Opini

Menggapai Harkat Akademik PTKN

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)

Munculnya wacana untuk mendorong kembali pemilihan rektor di PTKN diserahkan sepenuhnya kepada senat, perlu disandingkan dengan hal yang mendasari dilakukannya perubahan pemilihan yang melahirkan Peratuan Menteri Agama, PMA No.68 Tahun 2015. Tanpa mempelajari secara utuh tentang realitas yang mendasari hadirnya peraturan tersebut, maka ide untuk mengembalikan pemilihan ke senat, motifnya bisa lebih bersifat subyektif.

Ada beberapa pengalaman empirik yang bisa menjelaskan lahirnya PMA tentang Pemilihan Rektor di atas. Pertama, mencegah semakin mengentalnya esensi kampus dari civitas akademika menjadi civitas politika. Pengalaman yang dirasakan banyak kampus di PTKN, pemilihan rektor oleh senat ibarat perhelatan politik.

Pemilihan dimulai dengan pembentukan tim sukses, mobilisasi pemilih, dan bahkan sampai pada karantina anggota senat menjelang pemilihan. Situasi seperti sudah pasti mengganggu aktifitas akademik, terutama dalam menjalankan aktifitas tridharma yang seharusnya tidak dilumuri oleh gerakan dan intrik yang bersifat politis. Setelah lahirnya, PMA No.68 Tahun 2015, atmosfir akademik kembali menggeliat, dosen secara umum tidak lagi terpengaruh sama sekali oleh pemilihan rektor.

Kedua, menghilangkan kecenderungan polarisasi dan marginalisasi yang sering terjadi di perguruan tinggi sebagai efek dari pemilihan rektor. Polarisasi bukan hanya terjadi pasca pemilihan rektor, tetapi juga jauh sebelum pemilihan rektor itu dilakukan. Polarisasi dimulai dari masing-masing calon membentuk tim sukses. Pertemuan-pertemuan intensif dilakukan setiap saat. Silaturrahim warga kampus, khususnya bagi yang berbeda haluan dan kelompok terganggu.

Suasana itu menjadi sangat terasa mengingat warga kampus memiliki wilayah jelajah dan pergerakan yang sangat terbatas, karena hanya di sekitar area kampus yang rata-rata luasnya hanya puluhan hektar. Lebih jauh, polarisasi inilah yang berdampak terhadap hadirnya marginalisasi peran. Kubu yang memenangkan pertarungan, mengambil semua peran-peran kunci, sementara yang kalah cenderung kehilangan peran atau terpinggirkan.

Ketiga, esensi vertikal dari Kementerian Agama. Rektor adalah perpanjangan tangan Menteri Agama di Perguruan Tinggi. Kebijakan dan program prioritas Kementerian Agama harus bersinergi dengan kebijakan pengembangan perguruan Tinggi. Menteri Agama sepatutnya memang menunjuk rektor yang diyakininya mampu memastikan program prioritasnya dalam bidang pendidikan tinggi berjalan dengan baik.

Dengan pemilihan rektor yang diputuskan sendiri oleh senat universitas seperti pengalaman sebelumnya, perguruan tinggi cenderung tidak padu dengan kebijakan Kementerian Agama pusat. Dengan tidak padunya, sangat memungkinkan geliat akademik universitas menjadi kurang menyatu dan target pencapaian akademik akan susah terukur.

Menurut saya, yang lebih penting daripada ide mengembalikan pemilihan Rektor ke senat, adalah mendukung PTKN supaya lebih terberdaya dan lebih memiliki daya saing dan posisi tawar yang setara di hadapan PTN, termasuk mendorong UIN besar untuk menjadi rintisan PTN BH, mendorong STAIN menjadi IAIN dan semua IAIN menjadi UIN. Tidak kalah penting juga adalah memberi ruang terbuka bagi PTKN untuk mengembangkan apa yang menjadi spesifikasinya untuk menjadi destinasi akademik.

Termasuk lebih membuka ruang bagi PTKN untuk fleksibel membuka prodi umum. Kesetaran quota beasiswa KIP dan LPDP bagi mahasiswa PTKN dibanding PTN perlu jadi prioritas, yang selama ini dikeluhkan masih sangat terbatas. Dengan itu, issue yang selalu digelindingkan lebih kepada koridor pencapaian harkat akademik yang menjadi roh kedigdayaan kampus.

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Opini Lainnya Lihat Semua

Keislaman Lainnya Lihat Semua

Ruchman Basori (Inspektur Wilayah II, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI)
Puasa Birokrat