Opini

Menegaskan Khittah Hari Santri pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam

Suwendi

Suwendi

Hari Santri telah ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo sejak 5 (lima) tahun yang lalu, melalui Kepres Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri. Keputusan ini memiliki makna strategis, tidak hanya untuk merekognisi perjuangan kalangan santri-ulama pondok pesantren an sich, tetapi juga berkontribusi untuk menyadarkan kembali akan jati diri keislaman dan keindonesiaan kita.

Fatwa Resolusi Jihad yang dikumandangkan Hadratus Syiakh KH. Hasyim Asy’ari, Rais Akbar Nahdlatul Ulama, pada 22 Oktober 1945, menjadi inspirasi kelahiran Hari Santri. Fatwa ini dibacakan di hadapan para ulama Nahdlatul Ulama seluruh Jawa-Madura, bertempat di Kantor Hoofdbestuur Nahdlatul Ulama di Jl. Bubutan VI/2 Surabaya.

Dalam fatwa Resolusi Jihad itu dinyatakan, “..Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada diloear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itoe djadi fardloe kifayah (jang tjoekoep kalaoe dikerdjakan sebagian sadja…).”

Resolusi Jihad ini menempatkan bahwa keyakinan dan ajaran keislaman menjadi dasar untuk mempertahankan kemerdekaan dan patriotisme kebangsaan. Relasi antara Islam dan negara ditempatkan sebagai satu kesatuan yang saling menguatkan, bukan memperhadapkan, apalagi menafikan. Basis keislamannya menjadi dasar dalam membangun kebangsaan berdasarkan Pancasila. Bukan sebaliknya, atas dasar faham keagamaannya, ia mencabik-cabik ideologi dan identitas keindonesiaan.

Resolusi jihad sama sekali tidak mengajarkan bahwa atas dasar paham keislamannya, ia mengatakan negara dan Pancasila ini thaghut, kafir, atau terminologi lainnya. Oleh karenanya, para ulama menyatakan “Hubbul wathan minal iman, mencintai tanah air merupakan implementasi keimanan kita”.

Komitmen ini sangat penting, karena itulah sesungguhnya santri. Santri adalah orang yang memiliki komitmen dan pengetahuan keislaman yang luas dan sekaligus memiliki patriotisme keindonesiaan yang tinggi. Artinya, bukanlah sosok santri jika ia tidak memiliki patriotisme keindonesiaan, meskipun ia memiliki pengetahuan keislaman yang mendalam. Sekali lagi, antara Islam dan Indonesia telah terpatri dalam jiwa seorang santri.

Dalam konteks Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), momentum Hari Santri memiliki makna yang amat strategis, terutama untuk merefleksikan fakta historis dan pengembangan PTKI ke depan. Sekurang-kurangnya terdapat 3 (tiga) hal penting yang perlu dilihat.

Pertama, aspek kesejarahan. PTKI merupakan transformasi pendidikan dan sekaligus modernisasi dunia pondok pesantren. Sebagai lembaga tafaqquh fiddin yang tetap konsisten dengan subkulturnya, pesantren tetap tidak bergeming dengan kebijakan negara di dekade awal kemerdekaan. Pasalnya, sejarah politik pendidikan pesantren secara kelembagaan selalu konsisten untuk menjadi penyeimbang atas kekuatan negara, terutama sejak pemerintah kolonial Hindia Belanda, bahkan hingga periode pemerintah Orde Baru. Oleh karenanya, tidak heran jika pesantren tidak mudah bersikap kompromistik dengan pemerintah.

Dari sisi pemerintah, terutama di masa Orde Lama ketika itu, dirasakan penting untuk menyediakan lembaga pendidikan untuk memenuhi kebutuhan tenaga yang memiliki kompetensi keislaman yang luas, sebagaimana lulusan pesantren. Tenaga-tenaga ini diproyeksikan untuk menjadi guru agama Islam di sekolah dan penyuluh agama Islam di masyarakat, serta pegawai di lingkungan Departemen Agama. Maka, pada tanggal 1 Juni 1957 didirikanlah ADIA (Akademi Dinas Ilmu Agama) untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Jadi, ADIA merupakan salah satu tahapan transformasi pendidikan pesantren ke dalam jalur formal untuk melahirkan ahli di bidang agama Islam dan sekaligus memiliki civil effect untuk memenuhi kebutuhan pemerintah.

Transformasi kelembagaan PTKI pada tahap berikutnya adalah dari ADIA menjadi IAIN yang dimulai pada tahun 1963. Transformasi kelembagaan ini mendapatkan dukungan yang cukup kuat, terutama dari beberapa tokoh dan lulusan pesantren, bahkan di antaranya menjadi inisiator lahirnya sejumlah IAIN. Sebut saja, misalnya, KH. Anwar Musaddad, pengasuh Pesantren Al-Musaddadiyah Garut, menjadi salah satu pendiri dan sekaligus rektor pertama IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung. Selain itu, KH. Zubair Umar, salah seorang tokoh pesantren dan pengurus Nahdlatul Ulama yang juga ahli dalam bidang falak, merupakan pendiri dari IAIN Semarang dan IAIN Salatiga, dan sejumlah ulama pesantren lainnya yang mendirikan IAIN di berbagai daerah. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa antara pesantren dan PTKI memiliki ikatan historis yang amat kuat dan tidak dapat dipisahkan.

Kedua, aspek penguatan ilmu keislaman. Sebagaimana terlihat dari fakta historis di atas, PTKI sesungguhnya berorientasi untuk melahirkan lulusan yang ahli di bidang agama Islam (mutaffaqqih fiddin) atau dalam terminologi lain, DNA (Deoxyribo Nucleic Acid)-nya PTKI adalah ilmu agama Islam. Transformasi kelembagaan ADIA dan IAIN yang bermula dari pesantren, itu sesungguhnya untuk melahirkan ahli agama Islam yang memiliki rekognisi dan civil effect secara formal.

Transformasi kelembagaan yang dimulai 20 Mei 2002 dengan lahirnya UIN (Universitas Islam Negeri), pun sesungguhnya tidak mengubah dari DNA PTKI itu sendiri, yakni mutafaaqih fiddin. Tahapan ini dimaksudkan untuk membangun hubungan yang harmonis (relasi) antara ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu sosial humaniora dan/atau sain dan teknologi. Dengan lahirnya UIN, diharapkan dapat melahirkan ahli di bidang sosial humaniora dan/atau sain dan teknologi yang memiliki kapabilitas ilmu keislaman yang mendalam. Lahirnya sejumlah sainstis muslim, sebagaimana yang pernah terjadi pada abad keemasan Islam, dapat lahir kembali. Selain itu, hal tersebut dimaksudkan untuk mendorong terjadinya relasi Islam dan ilmu pengetahuan yang produktif. Sebab, pada sejarah gereja hal ini pernah terjadi konflik-mendalam antara doktrin gereja dengan temuan saintis, sehingga Galileo Galilei yang mengembangkan teori heliosentrisme mendapat hukuman dari otoritas gereja.

Jika merunut babak transformasi PTKI, sekali lagi, sejatinya DNA-nya PTKI adalah disiplin agama Islam. Hal ini menjadi catatan penting agar transformasi kelembagaan menjadi UIN itu jangan sampai mendegradasikan fakultas atau prodi-prodi keagamaan Islam. Sebab, relasi Islam dan ilmu pengetahuan hanya dapat dilakukan oleh tenaga-tenaga, baik dosen maupun mahasiswa, yang memiliki kapabilitas di bidang agama Islam yang disinergikan dengan disiplin ilmu pengetahuan sosial-humaniora dan/atau sain dan teknologi. Jika tidak demikian, maka relasi Islam dan ilmu pengetahuan tidak akan menemukan buktinya secara nyata.

Ketiga, aspek relasi Islam dan negara. PTKI dengan pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang terdepan dalam menegaskan relasi Islam dan negara dalam konteks keindonesiaan. Baik PTKI maupun pesantren, keduanya memiliki kemampuan dalam membangun basis akademik dan narasi keilmuan tentang relasi Islam dan negara dengan baik. PTKI dan pesantren dengan pemikir dan ketokohan para alumninya telah mampu meletakkan pondasi berfikir dalam meneguhkan relasi Islam dan negara, relasi Islam dengan demokrasi, dan relasi Islam dengan budaya, dan lain-lain yang semuanya bermuara pada peneguhan Ideologi bangsa berdasarkan Pancasila.

Antara Islam di satu sisi dan negara di sisi lain, dalam konteks kebangsaan, dapat dibedakan namun tidak dapat dipisahkan. Bagaikan 2 (dua) sisi mata logam, dapat dibedakan namun tetap menjadi satu kesatuan utuh. Kecintaan terhadap ideologi Pancasila dan NKRI itu didasarkan atas keyakinan dan ajaran keislaman yang dianutnya. Oleh karenanya, keluarga PTKI dan pesantren adalah keluarga yang meneguhkan ideologi Pancasila, prinsip-prinsip Bhinneka Tunggal Ika, NKRI harga mati, dan berdasarkan UUD 1945.

Kebijakan pendirian Rumah Moderasi Beragama di lingkungan PTKI merupakan bagian strategis dari upaya meneguhkan khittah Hari Santri di lingkungan PTKI. Rumah Moderasi Beragama menjadi tempat berteduh, bersemayam, dan mengembangkan secara masif agar mampu berfikir, bertindak dan mempraktekkan pengamalan agama yang tidak berlebihan dan ekstrim. Melalui Rumah Moderasi Beragama ini, dunia PTKI diminta untuk aktif melakukan banyak hal terkait moderasi beragama, baik melalui kajian, penelitian, menghadirkan narasi-narasi, dan penguatan akademik, pendidikan dan pelatihan (diklat), serta menjadi lahan advokasi, pembinaan, dan menangani kasus-kasus intoleransi, dan gerakan-gerakan yang bertentangan dengan ideologi Pancasila.

Secara sederhana, tulisan ini sejatinya menegaskan bahwa Hari Santri yang selalu diperingati menjadi momentum untuk menguatkan kembali, termasuk bagi dunia PTKI, akan kesadaran sejarah kelembagaannya. Terlebih antara pesantren dan PTKI, keduanya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan. Demikian juga, kesadaran akan penguatan jati diri PTKI sebagai lembaga pendidikan tafaqquh fiddin yang mampu berkorelasi dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang luas, termasuk sains dan sosial-humaniora. Lebih dari itu, PTKI dan pesantren harus kokoh dalam mengawal relasi Islam dan negara secara produktif yang telah diperjuangkan oleh seluruh komponen bangsa. Sebab, sejatinya Hari Santri memiliki pesan akan kesadaran bahwa di samping sebagai umat Islam, kita juga sebagai warga negara, yang keduanya tidak boleh diperhadapkan. Demikian, semoga manfaat.

Suwendi (Kepala Subdit Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Diktis, Kemenag)

Opini Lainnya Lihat Semua

Keislaman Lainnya Lihat Semua

Ruchman Basori (Inspektur Wilayah II, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI)
Puasa Birokrat