Opini

Bangkit Bersama Transformasi Digital Madrasah

Direktur KSKK Madrasah M Isom Yusqi

Direktur KSKK Madrasah M Isom Yusqi

Momen Kebangkitan Nasional dalam makna terluasnya adalah ajakan menyatukan barisan untuk bangkit dari problem kebangsaan secara nasional. Pada kondisi terkini, pandemi Covid-19 selama kurang lebih dua tahun terakhir telah banyak menimbulkan berbagai efek negatif, di antaranya efek pemisahan (distraksi) sosial sebagai konsekuensi penerapan protokol kesehatan.

Dalam konteks pendidikan di madrasah, pengaruh logis distraksi sosial pandemi Covid-19 merentang dalam berbagai rupa problem daya jangkau, akses, dan akseptabilitas pembelajaran. Namun demikian, berbagai upaya terobosan tetap dijalankan. Dua tahun momen pandemi, beragam dinamika perkembangan teknologi, dan refleksi perlunya menyempitkan kesenjangan (divide) akses pembelajaran madrasah, membangkitkan kesadaran untuk mempercepat pelaksanaan transformasi digital madrasah dan ekosistem pendukungnya.

Pada dasarnya, layanan pendidikan di madrasah telah dikembangkan dengan berbagai dukungan produk digital dalam format yang selaras dan sebangun. Format tersebut adalah digitisasi (peralihan dan pengurangan ketergantungan pola kertas dan manual ke digital), digitalisasi (penggunaan teknologi untuk merubah model layanan dan perspektif baru), serta transformasi digital (pemakaian sarana digital untuk implementasi strategi digitalisasi yang bertujuan mendukung sasaran dan pelaku utama pendidikan di madrasah)

Sementara itu, upaya mewujudkan ekosistem digital dan layanan pembelajaran yang lebih baik ditempuh dengan fokus lebih spesifik setidaknya dalam dua tahun terakhir. Program peningkatan mutu pendidikan madrasah dilakukan dengan langkah penyertaan langsung 50 ribu madrasah dan 300 ribu guru, tenaga pendidikan, dan manajemen di tingkat pusat dan daerah (hingga tahun 2024) dalam bentuk berbagai pelatihan digital dan dukungan terkait.

Meski dukungan tersebut belum mampu menjangkau keseluruhan madrasah (83.548 madrasah pada berbagai jenjang), namun diharapkan madrasah penerima dukungan langsung dapat menjadi madrasah induk yang mampu memberi pengaruh dan dampak kualitas bagi madrasah yang belum menerima dukungan.

Kolaborasi dan pola dukungan madrasah sekitar itu penting karena sebaran madrasah yang luas. Menurut Statistik Pendidikan Islam Kementerian Agama 2020/2021 semester genap, jenjang madrasah terbanyak berada pada jenjang Raudlatul Athfal (RA) yakni sebanyak 30.148 RA atau setara dengan 36.08%. Berikutnya, jenjang Madrasah Ibtidaiyah (MI) sebanyak 25.840 MI (30,92%), Madrasah Tsanawiyah (MTs) sebanyak 18.380 MTs (21,99%) dan sisanya Madrasah Aliyah (MA) sebanyak 9.150 MA (11,01%).

Pijakan Transformatif
Semangat transformasi digital di madrasah bertumpu pada tiga pijakan utama. Pertama, pijakan untuk menghindari kemungkinan menjadi kegiatan yang hanya bersifat material belaka. Semangat dan implementasi tranformasi digital madrasah tidak boleh hanya dipahami sebagai pengadaan sarana digital semata dan meminggirkan nilai esensial pada saat yang bersamaan.

Nilai terpenting dari semangat tersebut adalah membangun budaya digital dan kapasitas pendukung yeng relevan dengan nilai dan upaya tersebut. Tranformasi digital madrasah pertama sekali adalah mengenai persona atau Sumber Daya Manusia (kepala madrasah, guru, dan siswa) bukan pada materia (barang adaan).

Disadari, kebutuhan akan sarana dan prasarana madrasah masih menjadi pekerjaan rumah yang serius, demikian halnya dalam penyediaan dan dukungan ekosistem digital di madrasah. Namun demikian, dinamika dan kebutuhan transformasi digital telah menjadi kebijakan pemerintah dengan segala dampak dan tantangannya.

Dalam perspektif demikian, model pembelajaran saat ini dan ke depan akan makin akrab mengenal pola yang dilakukan secara sinkronus (guru dan siswa belajar pada waktu yang bersamaan) dan asinkronus (siswa dan guru belajar di waktu yang berbeda). Keberjarakan (gap) dan kondisi antara (in between) yang disebabkan oleh kondisi kahar kebencanaan atau jarak itu sendiri akan dijembatani kebijakan tranformasi digital.

Kedua, pijakan keyakinan mandiri sebagai bagian dari pihak yang aktif menjadi solusi, bukan hanya menjadi entitas pasif dalam dampak dan dinamika perkembangan. Kebangkitan, gerak langkah, dan laju madrasah mengarah pada semangat untuk mengedepankan mutu dan daya jangkau layanan secara optimal, tanpa kehilangan jati diri esensial dalam ranah kependidikan Islamnya.

Hal demikian menjadi keniscayaan karena semangat transformasi digital pada hakikatnya merujuk dua prasyarat utama (Nivlouei, 2014), yakni terbangunnya pola pikir yang mengedepankan inisiatif digital secara intensif dan kemampuan mengelola perubahan dalam ranah kepemimpinan, identitas asali, budaya kerja, dan pengelolaan organisasi secara umum.

Dalam semangat yang senada, dua prasyarat itu dikenal sebagai kematangan (maturity) sikap dalam ranah digital (Rachinger et. al, 2019). Kematangan atau kedewasaan adalah prasyarat penting untuk membangun kemandirian (Steinberg, 2002) sebagai pihak yang memberikan solusi dalam transformasi digital.

Dalam ranah layanan pemerintah yang prima, transformasi layanan digital madrasah diupayakan menjadi batu pijakan (milestone) yang menekankan kesinambungan dalam konseptualisasinya dan inheren dalam pola pikir pada pelaksanaannya. Inilah titik pijak strategis dalam mengembangkan budaya kerja organisasi di pusat maupun daerah.

Sebagai cara pandang dan bersikap, kematangan dan “kedewasaan” digital ini eloknya mampu mendorong dan membentuk warga madrasah yang informatif, dan menghindari, sebagaimana kritik pemikir Byung-Chul Han (The Burnout Society, 2010), menjadi warga masyarakat yang deformatif.

Han menekankan pentingnya kendali bersama agar tidak menjadi pihak yang mudah heran, gampang hanyut, dan “kagetan” dengan laju dan dinamika perkembangan serta disrupsi teknologi informasi. Dalam pemahaman ini, konteks kerja digital dan masyarakat informatif di dalamnya meniscayakan adanya kerja kreatif, partisipatif, sekaligus transparan.

Ketiga, pijakan integrasi, sinergi, dan kolaborasi. Dalam perspektif Merdeka Belajar, yang dikembangkan dalam konteks madrasah menjadi konseptualisasi mandiri belajar, model pembelajaran yang dikembangkan menitikberatkan pada keterampilan berpikir kritis, kemampuan komunikasi dan kolaborasi, serta pembiasaan peserta didik untuk berpikir dan bekerja kreatif dalam menyelesaikan berbagai permasalahan (project-based learning).

Dalam gambaran upaya demikian, secara sederhana dapat dikatakan bahwa transformasi digital madrasah yang ditempuh adalah dengan cara mengintegrasikan cyber pedagogy dengan cyber technology.

Upaya membangkitkan akselerasi layanan dan peningkatan mutu madrasah jelas sebuah kerja besar dan membutuhkan komitmen kuat serta kerja bersama. Pasalnya, dalam kaitan kesenjangan ini, problem pelik tetap dihadapi pada tantangan geogfrafis dan infrastruktur digital.

Untuk itu, sinergi dan kolaborasi terus menerus dengan berbagai pihak terkait pengembangan pendidikan di madrasah mutlak dilakukan untuk menjembatani divide (kesenjangan) konseptualisasi digitalisme dan ekosistem pendukungnya.

Moh. Isom (Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan Madrasah Kementerian Agama RI)

Artikel ini telah terbit di Republika (13 Mei 2021) dengan judul Transformasi Digital Madrasah


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Opini Lainnya Lihat Semua

Keislaman Lainnya Lihat Semua

Ruchman Basori (Inspektur Wilayah II, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI)
Puasa Birokrat