Opini

Teologi Pembebasan, Misi Utama Rasul SAW

Ihsan Faisal (ASN Ditjen PHU)

Ihsan Faisal (ASN Ditjen PHU)

Diangkatnya Muhammad menjadi Nabi atau Rasul oleh Allah SWT melalui perantara utusan-Nya (Malaikat Jibril) merupakan pertanda kekuasaan Allah yang Maha Mutlak. Namun demikian, terpilihnya Muhammad menjadi rasul tidaklah terjadi begitu saja tanpa alasan. Banyak para ahli sejarah Islam yang mengemukakan argumentasi dipilihnya Muhammad oleh Allah SWT.

Sebut saja pendapat Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA, yang pernah mengungkapkan dalam sebuah tulisannya bahwa dipilihnya Muhammad dengan segala kondisi yang melingkupinya memiliki hikmah tersendiri. Apa saja argumentasi yang melatarbelakanginya?

Pertama, Muhammad adalah seorang anak yatim piatu. Status yatim piatu bagi kebanyakan orang mungkin dianggap hal biasa, namun jika hal ini menimpa sang calon Nabi/Rasul tidak demikian. Status yatim piatu yang dialami Muhammad sejak kecil menunjukkan kebersihan/kesucian dirinya, tidak ada yang bisa mempengaruhi jiwanya. Pada dasarnya seorang anak sangat dipengaruhi oleh orang tuanya, dengan demikian ketika Muhammad diangkat menjadi nabi/rasul, maka hakikatnya dia terbebas dari pengaruh lingkungan sekitar dan mengindikasikan bahwa risalah Islam yang diembannya benar-benar asli dari Allah SWT.

Kedua, Muhammad adalah seorang yang Ummiy. Pengertian ummiy pada dasarnya bermakna ketidakmampuan membaca/menulis. Sebagaimana tergambar dalam QS. Al-A’raf : 157-158: “(yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis) yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka…, ….Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, (yaitu) Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya). Ikutilah dia, agar kamu mendapat petunjuk.”

Ketidakmampun membaca dan menulis menunjukkan orisinalitas (kemurnian) Al-Qur’an yang menjadi mukjizat dari Allah SWT. Hal tersebut sekaligus membantah argumen sebagian kaum orientalis yang menyatakan bahwa al-Qur’an adalah karya/produk Muhammad.

Ketiga, Muhammad diangkat menjadi Nabi/Rasul di daerah Makkah (Arab). Keberadaan Arab saat itu merupakan sebuah keistimewaan. Mengapa demikian? Pada saat itu hegemoni kekuasaan dunia berada di bawah kerajaan Romawi dan Persia, dua negara adi kuasa saat itu tengah menguasai seluruh daerah di dunia kecuali wilayah Arab (Makah). Dengan demikian, ketika Muhammad dideklarasikan menjadi utusan Allah, dia berada dalam kebebasan, tidak mendapat tekanan atau penjajahan dari manapun juga termasuk pengaruh kekuasaan Romawi dan Persia. Hal tersebut juga mengindikasikan kemurnian Islam yang dibawanya bukan merupakan produk bawaan dari pihak lain. Ia benar-benar Islam yang sebenarnya, ajaran yang membawa pesan peradaban dan kemerdekaan.

Islam, artinya pasrah sepenuhnya (kepada Allah), sikap yang menjadi inti ajaran agama yang benar di sisi Allah. Ajaran ini pula yang menjadi benang merah sejarah mengenai Aqidah (tauhidullah) dari mulai Nabi Adam AS sampai Nabi Muhammad SAW. Karena itu para ulama klasik seperti Ibn Taymiyah, menegaskan bahwa agama semua Nabi adalah sama dan satu yaitu Islam, meskipun syari’atnya berbeda-beda sesuai dengan zaman dan tempat khusus masing-masing Nabi itu. Dia juga menyatakan, ”oleh karena asal usul agama tiada lain ialah Islam meskipun syariatnya bermacam-macam, maka Nabi SAW bersabda dalam sebuah hadits shahih,’sesungguhnya kami golongan para nabi, agama kami adalah satu (sama).’ Para Nabi itu bersaudara satu ayah lain ibu…jadi agama mereka adalah satu. Yaitu ajaran yang beribadah hanya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa yang tiada padanan bagi-Nya…”

Hal serupa diungkapkan oleh Ibn Rusyd dalam kitabnya Tahafut al-Tahafut, meskipun pada esensinya agama (Islam) itu sama, namun manusia pada zaman tertentu mempunyai kewajiban moral untuk memilih tingkat perkembangannya yang paling akhir saat itu. Dan perkembangannya yang terakhir agama-agama adalah agama Nabi Muhammad. Namun tetap, dalam kesadaran akan kesatuan asal agama-agama, kita diwajibkan beriman kepada semua Nabi, tanpa membeda-bedakan antara mereka, dan pasrah kepada Allah SWT. Sebagaimana tercantum dalam QS.al-Baqarah :136;

“Katakanlah (hai orang-orang mu'min): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya".

Dalam QS. Al-Anbiya : 107, Allah SWT telah berfirman : “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.”

Ayat di atas memberikan hikmah bahwa diutusnya Rasul SAW tiada lain membawa rahmat (kasih sayang) bagi seluruh alam khususnya manusia. Di antara makna rahmat tersebut adalah pembebasan atau kemerdekaan. Ada beberapa indokator pembebasan yang dilakukan Rasul SAW dengan misi Islamnya:

Pertama, dimensi Aqidah, Islam membebaskan dari Syirik menuju Tauhid. Pada saat Islam lahir, kondisi masyarakat (Arab) saat itu sangat identik dengan perbuatan syirik. Penyembahan berhala di mana-mana, menganut prinsip animisme, dinamisme, dan yang sejenisnya. Perbuatan syirik merupakan bentuk kedzaliman yang besar (QS.Luqman:13), sehingga ketika Islam membebaskan dari syirik menuju Tauhid, Allah menggambarkannya dengan bahasa ‘keluar dari kegelapan (al-dlulumat) menuju cahaya (al-nuur) sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah : 257: “Allah pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya….”

Kedua, dimensi akhlak. Islam membebaskan dari adab jahiliyah menuju Islamiyah. Gambaran perilaku jahiliyah saat itu penuh dengan kemaksiatan; perzinaan, pembunuhan, peperangan, perampokan, perjudian, minuman keras, dan sebagainya. Dengan datangnya Islam, bentuk-bentuk jahiliyah seperti itu direformasi menjadi akhlak Islam yang penuh dengan nuansa kedamaian, ketentraman, sopan-santun, penuh etika, dan berada dalam koridor hukum yang sah.

Ketiga, dimensi ekonomi. Islam membebaskan praktek ekonomi ribawi menuju ekonomi syar’i. Para pelaku ekonomi saat itu terkenal dengan ekonomi gharar (penipuan), penuh riba, spekulatif (gambling), dan lain-lain. Islam lahir dengan konsep ekonomi syar’i-nya, menjauhkan dari sifat riba, memegang prinsip saling meridhai, dan halal serta thayib penuh berkah.

Keempat, dimensi sosial. Islam membebaskan masyarakat dari sifat-sifat perpecahan, pertentangan, egoisme kelompok (‘ashabiyah), dan bentuk perilaku a-sosial lainnya. Misi Islam yang sebenarnya terwujud dalam bentuk persatuan dan kesatuan, persahabatan, toleransi antar kelompok bahkan agama. QS.Al-Hujurat : 13 menegaskan ;

“wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.”

Kelima, dimensi hukum. Islam membebaskan dari sifat yang penuh kedzaliman hukum menjadi keadilan yang sebenarnya. Pada awalnya hukum hanya berlaku bagi rakyat kecil, kaum mustadh’afin, tidak menyentuh orang-orang yang berkuasa dan para elitis. Ibarat pisau atau golok yang seolah-olah tajam ke bawah dan selalu tumpul ke atas. Islam datang dengan membawa misi keadilan yang sebenarnya. Hukum ditegakkan sesuai kapasitasnya tanpa pandang bulu, sehingga suatu saat Rasul SAW pernah bersabda,”kalaulah anakku (Fatimah) mencuri, pasti akan aku potong tangannya.”

Gambaran pemikiran di atas menjadi jelas bagi kita mengenai konsep misi utama ajaran Islam yaitu membawa prinsip Teologi Pembebasan. Islam lahir bukan membatasi kehidupan manusia tapi justeru membebaskan dan selalu memberi jalan keluar bagi kesulitan hidup manusia. Islam datang dengan membawa petunjuk (hidayah) bagi kemaslahatan manusia bukan sebaliknya.

Semoga dengan momen kelahiran Nabi Muhammad SAW, kita selaku umatnya akan semakin arif menyikapinya, menjadi umat yang senantiasa menghidupkan Sunnahnya serta menampakkan wajah Islam yang sesungguhnya seperti yang pernah dilakukan oleh Uswah Hasanah kita Nabi Muhammad SAW. Amin. Wallahu a’lam bis shawwab.


Ihsan Faisal (ASN pada Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag RI)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua

Ahmad Zainul Hamdi, Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kemenag RI
Kenangan dan Kemenangan