Opini

Merawat Ketahanan Keluarga

Dirjen Bimas Islam Kamaruddin Amin

Dirjen Bimas Islam Kamaruddin Amin

Keputusan untuk membangun mahligai rumah tangga adalah sebuah keputusan mulia dan agung, bahkan keputusan terbesar dan terpenting dalam hidup seseorang (An-Nisa 20-21). Peristiwa itu tidak hanya secara sosiologis mengubah status seseorang menjadi suami atau istri, tapi momen historik yang menandai seseorang memulai mengemban sebuah amanah baru yang suci, sakral, mulia, sekaligus sangat berat. Oleh karena itu, sebelum keputusan diambil, dibutuhkan kesiapan mental, kematangan emosi, kemandirian, dan komitmen kuat untuk menjaga dan merawat bangunan itu.

Pernikahan sebagai pintu masuk keluarga adalah bentuk pelembagaan cinta, institusi yang menahbiskan seseorang menjadi wakil Allah yang resmi untuk meneruskan kekhalifaan meneruskan keturunan manusia (al mu’minun 12-17). Adalah Allah yang menciptakan manusia, tetapi melalui pertemuan sperma dan ovum dua anak manusia yang telah mendapatkan amanah suci dan legalitas representasi Allah secara ofisial melalui institusi pernikahan. Sebelum menikah, seseorang tidak dapat dan belum sah menjadi khalifatullah untuk meneruskan keturunan manusia. Itu sebabnya dalam Al-Qur’an, pernikahan disebut sebagai perjanjian agung, kokoh, dan sakral (mithaqan galidzan).

Keluarga adalah entitas terkecil dari sebuah masyarakat, tetapi perannya sangat menentukan kualitas sebuah masyarakat, bahkan sebuah bangsa. Negara yang kuat bermula dari keluarga yang kokoh. Dari keluarga, mimpi indah seorang anak bermula, pendidikan berkualitas dan pembentukan karakter sebuah generasi berawal. Kualitas keluarga sangat menentukan kualitas generasi sebuah bangsa.

Setiap pasangan mendambakan keluarga bahagia, tetapi tak semua berhasil merengkuhnya. Tidak sedikit yang gagal mengatasi kompleksitas permasalahan keluarganya, masalah yang bahkan mungkin mereka buat sendiri. Data terahir menunjukkan bahwa pada tahun 2022, tidak kurang dari 516 ribu pasangan suami istri menyerah dan mengakhiri kehidupan keluarganya dengan perceraian. Mereka merobohkan mahligai yang telah mereka bangun sendiri dengan dignity dan biaya ekonomi dan sosial yang tidak murah.

Angka perceraian ini sangat fantastis, angka tertinggi ketiga di dunia setelah Cina (sekitar 3 juta perceraian setiap tahun) dan India (1,36 juta). Penyebab perceraian mulai dari masalah ekonomi, ketidaksiapan mental, ketidak matangan emosional, pertengkaran terus-menerus, ketidakcocokan, sampai perselingkuhan. Yang mencengangkan, dua pertiga dari perceraian itu adalah cerai gugat yang diajukan oleh istri. Mengapa? Mungkin para istri semakin independent, semakin berani atau semakin tinggi ekspektasinya atau kelakuan para suami-suami yang semakin tidak bertanggung jawab? Masih sedang di teliti.

Siapapun yang dominan dalam hal ini, perceraian yang tinggi ini berdampak sistemik, dan kontraproduktif untuk pembangunan Indonesia. Korban utamanya adalah perempuan dan anak, melahirkan anak-anak yatim secara massif, juga duda dan janda. Fungsi keluarga sebagai institusi yang diharapkan melahirkan generasi hebat menjadi sirna, bahkan berubah menjadi musibah. Rasulullah bersabda perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah perceraian.

Masalah keluarga berikutnya adalah pernikahan dini. Walaupun UU perkawinan menetapkan batas usia minimal 19 tahun bagi calon pengantin laki-laki dan perempuan, kecuali jika mendapatkan dispensasi dari pengadilan agama, boleh di bawah 19 tahun. Pengadilan agama tidak jarang“terpaksa” harus memberi dispensasi karena kondisi atau keadaan catin perempuan, yang mungkin sudah “kecelakaan”. Ahirnya peristiwa pernikahan dini masih di atas 50 ribu setiap tahun.

Pernikahan dini berpotensi melahirkan generasi stunting, disharmoni keluarga yang berujung perceraian karena ketidaksiapan lahir dan batin. Masih banyak persoalan yang sedang mengancam ketahanan keluarga Indonesia. Kekerasan dalam rumah tangga masih tinggi, angka kematian ibu dan anak masih signifikan, angka stunting masih 20 persen dari angka kelahiran. Jika 4,5 juta bayi lahir setiap tahun, artinya sekitar 900 ribu di antaranya adalah stunting (gagal tumbuh, tidak cerdas dan selalu sakit sakitan), sementara mereka akan menjadi generasi penerus bangsa.

Pemerintah dalam hal ini kementrian agama bersama kementrian lain telah melakukan sejumlah intervensi melalui berbagai program, di antaranya bimbingan remaja usia sekolah (BRUS), bimbingan remaja usia nikah (BRUN), bimbingan calon pengantin (Binwin catin) dan konsultasi keluarga. Untuk BINWIN CATIN bahkan bekerja sama dengan BKKBN dan Kemenkes, dengan materi mulai dari menyiapkan keluarga sakinah, berkah keuangan keluarga, mengelola dinamika keluarga, menyiapkan generasi berkualitas, sampai kesehatan reproduksi.

Intervensi ini tentu berdampak signifikan, namun belum bisa menghilangkan sejumlah persoalan keluarga yang memang dinamis. Sinergi semua pihak, mulai dari pemerintah, masyarakat sipil, tokoh-tokoh agama, ormas-ormas agama, lembaga pendidikan dan terutama keluarga itu sendiri untuk menjaga kehormatan, merawat keutuhan dan sakralitas keluarga, menjadi sangat mendesak. Mari bersama merawat dan menjaga ketahanan keluarga. Wallahu a’lam

Kamaruddin Amin (Dirjen Bimas Islam)

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua

Ahmad Zainul Hamdi, Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kemenag RI
Kenangan dan Kemenangan