Opini

Islam, Pengkaji dan Pengamalnya

Kamaruddin Amin (Dirjen Bimas Islam)

Kamaruddin Amin (Dirjen Bimas Islam)

Kalau kita bicara tentang Islam, secara epistimologi, ada tiga hal yang harus kita bedakan. Pertama, sumber otoritas Islam (religious source of authority), yakni Al-Qur’an dan sunnah yang menjadi sumber dan fondasi utama kita beragama. Dalam hal ini, di dunia hanya ada satu Al-Quran, tidak ada versi lain. Baik sunni maupun syiah, memiliki Al-Quran yang sama.

Ketika bicara tentang sunnah, yang terefleksi dalam kitab-kitab hadis, perbedaan sudah mulai muncul, terutama antara sunni dan syiah karena masing masing memiliki kitab rujukan utama yang berbeda. Sunni memiliki kutub al-sittah (kitab enam, yakni Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan an-Nasai, Sunan Abu Dawud, Jami al-Tirmidhi dan Sunan Ibn Majah). Bahkan, ada juga kutub tisá (kitab sembilan ditambah, Muwatta Malik, Musnad Ahmad Ibn Hanbal dan Sunan ad Darimi) dan kitab musannafat yang lain, seperti Musannaf Abd Razzaq al Sanáni dan lainnya.

Sementara syiah, memiliki empat kitab rujukan utama yang disebut dengan al-kutub al arbaá, yaitu al-Kafi karya al-Kulayni, Man la yahdhuruhu al-faqih, Tahdhib al-ahkam, dan al-Istibshar. Perbedaan rujukan utama ini menyebabkan terjadinya perbedaan fundamental yang tidak mudah dikopromikan.

Kedua, pemahaman, penafsiran para ulama, sarjana, para penstudi Islam terhadap sumber otoritas di atas. Lahirlah sejumlah kitab tafsir, fiqih, tasawwuf sejarah dan lainnya, mulai dari yang klasik sampai yang modern, dengan perspektif, pendekatan dan metodologi yang berbeda yang tak terhitung jumlahnya di seluruh dunia. Pemahaman tentang agama ini kemudian menjadi sangat extensive karena perbedaan perspektif, pendekatan, bahkan kepentingan.

Potensi perbedaan menjadi tak terhindarkan. Perbedaan kapasitas, latar belakang, kecendrungan dan afiliasi sosial poilitik tidak jarang menentukan karakter penafsiran dan pemahaman para ulama.

Sejak zaman nabi sampai hari ini, karya tentang Islam ini tidak pernah berhenti. Islam pun tidak hanya dipelajari di negara-negara Muslim atau mayoritas Muslim. Islam diteliti, dikaji, dipelajari di seluruh dunia. Tidak hanya di Al Azhar Kairo, Jamiatul Imam di Riyad, Universitas Madina, al-Mustafa di Qum, Iran, Qurawiyyin di Maroko, Zaytuna di Tunis, atau di India, Pakistan, Bangladesh, Malaysia atau Indonesia, tapi juga di Eropa dan Amerika.

Sekarang ini, sulit menemukan universitas besar berkelas dunia di Amerika dan Eropa yang tidak memiliki pusat kajian Islam. Bahkan, studi Islam universitas terkemuka dan tertua di Amerika dan Eropa sudah sangat lama dan sangat mapan. Kajian Islam di Oxford dan Cambridge di Inggeris, Harvard dan Chicago di Amerika, Sorbone di Paris, Leiden di Belanda, Uni Heidelberg, Berlin dan Bonn di Jerman, Mc Gill di Canada adalah contoh-contoh perguruan tinggi kelas dunia yang memiliki tradisi kajian studi Islam yang sangat mapan. Western scholarship on Islam telah melahirkan karya karya monumental dalam berbagai bahasa Eropa, terutama Inggeris, Jerman, Perancis. Bahkan untuk mengkaji Islam awal di abad pertama kedua hijriah, atau masa masa pembentukan Islam karya karya monumental orientalis Eropa penting dan sangat kaya.

Ketiga, bagaimana agama (Islam) secara empiris diamalkan, diartikulasikan dalam pelataran sejarah peradaban Islam. Dalam konteks ini pengamalan agama bisa memiliki banyak versi. Artikulasi Islam di Timur Tengah dalam hal tertentu bisa berbeda dengan yang ada di Eropa, di Amerika, di Afrika, di Asia termasuk Indonesia. Sebab, implementasi agama adalah hasil dialektika dan interaksi intensif antara sumber otoritas dan pemahaman terhadapnya dengan reliatas dimana agama itu diamalkan.

Faktor budaya, tradisi, kualitas peradaban suatu tempat sangat mempengaruhi karakter artikulasi agama yang di amalkan. Jika agama diyakini compatible dengan semua zaman dan tempat, agama harus diterjemahkan secara empiris agar responsif dan adaptif bahkan kontributif terhadap kemajuan, pembangunan, dinamika sosial, budaya, ekonomi politik dimana agama itu diamalkan.

Di Eropa dan Amerika misalnya, isu integrasi antara tradisi dan budaya yang dibawa oleh para imigran yang notebene Muslim dengan budaya Eropa yang (katanya) menjunjung tinggi nilai demokrasi, kesetaraan jender, kebebasan individu, hak asasi manusia, dan lain-lain, sering menimbulkan ketegangan relasional antara para imigran dan penduduk asli. Bahkan, tidak jarang agama (Islam) dianggap kontraproduktif terhadap kemajuan dan bertentangan dengan nilai-nilai Eropa yang maju dan modern. Ini adalah interaksi yang tidak produktif yang menyebabkan agama tidak difahami sebagaimana mestinya.

Last but not least, apakah studi Islam di Indonesia cukup diperhitungkan? Tampaknya belum. Scholar Indonesia yang tampil dalam panggung-panggung akademik global tampaknya masih sangat terbatas. Karya karya akademik para sarjana dan ulama kita tampaknya juga masih tertinggal jauh, walau beberapa abad lalu kita pernah punya ulama besar kaliber dunia.

Tapi saya mencoba mengamati begini, bahwa ulama kita memang tidak banyak melahirkan karya karya monumental seperti ulama Timur Tengah, tetapi mereka berkarya dan mengabdi langsung ke masyarakat, membimbing umat mendirikan pesantren, dan lainnya. Hasilnya, pemahaman dan pengamalan Islam yang damai oleh masyarakat seperti yang kita rasakan sekarang.

Sementara di tempat lain, produksi karya monumental para ulama terus berjalan tetapi negaranya tidak stabil secara sosial politik, dan tidak jarang pemahaman agama yang tidak benar yang menjadi pemicunya. Mungkin karena ulamanya kurang turun ke lapangan, membimbing umatnya. Dengan kata lain, orang boleh belajar Islam di mana saja di dunia ini karena untuk studi Islam, Indonesia memang belum terlalu diperhitungkan. Tetapi, bagaimana Islam diamalkan dan dipedomani dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Indonesia sangat pantas diperhitungkan. Karena Islam Indonesia telah melahirkan Islam yang damai, toleran dan bahkan terlibat dan berkontribusi penting dalam pembangunan. Setuju? Wallahu a’lam.

Kamaruddin Amin (Dirjen Bimas Islam)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Opini Lainnya Lihat Semua

Keislaman Lainnya Lihat Semua

Ruchman Basori (Inspektur Wilayah II, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI)
Puasa Birokrat