Opini

PERPPU CIPTA KERJA: Mempertegas Misi Kementerian Agama dalam Peningkatan Layanan Keagamaan yang Adil, Mudah, dan Merata

Komsultasi Publik RUU Cipta Kerja

Komsultasi Publik RUU Cipta Kerja

Menjelang akhir tahun 2022, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 Cipta Kerja pada hari Jumat, 30 Desember 2022. Perppu Cipta Kerja ini menggantikan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada November 2021 dengan putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Pada awal Januari 2023, Presiden Joko Widodo kemudian mengajukan Perppu Cipta Kerja kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dimintakan persetujuan.

Perppu Cipta Kerja menyempurnakan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (UU PIHU). Pembahasan draf perubahan kedua Undang-Undang ini dilakukan sejak Oktober-Desember 2022 oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah, serta Biro Hukum dan Kerja Sama Luar Negeri Sekretariat Jenderal Kementerian Agama dengan dikoordinir Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

Dalam kaitannya dengan misi Kementerian Agama 2020-2024, substansi Perppu Cipta Kerja selaras dengan misi Kementerian Agama, yaitu meningkatkan layanan keagamaan yang adil, mudah, dan merata. Misi Kemeterian Agama tergambar kuat dalam perubahan regulasi penyelenggaraan jaminan produk halal dan penyelenggaraan ibadah haji dan umrah berikut.

Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal
Penyempurnaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal disebutkan dalam Pasal 48 Perppu Cipta Kerja dengan 32 angka perubahan. Berikut ini adalah beberapa perubahan regulasi mendasar tentang penyelenggaraan jaminan produk halal.

1. Penetapan kehalalan produk.
Penetapan kehalalan produk disampaikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), MUI Provinsi, MUI Kabupaten/Kota, atau Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh kepada BPJPH sebagai dasar penerbitan Sertifikat Halal. Dalam hal batas waktu penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI, MUI Provinsi, MUI Kabupaten/Kota, atau MPU Aceh terlampaui, penetapan kehalalan produk dilakukan oleh Komite Fatwa Produk Halal berdasarkan ketentuan Fatwa Halal. Penetapan kehalalan produk oleh Komite Fatwa Produk Halal dilakukan paling lama 2 (dua) hari kerja.

2. Sertifikasi halal dengan pernyataan halal.
Dalam permohonan sertifikasi halal dilakukan oleh Pelaku Usaha mikro dan kecil melalui pernyataan halal, penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh Komite Fatwa Produk Halal berdasarkan ketentuan Fatwa Halal. Penetapan kehalalan Produk oleh Komite Fatwa Produk Halal dilakukan paling lama I (satu) hari kerja sejak diterimanya hasil pendampingan PPH. Berdasarkan penetapan kehalalan Produk, BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal.

3. Keberadaan Komite Fatwa Produk Halal.
Komite ini dibentuk dan bertanggung jawab kepada Menteri Agama yang terdiri dari Ulama dan Akademisi dan dibentuk paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.

4. Masa berlaku Sertifikat Halal.
Sertifikat Halal berlaku sejak diterbitkan oleh BPJPH dan tetap berlaku sepanjang tidak terdapat perubahan komposisi Bahan dan/atau PPH. Dalam hal terdapat perubahan komposisi Bahan dan/atau PPH, Pelaku Usaha wajib memperbarui Sertifikat Halal.

5. Pendampingan proses produksi halal.
Pendampingan oleh PPH diselesaikan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak permohonan sertifikasi halal disampaikan pelaku usaha mikro dan kecil.

6. Layanan penyelenggaraan jaminan produk halal berbasis elektronik.
Undang-undang mewajibkan layanan penyelenggaraan jaminan produk halal menggunakan sistem elektronik yang terintegrasi dengan proses layanan sertifikasi halal yang dilakukan oleh BPJPH, LPH, MUI, MUI Provinsi, MUI Kabupaten/Kota, MPU Aceh, Komite Fatwa Produk Halal, dan Pendamping PPH.

Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah
Penyempurnaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah disebutkan dalam Pasal 68 Perppu Cipta Kerja dengan 25 angka perubahan. Perubahan ini dilakukan untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari sektor keagamaan serta jaminan dan pelindungan bagi Jemaah Haji Khusus dan Umrah. Beberapa perubahannya adalah sebagai berikut.

1. Perubahan redaksional.
Redaksi “yang memiliki izin dari Menteri” diubah dengan “yang memiliki Perizinan Berusaha”, “pencabutan izin” diubah dengan “pencabutan Perizinan Berusaha”, dan “setelah mendapat izin dari Menteri” diubah dengan “setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat”.

2. Ketentuan sanksi administratif.
Penambahan sanksi administratif berupa “denda administratif” dan “paksaan pemerintah” serta ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.

3. Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK).
Perizinan Berusaha PIHK, persyaratan PIHK, pembukaan kantor PIHK, akreditasi PIHK, pengawasan serta evaluasi terhadap PIHK yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat diatur dalam Peraturan Pemerintah.

4. Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU).
Perizinan Berusaha PPIU, persyaratan PPIU, pembukaan kantor PPIU, pengawasan serta evaluasi terhadap PPIU yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, akreditasi PPIU, rekening penampungan dana jemaah umrah diatur dalam Peraturan Pemerintah.

5. Penambahan ketentuan sanksi bagi PIHK dan PPIU.
Bagi PIHK dan PPIU yang dengan sengaja menyebabkan kegagalan keberangkatan, penelantaran, atau kegagalan kepulangan Jemaah Haji Khusus atau Umrah diberikan sanksi administratif dan kewajiban mengembalikan sejumlah biaya yang telah disetorkan oleh Jemaah Haji Khusus serta kerugian imateriel lainnya.

6. Penambahan unsur tindak pidana.
Unsur tindak pidana ditambahkan dalam ketentuan pidana bagi PIHK dan PPIU yaitu “dalam waktu paling lama 5 (lima) hari tidak memulangkan Jemaah Haji Khusus atau Jemaah Umrah ke tanah air”.

Dr. H. Ahmad Bahiej, S.H., M.Hum. (Kepala Biro Hukum dan Kerja Sama Luar Negeri, Sekretariat Jenderal Kementerian Agama R.I).


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Opini Lainnya Lihat Semua

Keislaman Lainnya Lihat Semua

Ruchman Basori (Inspektur Wilayah II, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI)
Puasa Birokrat