Opini

Kepahlawanan dan Politik Identitas

Menag Yaqut Cholil Qoumas

Menag Yaqut Cholil Qoumas

Presiden Joko Widodo menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional (7/11) kepada lima tokoh yang telah wafat. Mereka dipandang memiliki jasa besar untuk bangsa dan negara. Gelar yang patut dijadikan cermin besar bagi generasi muda -- milineal dan Z -- agar dapat menjadi generasi terbaik kelak. Warisan nilai-nilai kepahlawanan wajib ditanam dalam sanubari dan jasanya patut diteladani seluruh bangsa. Generasi sekarang jelas berutang besar kepada para pahlawan yang tak mungkin terbayar. Tepat bila pada Hari Pahlawan tahun ini mengusung tema Pahlawanku Teladanku.

Memang, pahlawan bukan gelar penghormatan yang perlu dicari. Ia akan datang kepada sosok yang pantas menerimanya. Pahlawan sejati mungkin saja tidak dikenali, tetapi esensi kepahlawanan bersifat abadi dan menetap dalam sikap dan tindakan yang tidak membutuhkan pengakuan atau penghargaan.

Ciri-ciri para pahlawan tidak pernah berubah. Para pahlawan berjuang dengan gagah berani, mengorbankan jiwa dan raga, tanpa pamrih, untuk membela kebenaran. Kecintaan kepada bangsa dan negara tak diragukan. Kemulian agama diagungkan. Semangat arek-arek Surabaya dalam pertempuran 10 November 1945 dibakar kecintaan kepada agama dan negara sekaligus. Ada KH. Hasyim Asy'ari di satu sisi dan ada Bung Tomo di sisi lainnya. Dua pahlawan yang patut diteladani.

Cakupan pengertian dan generasi pahlawan perlu diperluas. Bukan hanya meliputi perjuangan fisik saja (pahlawan revolusi, pahlawan nasional) tetapi juga kegagahan dalam beradu dan mempertahankan gagasan ideal sebagai bangsa (katakanlah disebut pahlawan pembangunan dalam berbagai konteksnya). Generasi sekarang yang memiliki kontribusi nyata untuk mengisi kemerdekaan dan mempertahankannya hingga tetap utuh, juga layak disebut pahlawan.

Melawan Politik Identitas
Setelah Indonesia merdeka, bukan berarti perjuangan sudah selesai. Justru mempertahankan dan mengisi kemerdekaan merupakan pergulatan yang jauh lebih berat. Jika dalam revolusi fisik, musuh bangsa Indonesia jelas, yaitu kaum penjajah. Tetapi pada era kemerdekaan ini, seteru kita mungkin bangsa sendiri. Bangsa sendiri yang ingin merongrong NKRI dengan perbuatan tak terpuji, lebih-lebih jelang tahun politik. Salah satunya adalah penggunaan politik identitas.

Dalam demokrasi, ada kecenderungan untuk menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan dalam kontestasi politik. Memang, demokrasi menyediakan rambu-rambu aturan untuk menjaga ketertiban sosial dan kepentingan nasional, tetapi gejala untuk menggunakan segala cara untuk merebut kekuasaan sungguh mengkhawatirkan.

Penggunaan politik identitas-khususnya identitas agama-digunakan dalam kontestasi politik. Agama dijadikan sebagai alat politik untuk meraih kekuasaan sesaat. Dampaknya sungguh menggelisahkan di mana masyarakat terbelah dan saling membenci-memusuhi.

Kita mungkin belum sepenuhnya memahami definisi politik identitas. Kita perlu ruang dan waktu yang cukup untuk mendiskusikannya, sehingga sepaham dengan konsep dan dampak buruknya. Saya mengajukan satu konsep yang sederhana dan semoga mudah dipahami. Politik identitas (berbasis agama) adalah suatu gerakan politik yang menjadikan agama sebagai alat politik untuk meraih kekuasaan.

Dalam praktiknya, ekspresi penganut politik identitas tidak segan untuk melakukan komodifikasi agama, jual beli ayat, hate speech, kampanye hitam, fitnah, dan intimidasi lawan politik dengan menggunakan argumen keagamaan. Segala resources, sarana, prasana, tokoh dan apapun yang bersinggungan dengan agama, akan dimanfaatkan untuk mewujudkan tujuan. Tempat ibadah, sekolah, majlis taklim, pengajian, termasuk makam akan dikapitalisasi sedemikian rupa hingga tujuannya berhasil. Label kafir, neraka, pelaku bid'ah dan berbagai bahasa menyakitkan lainnya akan disematkan-dengan mudah-kepada yang berbeda.

Meski tampak religius dengan segala atributnya, nilai-nilai luhur agamanya luntur ketika dihadapkan dengan tujuan politik mereka. Label minna (golongan kita) dan minhum (golongan mereka) dilekatkan kepada siapa pun. Siapa pun, meski berbeda agama, jika sikap politiknya sama akan dirangkul sebagai kawan dan dipuji setinggi langit.

Maka jelas, politik identitas harus dihindari mengingat agama diposisikan hanya sebagai pengabsah tindakan-tindakan politik yang belum tentu sesuai dengan kemuliaan agama. Lebih-lebih, agama mungkin merupakan satu-satunya motif yang dapat membuat seseorang bertindak nekat dan apalagi kalau diyakini sebagai perintah agama.

Politik identitas akan menempatkan agama sebagai komoditas yang murah. Ayat suci ditafsirkan semaunya, asal cocok dengan selera pemesan. Harganya mungkin setara dengan kaos partai atau ongkos mengikuti kampanye. Tokoh agama berubah menjadi juru kampanye. Fungsi tempat ibadah dan mimbar-mimbar khutbah berganti menjadi ajang caci maki kepada lawan politik. Agama pun menjadi tidak terhormat. Dan jiwa kepahlawanan tokoh agama diuji untuk menempatkan agama pada posisi yang mulia. Keteladanan tokoh agama dipertaruhkan untuk menjaga sikap dan perilaku agar tidak menjadikan agama sebagai alat politik untuk meraih kekuasaan semata. Bangsa ini membutuhkan pahlawan-pahlawan baru yang sanggup menjaga NKRI agar tetap kondusif, aman, dan damai yang menjunjung tinggi keberagaman.

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas

Artikel ini sebelumnya terbit di detikhikmah, dengan judul "Kepahlawanan dan Politik Identitas" (https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-6397498/kepahlawanan-dan-politik-identitas.)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Rikie Andriyawan

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua