Opini

Tempat Kementerian Agama dalam NKRI: Refleksi Pidato HAB ke-77 Gus Men

Kleden (ASN Kemenag, Kepala Kankemenag Kota Kupang)

Kleden (ASN Kemenag, Kepala Kankemenag Kota Kupang)

Selasa, 3 Januari 2023, Kementerian Agama memperingati Hari Amal Bakti (HAB) ke-77. Masih dalam gemuruhnya sorak-sorai Dirgahayu Kementerian Agama RI ke-77 yang akan kita tutup dengan Jalan Sehat 14 Januari 2023 mendatang, saya mencoba membuat sebuah refleksi tentang Tempat Kementerian Agama dalam NKRI. Refleksi ini lahir dari pidato Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.

Gus Men, panggilan akrabnya, mengawali pidato dengan mengajak kita - keluarga besar Kemenag - untuk mengenal, memahami dan meresapi atau bertanya kembali mengapa dan untuk apa Kementerian Agama yang dulu bernama Departemen Agama ini dilahirkan pada 1946?

Dari catatan sejarah, kita tahu pada sidang PPKI, 19 Agustus 1945 yang antara lain membahas alat kelengkapan negara, menyepakati 12 kementerian negara di awal pemerintahan. Kementerian Agama tidak termasuk dalam kabinet perdana Indonesia ini, meskipun usulan pembentukannya telah muncul dalam sidang BPUPKI 11 Juli 1945. Kementerian Agama baru dibentuk pada 3 Januari 1946 dan sejak dibentuk tidak pernah dimerger dalam setiap kali ada perombakan kabinet.

Maka saya mencoba menarasikan pertanyaan Gus Men di atas dalam bentuk lain: Apakah kita menyadari mengapa Kementerian Agama baru dibentuk 6 bulan kemudian setelah Indonesia merdeka dan tetap eksis sampai detik ini?

Jawaban yang paling sederhana karena negara membutuhkan. Setelah 6 bulan berjalan pemerintah menyadari bahwa denyut nadi kehidupan bangsa ini sangat ditentukan oleh denyut nadi kehidupan beragama. Maka perlu ada sebuah Kementerian Agama untuk mengurusi soal-soal kehidupan umat beragama. Tentu ini bukan jawaban tunggal. Kita tahu sebuah kementerian negara juga dibentuk karena pertimbangan pragmatis politik.

Saya coba menelaah tempat Kementerian Agama dalam negara ini dengan menggunakan teori liberal. Mengapa teori liberal? Karena teori ini juga yang digunakan dalam perdebatan Sidang PPKI untuk menampik usulan BPUPKI mengenai pembentukan Kementerian Agama seperti diungkapkan K.H.A. Wahid Hasjim sebagaimana dikutip dalam sejarah Kementerian Agama (https://kemenag.go.id/artikel/sejarah).

Teori liberal tentang negara memang membedakan ruang publik dan ruang privat. Ruang privat perlu ada sebagai benteng yang melindungi kebebasan tiap orang dari tekanan yang berasal dari negara dan dari berbagai lembaga kemasyarakatan. Sebaliknya, ruang publik dibutuhkan demi keadilan yang menyangkut kepentingan orang banyak.

Kalau ruang privat melindungi kepentingan tiap individu orang-perorang dengan hak-haknya, maka ruang publik melindungi dan membela kepentingan umum dari orang banyak. Kalau orang banyak itu berada dalam satu negara, maka kepentingan yang dilindungi itu adalah kepentingan semua warga negara. Kalau ruang privat memberi kehidupan yang baik dalam kemerdekaan tiap orang, ruang publik menjamin keadilan dalam kepentingan umum melalui kewajiban yang harus dipatuhi oleh semua orang.

Dalam pembagian itu, teori liberal memasukkan agama ke dalam ruang privat, karena kepercayaan tiap orang dalam agama dianggap merupakan kebebasan yang harus dilindungi terhadap setiap paksaan oleh negara atau pun tekanan oleh orang, lembaga mana pun. Dalam negara-negara yang liberal, tiap warganya bahkan diberi kebebasan untuk beragama atau tidak beragama. Tentu ini tidak berlaku bagi negara Indonesia, karena dalam konstitusi negara (UUD 1945) dan dalam Pancasila sebagai filsafat negara ditetapkan bahwa orang Indonesia adalah warga yang mengaku dan menerima prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa.

Lalu, kalau agama adalah urusan tiap orang dalam kebebasannya, mengapa negara masih mengurus kehidupan agama melalui Kementerian Agama?

Ada satu kesulitan yang harus diatasi dalam teori liberal, yaitu jurang antara hak negara dan kewajiban negara. Jurang itu terdapat di antara tuntutan bahwa negara tidak boleh campur tangan dalam kehidupan privat tiap orang, tetapi negara wajib menjaga dan melindungi masyarakat yang ada dalam negara itu agar bisa mereproduksi diri dan tidak hilang begitu saja. Ini berarti negara wajib menjaga agar lembaga-lembaga kemasyarakatan yang terpenting bagi kelangsungan hidup masyarakat, tetap dapat dipertahankan dan dilanjutkan.

Salah satu lembaga terpenting itu adalah agama. Jadi negara juga wajib menjaga agar agama yang diakui negara tetap berkembang guna menjaga kehidupan masyarakat. Kalau negara bertanggungjawab terhadap kelangsungan hidup agama, maka negara wajib menjamin bahwa masing-masing pemeluk agama mendapat perlindungan dalam hak-haknya untuk menjalankan kewajibannya ajaran agamanya tanpa terganggu, dan hak untuk berkembang tanpa melanggar undang-undang yang berlaku dan tanpa merugikan kepentingan kelompok agama lain.

Maka, memang diperlukan sebuah institusi negara untuk menjalankan kewajiban negara terhadap agama-agama yang diakui negara. "Setelah berjalan dari Agustus hingga November tahun itu juga, terasa sekali bahwa soal-soal agama yang di dalam prakteknya bercampur dengan soal-soal lain di dalam beberapa tangan (departemen) tidak dapat dibiarkan begitu saja. Dan terasa perlu sekali berpusatnya soal-soal keagamaan itu di dalam satu tangan (departemen) agar soal-soal demikian itu dapat dipisahkan (dibedakan) dari soal-soal lainnya. Oleh karena itu, maka pada pembentukan Kabinet Parlementer yang pertama, diadakan Kementerian Agama. Model Kementerian Agama ini pada hakikatnya adalah jalan tengah antara teori memisahkan agama dari negara dan teori persatuan agama dan negara." (Wahid Hasyim, Kementerian Agama, 1957, https://kemenag.go.id/artikel/sejarah).

Dalam perspektif ini, bagi saya, berdirinya Kementerian Agama pada 3 Januari 1946 merupakan realisasi dari soal hubungan antara agama dan negara dalam politik yang bersifat demokratis, yang tidak bisa dijembatani oleh teori liberal. Inilah urgensi dan peran strategis berdirinya Kementerian Agama.

Persoalan selanjutnya, dalam hal apa saja negara wajib memperhatikan kehidupan agama, dan sejauh mana pula negara dapat turut campur tangan dalam urusan agama?

Sosiologi agama membedakan dua pengertian yang dapat diterapkan dalam soal agama dan negara. Pengertian pertama adalah soal-soal keagamaan menyangkut kehidupan agama, ajaran agama, kewajiban keagamaan, pimpinan agama, anggota kelompok agama, dan soal-soal yang berhubungan langsung dengan kehidupan agama. Soal-soal ini dalam bahasa Inggris dinamakan religious problems. Pengertian kedua ialah soal-soal yang berhubungan dengan agama, tetapi tidak langsung merupakan masalah keagamaan. Istilah sosiologi untuk soal-soal ini adalah religion-related problems yaitu soal-soal atau urusan-urusan yang tidak bersifat keagamaan tetapi berhubungan dengan kehidupan agama.

Itu pula kenapa Kementerian Agama itu dalam bahasa asing (Inggris misalnya), tidak dinamakan Ministery of Religion tetapi Ministery of Religious Affairs. Artinya secara harafiah ialah itu bukan Kementerian Agama/Keagamaan, tetapi kementerian untuk soal-soal yang berhubung dengan kehidupan agama. Ini dijelaskan dalam visi-misi, arah kebijakan dan program strategis Kementerian Agama yang ditujukan kepada upaya peningkatan kualitas kehidupan beragama, kerukunan, pendidikan agama dan keagamaan. Inilah khittah kelahiran Kementerian Agama.

Khittan inilah yang membedakan Kementerian Agama dan kementerian lain. Kementerian Agama mengurus soal-soal keagamaan atau religious problems sedangkan kementerian lain mengurus religion-related problems, yaitu soal-soal yang tidak bersifat keagamaan, tetapi mempunyai hubungan dengan kehidupan penganut suatu agama. Dalam perspektif ini kita dapat memahami mengapa setiap hari raya keagamaan, kementerian lain seperti perhubungan, perdagangan, bulog, keamanan juga ikut turun tangan, tetapi tidak bisa menggantikan peran Kementerian Agama dalam urusan mereka di bidang agama.

Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan merefleksikan pertanyaan kedua dari Gus Men, kita sebagai generasi penerus Kementerian Agama, sudahkah melakukan pengabdian sebagaimana khittah kelahiran Kementerian Agama atau belum? Tentu sudah, tetapi belum selesai atau bahkan tidak akan pernah selesai sepanjang adanya NKRI. Dan kita punya kewajiban untuk terus mengupayakannya.

“If you still need me, you have to feed me until I’m 64,” The Beatles bernyanyi. Terjemahan gaulnya begini, masih butuh aku? Beri aku makan dong sampai saya berusia 64. Kita dapat menjawab pertanyaan Gus Men ini dengan jawaban yang dinyanyikan The Beatles. “If we still need Kemenag, we had to feed Kemenag everytime.”

Cara kita menjaga khittah Kementerian Agama dan menghidupinya tentu berakselerasi dengan perubahan politik kenegaraan kita. Jika salah satu kecemasan kita di tahun politik ini sebagaimana diungkap Gus Men adalah politisasi agama dan kita diminta untuk menjadi simpul kerukunan dan persaudaraan, dengan tidak menjadi partisan apalagi melakukan provokasi, maka tugas mendasar kita di tahun politik ini adalah menjaga kesetimbangan Kementerian Agama. Terutama kesetimbangan wewenang dan batas wewenang di antara otoritas negara (yang melekat dalam tusi kelembagaan kita sebagai institusi yang menangani urusan agama) dan otoritas tiap kelompok agama yang kita ayomi. Istilah Gus Men, kita harus menjadi wasit, jangan menjadi aktor.

Mengapa? Saya yakin, sebagai kaum Nahdliyin dan pemimpinan gerakan (Ansor dengan Banser-nya), juga seorang politisi (anggota PKB, pernah jadi Wakil Bupati dan duduk di kursi DPR), Gus Men menyadari sepenuhnya bahwa selalu ada unsur kekuasaan dalam semua otoritas. Oleh karena itu, selalu timbul kemungkinan atau godaan bahwa otoritas pihak yang satu hendak memperluas wewenang atau kekuasaannya ke dalam wilayah otoritas yang lain.

Bisa terjadi negara melalui Kementerian Agama ingin atau barangkali tanpa sadar memperluas wewenang dan kekuasaannya ke dalam wilayah agama karena kepentingan pragmatis kekuasaan. Sebaliknya, bisa juga terjadi bahwa otoritas agama hendak memperluas wewenang dan kekuasaannya ke dalam wilayah otoritas negara/Kementerian Agama melalui para ASN yang menjadi pengurus organisasi keagamaan, juga dengan alasan pragmatis yang sama. Jika ini terjadi, konflik internal akan dengan cepat menyelinap di tubuh institusi dan mengancam marwah Kemenag.

77 Tahun Kementerian Agama bergerak dalam arus dan gelombang ini. Seperti dikatakan filosof Karl R. Poper, Gus Men tampaknya ingin kita -ASN Kemenag- memperkuat khittah Kemenag bukan dengan menemukan lebih banyak kebenaran dan memproklamirkannya, tetapi dengan melihat kekeliruan bahkan mungkin kesalahan yang terjadi dalam 77 tahun perjalanan Kemenag karena tarik-menarik kepentingan politik dan menyingkirkannya. “Kita jangan membiarkan pihak luar Kemenag mengatur kita,” kira-kira begitu salah satu butir pesan Gus Men dalam Rapat Koordinasi Gus Men bersama para Eselon I, Senin (2/1/2023) yang saya ikuti secara virtual.

Sepertinya Gus Men mengajak untuk mencegah terjadinya sinisme yang dilontarkan Sir Bertrand Russell, “the only thing we learn from history is that never learn from it”, satu-satunya yang kita pelajari dari sejarah ialah bahwa kita tak pernah belajar darinya. Hampir semua Menteri Agama dalam alinea awal pidato HABnya, selalu mengingatkan kita untuk mengingat khittah berdirinya Kementerian Agama. Semoga juga kita bersungguh-sungguh selalu belajar darinya.

Dirgahayu ke-77 Kementerian Agama RI. Kementerian Agama Kuat, Umat Rukun, Indonesia Hebat. (*)

Kleden (ASN Kemenag, Kepala Kankemenag Kota Kupang)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua