Opini

Jalan Tengah: Hukum Energi 

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin Makassar)

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin Makassar)

Seorang bijak pernah bersabda tentang hukum energi yang terjadi pada manusia. Orang dengan energi lebih rendah cenderung meragukan, menyangkal, atau iri kepada yang lain. Orang dengan energi yang setara cenderung menyukai, mengagumi, atau membenarkan yang lain. Orang dengan energi yang lebih tinggi cenderung memahami, mendukung, atau menoleransi yang lain.

Energi adalah daya atau kekuatan untuk beraktivitas, berpikir, bertindak atau berprilaku. Energi pikir itulah yang membuat kita mampu berpikir pisitif tentang seseorang atau sesuatu. Demikian juga dengan berpikir negatif, sangat membutuhkan energi yang lebih tinggi. Sebab, kata orang, untuk mengeluarkan energi negatif dibutuhkan lebih banyak lagi tenaga karena adanya konstalasi ketidakteraturan yang ingin diproduksi.

Itulah, untuk mendendam membutuhkan energi yang lebih besar dibanding untuk berdandan. Padahal dendam hanyalah aktivitas batin dibanding dandan yang membutuhkan ongkos dan gerakan fisik.

Kembali ke hukum energi di atas. Saya membaliknya, mengapa orang dengan energi yang lebih rendah cenderung iri atau kurang mempercayai yang lain. Karena orang itu sering menguras energinya untuk hal-hal yang negative. Jadinya, mereka memiliki kekurangan stok energi dalam dirinya.

Mengapa orang yang memiliki energi yang setara cenderung mencintai atau mengagumi. Karena dari pertautan mereka terjadi keseimbangan energi, proses memberi dan menerima yang merata, cara membangun persepsi yang seimbang, dan memberikan penilaian yang setara. Itulah yang disebut dengan " chemistry ".

Dan, mengapa orang yang lebih tinggi energinya cenderung mendukung, menoleransi, atau memahami. Menurut saya, karena mereka memiliki stok energi berlebihan. Mereka menyimpan banyak energi dalam dirinya. Mereka baru melepaskan energi bukan hanya pada hal-hal yang positif, tetapi saat melepaskannya tidak membutuhkan energi besar. Betapa sedikitnya energi yang dikeluarkan untuk sekadar memuji, dibanding untuk mengkritik. Betapa sedikitnya energi yang dikeluarkan untuk mendukung sebuah gagasan bernas dibanding menolaknya hanya karena gengsi.

Saya sering bertemu dengan tokoh, dan yang keluar dari mulutnya: anda hebat, anda dahsyat, anda paripurna, atau tiada duanya. Lalu saya berpikir itulah mengapa dirinya menjadi tokoh karena punya stok energi kehidupan yang rata-rata di atas kebanyakan.

Mengakhiri coretan hari ini, saya bertanya reflektif, mengapa kita selalu kuat menahan lapar saat puasa Ramadan. Karena di sana, hukum energi bekerja. Kita dikondisikan untuk menyimpan banyak stok energi dengan ajaran kemuliaan Ramadan.

Lalu, apa dan bagaimana memelihara energi di luar Ramadan? Jalan tengahnya, buatlah situasi bulan-bulan lain seperti Bulan Ramadan. Energi ceramah saya juga bisa dipertahankan. Yang terakhir ini paham kan?

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin Makassar)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Opini Lainnya Lihat Semua

Keislaman Lainnya Lihat Semua

Ruchman Basori (Inspektur Wilayah II, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI)
Puasa Birokrat