa berbagai makanan. Kondisinya lemas, panas-dingin dan batuk pilek. Maka timbul dalam benak kami, bahwa itu adalah tanda-tanda gejala Covid-19. Kesimpulan inipun mulai ada dalam benak dokter yang mendampingi dan sebagai tempat konsultasi kami semua.

Hasil Rapid Test Non Reaktif, tapi gejala semakin nyata, maka saatnya mencari kepastian dengan SWAB Test. Lima hari dari SWAB Test, ternyata betul bahwa hasilnya positif. Demikianlah sepenggal cerita singkat yang kami alami sebagai pengalaman ketika terkena Covid-19.

Dalam kajian kedokteran, Adityo Susilo, C. Martin Rumende (2020), bahwa Covid-19 merupakan kasus pneumonia misterius yang pertama kali muncul di Wuhan. Awal mula penyakit ini dinamakan 2019 novel coronavirus (2019-ncov). Kemudian WHO pada 11 Februari 2020 menamakan Coronavirus Desease (Covid-19). Covid -19 merupakan penyakit yang disebabkan dari Virus Corona, dengan partikel 120-160nm, yang penyebarannya sangat tidak kasat mata, dengan berbagai gejala yang secara umum sama, akan tetapi memiliki berbagai tingkatannya. Tingkatan penderita covid 19 tergantung dari kondisi kesehatan masing-masing. Bagi yang memiliki imun tubuh baik, maka gejala sangat kecil terasa. Sebaliknya bagi yang memiliki imun tubuh lemah, atau yang memiliki penyakit komorbid (penyakit penyerta dalam stadium tertentu) boleh jadi akan terasa betul gejala dan sakit yang dirasakan, bahkan bisa menyebabkan kematian.

Covid-19 telah menjadi pandemi di seluruh dunia, sejak awal tahun 2020. Setiap negara mensikapi dengan berbagai variasi kebijakannya. WHO sebagai Lembaga Kesehatan Internasional pun mengalami kesulitan untuk mengambil kebijakan. Di Indonesia juga ada dinamika kebijakan, pusat hingga daerah.

Lima Aspek

Covid-19 telah menyadarkan kita tentang lima aspek. Pertama, aspek Spiritual. Covid-19 menunjukkan kekuasaan Tuhan secara mutlak. Ia bisa mengenai siapapun, tanpa memandang kelas, kualitas diri, kaya miskin, taat beragama atau tidak taat beragama, menjaga diri ataupun abai terhadap protokol kesehatan. Dengan meminjam istilah Metz, yang merujuk pada filsuf Denmark Soren Kierkegaard, dengan Covid 19 ini, semua manusia mengalami interupsi spiritual.

Hal ini menyadarkan kita bahwa manusia adalah makhluk yang lemah, tidak berdaya, semua berada dalam kekuasaan Tuhan. Jika Tuhan berkehendak tidak ada satupun yang mampu menghalanginya. Manusia bukanlah penentu segalanya, walaupun pada dirinya sendiri. Maka di sinilah penyadaran sebagai jati diri manusia, tidak boleh sombong tapi juga tidak boleh putus asa. Tidak boleh boleh bangga, tapi juga tidak boleh minder, tidak boleh merasa berhasil, tapi juga tidak boleh berhenti berikhtiar.

Kedua, aspek hospitality. Covid-19 walaupun menjadi ranah kesehatan yang paling utama, akan tetapi tidak bisa diselesaikan hanya dari aspek kesehatan. Covid-19 meliputi banyak aspek dalam kehidupan sosial, keagamaan, ekonomi, kejiwaan, dan kesehatan itu sendiri. Maka penyelesaiannya menurut Amin Abdullah (2020) harus melibatkan integrative-inteconectif dan melibatkan multidisiplin, interdisiplin dan transdisiplin.

Penanganan kasus pandemi Covid-19 harus didukung berbagai aspek kehidupan dan melibatkan semua kalangan dengan berbagai disiplin ilmunya. Kita mengakui perjuangan para dokter dan tenaga medis lainnya, bahkan sudah berapa banyak mereka yang gugur dalam perjuangannya, akan tetapi perjuangan itu tidak ada artinya jika para pebisnis, penggerak wisata, pelaku usaha lainnya termasuk para tokoh agama, tidak ikut mendukung dan menjaganya.

Ketiga, aspek humanism. Penanganan pandemi Covid-19 bagi penderita tidak hanya tuntas dengan penanganan kesehatan. minum vitamin, olahraga dan menjaga imun. Akan tetapi aspek pengelolaan diri yang paling utama. Tracing kesehatan dengan SWAB dan Rapid Test penting tetapi tidak segalanya, karena berapa banyak orang yang menderita, mengalami gejala yang mereka tidak mendapatkan tracing tersebut, bahkan tidak melakukan ikhtiar untuk menjaga diri dan orang lain. Mungkin dari ratusan juta penduduk Indonesia, hanya sekian persen yang menyadari pentingnya tracing dan ikhtiar mandiri untuk menjaga diri dan orang lain. Maka aspek kejujuran, kesabaran, husnudzan dan peduli pada keamanan pada orang lain menjadi penting dalam kehidupan ini. Dalam bahasanya Kierkegaard tokoh eksistensialisme, puncak tertinggi kehidupan manusia jika manusia itu mengetahui akan hakikat dirinya dalam kehidupan.

Keempat, aspek sosial. Pandemi Covid-19 hendaknya dapat menumbuhkan kesadaran sosial. Manusia adalah makhluk sosial, yang saling membutuhkan dan berbagi pada sesamannya. Penderita Covid 19 bukan aib, bukan cela, itu anugerah Tuhan untuk hamba-Nya. Memberikan peluang amal bagi warga masyarakat, menjadi ladang untuk mewujudkan kebersamaan.

Kelima, aspek berbangsa dan bernegara, covid 19 merupakan cara Tuhan untuk menyadarkan kepada semua pihak terutama pemangku bangsa dan negara tercinta Indonesia. Negara ini bukan milik segelintir orang, negara ini adalah amanah Tuhan yang diberikan pada manusia untuk menjaga dan merawatnya demi kemakmuran rakyat. Covid 19 hendaklah menjadi momentum untuk kembali bersatu membangun bangsa dan negara ini.

Pertarungan politik cukuplah sebagai wahana demokrasi dalam merumuskan mekanisme penentuan pemimpin bangsa. Kepentingan rakyatlah yang utama. Janji-janji politik bukan sekadar untuk meraih kemenangan, tetapi sebagai upaya untuk mewujudkan kemakmuran, keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Tuhan tidak akan pernah mendiamkan hamba-Nya yang berbuat dzalim dan ketidakadilan, Sebaliknya Tuhan juga akan senantiasa menolong pada hambaNya yang senantiasa menjaga amanah-Nya.

Kiranya tepatlah, momentum pandemi Covid 19 yang melanda seluruh penduduk dunia, menyadarkan kita semua untuk terus bersatu, membangun kerukunan dan peradaban Indonesia yang lebih baik. Meminjam bahasa sufi legendaris Ibnu Atthoilah, jika manusia tidak bisa menerima sapaan kelemahlembutan Tuhan dengan kesadaran menuju kebaikan, maka Tuhan akan menggesernya dengan berbagai cobaan dan siksaNya. Warga negara Indonesia adalah warga yang memiliki peradaban adiluhung, menjaga norma-norma ketimuran yang penuh kesantunan. Perjuangan bangsa ini bukan menghadapi musuh-musuh kolonialisme seperti masa lalu, tetapi yang utama adalah bagaimana bisa menghadapi diri kita sendiri. Covid-19, menyadarkan jati diri dan bangsa ini untuk bersatu menuju Indonesia Maju.

M.Wahib Jamil (Kepala Bagian Tata Usaha Kantor Wilayah Kementerian Agama DIY)

Tags:

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua