Opini

Antara Ngantor dan Makna Kerja

Mastuki

Mastuki

Den Bagus (bukan nama asli) tetiba dapat whatsapp dari kawan aqrob-nya yang mengajak meeting di tempat mereka biasa kongkow-kongkow selepas kerja. Sebelum penerapan WFH (work form home) yang dilanjutkan PSBB (pembatasan sosial berskala besar), dua kawan dekat itu kerap maksi (have a lunch) bersama, kadang mencuri waktu saat jam kerja masih berlangsung, sekedar mencicipi menu baru di resto kecil dekat kantornya.

Beberapa kali mereka berdua menghabiskan waktu selepas kantor sampai jelang maghrib sambil mengobrol ngalor-ngidul melepas penat. Ditemani secangkir kopi kesukaannya plus penganan kecil, secarik kertas dan laptop selalu siap merekam diskusi kecil tentang apapun. Dari soal pekerjaan, obsesi mereka, gosip teman perempuan, work plan, agenda meeting, jadwal pertandingan sepakbola, update informasi Covid-19, hingga isu politik nasional. Meski kadang perjumpaan mereka tak produktif karena masing-masing sibuk melototi handphone sembari cekikikan sendiri. Toh, mereka selalu punya cara untuk berbagi cerita dan supporting satu sama lain.

Tak biasanya Den Bagus sungguh-sungguh antusias menerima kabar rencana meeting dengan kawannya itu. Selama WFH dan PSBB di wilayahnya, Den Bagus praktis tak pernah keluar rumah. Hampir tiga bulan dia bertahan mengisolasi diri di rumah. Dia patuh banget anjuran pemerintah dan ulama untuk kerja, belajar, dan ibadah di rumah. Sampai-sampai anak semata wayangnya meminta menemani beli sesuatu pun dia kerap tolak dengan halus. Mending dia belikan via online atau melalui jasa antar paket yang mengalami booming sejak pemberlakuan PSBB.

Istrinya keluar rumah dia larang berlama-lama. Saat belanja keperluan dapur pun, dia menyarankan istrinya tak melepas masker. Sepulang belanja wajib mencuci tangan dengan sabun, masker kainnya langsung dicuci, dan berganti pakaian. Den Bagus selalu mengontrol ketersediaan hand-sanitizer dan desinfaktan di rumahnya. Dua atau tiga hari sekali, dia semprot semua sudut rumah mungilnya. Memastikan lingkungan bersih, dan pencahayaan rumah cukup baik. Jangan tanya perfect-nya soal phisical dan social distancing.

Tetangganya ramai mempersoalkan larangan shalat berjemaah di masjid, Jum’atan, dan tarawih, Den Bagus tak bergeming. Dia yakin bahwa menjaga keselamatan jiwa (hifd al-nafs) lebih utama dibanding memaksa diri shalat berjemaah di masjid dengan potensi tertular Corono akibat kerumunan yang tak bisa dihindari. Apalagi fatwa MUI sudah menggaransi keabsahan shalat di rumah semasa penyebaran wabah yang tak terkendali. Dia istiqomah soal ini. Keluarga kecilnya dia kondisikan untuk menjalani ibadah dan kerja dari rumah.

Kangen Ngantor

Tiga bulan bertahan bekerja dari rumah bukanlah hal mudah berdamai dengan keadaan. Godaan keluar rumah tak terhindakan. Bosan pasti lah. Kangen ketemu kawan-kawan tak bisa dipungkiri. Sampai saat ini, terhitung 4 kali pemberitahuan (edaran) penyesuaian sistem kerja bagi pegawai yang berada di wilayah dengan penetapan PSBB. Artinya, penundaan lagi masuk kantor sampai 4 Juni. Itupun kalau tak ada kebijakan baru. Selama itu, tugas dan pekerjaan kantor masih bisa dihandel. Rapat online via Zoom atau Google Meet sangat membantu kordinasi, komunikasi antar unit, dan penyelesaian beberapa layanan publik. Kalau masih mentok, Den Bagus langsung kontak sesama rekan kerja. Pokoknya tak boleh ada pekerjaan yang tertunda. Apalagi menyangkut hajat publik.

Saat kawan akrabnya menelpon dua hari lalu, Den Bagus mendadak kangen ngantor. Dia membayangkan seperti apa ruangan kantor yang ditinggal penghuninya sejak tiga bulan lalu. Wong barang-barang yang dipajang di dalam mal saja banyak yang berjamur dan membusuk. Ups. Dia lupa menaruh makanan di kulkas kantor. Mudah-mudahan cleaning service tahu dan membuang atau mengambilnya. Dia mengira pembatasan sosial waktu itu tak selama yang dibayangkan. Seminggu pasca edaran pembatasan masuk kerja, beberapa karyawan masih masuk kantor secara bergantian dengan pengaturan yang ditetapkan unit (divisi) masing-masing. Tetiba ada pengumuman perpanjangan WFH, disambung PSBB. Sejak itu, semua karyawan kantor bekerja dari rumah tanpa bersiap membereskan ruangan seperlunya.

Aktivitas ngantor bagi banyak pegawai memang mengasyikkan, dengan segala pernak-perniknya. Delapan jam kerja setiap harinya tak semua untuk bekerja di dalam kantor. Sesekali meeting di luar kantor. Kadang ada undangan dari instansi/lembaga lain. Karyawan juga berkesempatan mendapat tugas keluar kota (ini yang sering ditunggu-tunggu, karena sekalian bisa pelesir dan relaks dari rutinitas, belum lagi kesempatan menikmati kuliner khas daerah). Di sela-sela kerja, saat jam istirahat atau sepulang kerja kita bisa bertemu kawan, mitra, kolega, makan bareng sembari bercengkerama, atau janjian dengan rekan bisnis.

Orang kadang niat bekerja, keluar rumah, agar tak terkesan atau dikesankan tetangganya 'tak memiliki pekerjaan'. Maka berangkat ke kantor sejatinya berkaitan dengan kewibawaannya. Nama baiknya. Harga dirinya. Marwah keluarganya. Orang (khususnya lelaki) yang tiap harinya berada di rumah bisa dianggap tak memiliki pekerjaan. Itu, bagi lelaki, memalukan. Lebih malu ketimbang ketahuan selingkuh. Hehe... Meskipun konsep kerja sekarang berubah. Orang bekerja tak mesti dari rumah, namun bagi generasi baby boomers (dipelesetkan generasi kolonial) bekerja itu ya ada kantor, ada jam kerja, dan memperoleh penghasilan (gaji) yang tetap.

Anak-anak milenial tak terlalu terikat tempat kerja hanya kantor. Mereka bekerja dari mana saja. Warkop alias coffee shop bisa jadi ruangan kerja (workspace) yang menghasilkan pundi-pundi rupiah atau dolar. Apalagi banyak gedung atau meeting point yang menyediakan workspace berpendingan dan fasilitas internet sangat memadai. Konsep open workspace yang dikenalkan beberapa perusahaan dan kementerian bisa menjadi tantangan pola kerja yang lebih kolaboratif antar pegawai dan fasilitas pendukung bekerja yang lebih adaptif. Bagi generasi kolonial, konsep ini barangkali butuh penyesuaian yang memakan waktu lama untuk mengikuti.

Sebenarnya aktivitas ngantor umumnya, tak melulu duduk-diam-dengkur di belakang meja. Tiap karyawan/pegawai dengan posisi masing-masing punya dinamikanya sendiri menjalani pekerjaan. Ada yang harus menyelesaikan tugas full di depan laptop. Pegawai lain mendapat tugas lapangan. Tak sedikit yang bertugas melayani masyarakat. Ada yang mengurusi dokumen dan berjibaku dengan laporan keuangan. Bekerja di laboratorium atau berjaga di perbatasan juga ada seninya tersendiri. Coba bersimpati pada tentara yang menjaga wilayah NKRI atau polisi yang berpanas-ria menjaga lalu lintas agar tidak macet. Pegawai pabrik yang rutin dengan pekerjaannya. Dari itu ke itu setiap hari sekian tahun. Toh mereka menikmati pekerjaannya. Tak semua dikerjakan dari kantor.

Banyak pegawai yang ngantor seperti memindah waktu kerja ke mobil. Kerap tugas kantor dibawa ke rumah alias lembur. Pejabat pemerintah atau pimpinan perusahaan punya tanggung jawab yang spesifik. Aktivitasnya dari rapat ke rapat. Meeting ke meeting dengan mitra/kolega. Lobi sana sini. Berpikir keras bagaimana instansinya terus survive dan memiliki trust tinggi. Tugas dan wewenangnya membuat tiap pejabat atau pimpinan memiliki cara berbeda menyelesaikan pekerjaannya. Mungkin yang menyamakan adalah caranya untuk sukses dan naik karirnya. Kwk kwk…

Walhasil, jenis pekerjaan itu melekat pada status dan posisi orang per orang. Tak bisa disamakan karena sangat spesifik. Makanya, kalau ada imej yang muncul di masyarakat bahwa PNS itu pekerjaannya santai, suka bolos di jam kerja, atau terlihat keluyuran ke pusat perbelanjaan atau jalan-jalan saat jam kerja, itu tak sepenuhnya benar. Meski kesan itu tak 100 persen salah. Belum lagi kesan PNS itu tak profesional, tak sesuai antara tugas dan latar belakang pendidikan, pengalaman, dan masa kerja. Dan kesan negatif lain.

Makna Kerja dan Spirit New Normal

Den Bagus tersinggung kalau PNS itu disebut hanya menikmati gaji buta. Karena dia PNS teladan. Loyalitas dan dedikasinya pada negara melebihi kepentingan pribadi dan keluarganya. Dia tipe pekerja keras, bahkan sangat keras. Tak pernah ada istilah hari libur. Kalau jam kerja lebih dari 24 jam atau sepekan lebih 7 hari, semampang ada tugas yang belum diselesaikan, Den Bagus akan mencari-cari waktu dan cara pekerjaannya purna.

Tugas baginya adalah segalanya. Dia berprinsip, bekerja itu bukan saja soal tugas atau amanah, tapi sekaligus ibadah. Makanya, saat melakukan pekerjaan seberat apapun, dia nikmati seperti sedang zikir atau shalat khusyu' menghadap Ilahi Rabbi. Penjiwaan dan pemaknaan kerja menghilangkan penat dan keluh kesah, apatah lagi menyerah. Nilai ibadah yang melekat pada kerja itulah yang menafikan segala atribut apapun yang dilekatkan padanya. Kalau diejek kawannya 'maniak kerja', dengan enteng dia tanggapi dengan senyum. Jika atasannya mengingatkan 'Anda bisa selesaikan besok', ia akan menjawab dengan sopan, 'Baik Bu, tapi ini tugas yang harus saya selesaikan dan pertanggungjawabkan pada Ibu, negara, dan Allah. Doakan saya sehat ya Bu'.

Namun Den Bagus bukanlah superman. Dia bukan manusia egois dan self-defense. Di kantornya ia terkenal supel, pandai bergaul, tak sok suci, dan selalu menyungging senyum setiap bicara. Wajahnya yang memiliki ketampanan azali dari Tuhan membuat lawan bicara betah berlama-lama. Apalagi cara berpakaiannya yang selalu rapi dan perlente, setiap masuk pintu kantornya pun sudah menyedot perhatian dan mata rekan perempuannya.

Dia memiliki kawan dekat. Tempat curhat dan berbagi kebahagiaan. Seperti dua bersaudara. Persahabatannya melampaui batas-batas etnik, suku, dan bahasa. Yang menyatukan hanya ukhuwah diniyah dan ukhuwah basyariyah. Berasal dari daerah yang berbeda, bersatu dalam prinsip dan kredo keagamaan: ukhuwah islamiyah yang diterapkan secara proporsional. Tak membedakan dengan kawan yang lain, meski tetap ada hubungan spesial: kecocokan satu sama lain.

Den Bagus tipe pegawai yang menerapkan “kita bukan superman tetapi super-team”. Di divisinya dia pemimpin yang baik. Teman yang menyenangkan. Atasan yang supportif. Sekaligus bawahan yang loyal. Kepemimpinan kolegial dia pegang teguh. Setiap keputusan diupayakan berdasarkan musayawarah mufakat, bukan pendapat sepihak. Dia kelola perbedaan dan konflik yang muncul antar pegawai sebagai kesempatan untuk maju bersama. Baginya ‘tiap kepala punya pendapat yang berbeda’ tak berarti ruang tertutup menemukan kompromi dan jalan keluar. Tak boleh ada pegawai menafikan pendapat pegawai lain, apalagi melecehkan. Demokrasi dalam kantor harus ditegakkan persis seperti teori dari politisi.

Kini, menjelang pelonggaran (relaksasi) aktivitas sosial dan penerapan new normal, termasuk bekerja kembali di kantor, Den Bagus tergerak hatinya dan berniat untuk bekerja lebih baik. Pandemi Covid-19 mengajari banyak hal akan konsistensi, kebersamaan, kesabaran berlipat, menemukan solusi di masa sulit, pemanfaatan teknologi untuk memudahkan aktivitas, dan empati pada sesama. Nilai-nilai yang diajarkan Tuhan melalui makhluk nano itu lebih dari sekedar cukup untuk introspeksi dan koreksi cara kerja dan berinteraksi dengan orang lain. Arti ngantor jangan-jangan juga berubah. Mari kita songsong saja new normal dengan new spirit.[]

Mastuki HS (Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH)

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Kolom Lainnya Lihat Semua