Opini

Belajar dari Tadarus Litapdimas

Inovasi Tadarus Litapdimas

Masa pandemik coronavirus disease 2019 (Covid-19) yang melanda belahan dunia, termasuk Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) di Indonesia, melahirkan kreativitas dan proyek-proyek strategis terutama dalam memaksimalkan hasil riset di tanah air. Bak film serial MacGyver, di saat situasi terjepit ide-ide cerdas keluar dan menghasilkan produktivitas yang demikian cemerlang. Hal itulah yang terjadi pada lingkungan PTKI, yakni dengan terselenggaranya kegiatan secara rutin “Tadarus Litapdimas”, yang membedah hasil-hasil riset terbaik di lingkungan Kementerian Agama RI.

Tadarus Litapdimas hadir sebagai instrumen untuk mendiseminasi dan mensosialisasi riset terbaik itu telah mampu “menghipnotis” sekurang-kurangnya 11.336 (sebelas ribu tiga ratus tiga puluh enam) pasang mata sepanjang delapan edisi, yang tayang sejak tanggal 23 April hingga 19 Mei 2020, dengan menyajikan 15 (lima belas) hasil riset terbaik dengan berbagai tema. Tentu, eksperimen curah gagasan hasil riset ini menjadi ikon dan tradisi baru yang bisa jadi tidak hanya terbatas saat masa pandemi covid-19, tetapi juga pasca-covid di kemudian hari.

Dalam pandangan penulis, riset merupakan “substansinya” perguruan tinggi. Risetlah yang membedakan akan tingkat produktivitas dosen. Melalui riset, kapasitas dosen dipertaruhkan, baik pada aspek kekuatan bacaan, metodologi dan nalar, kemampuan menulis secara akademik (academic writing), kolaborasi dan networking, maupun kelihaian dalam mempertahankan gagasan dan hasil temuannya. Bahkan, riset menjadi faktor penentu atas kualitas tradisi akademik dan wibawa sebuah perguruan tinggi. Oleh karenanya, bisa dimaklumi jika riset menjadi faktor penting sebuah perguruan tinggi.

Sejatinya, PTKI amat kaya dengan hasil riset itu, baik yang atas dukungan pendanaan APBN maupun non-APBN. Tercatat, sekurang-kurangnya sekitar 4.000-an hasil riset yang dihasilkan dari seluruh PTKI dalam setiap tahunnya, dengan berbagai tema dan klaster. Hasil riset yang demikian besar telah mengisi rak-rak perbukuan dan literatur di sejumlah perpustakaan dan berbagai jurnal. Pada portal MORAREF (ministry of religious affair refferences) tercatat sekurangnya 55.112 (lima puluh lima ribu seratus dua belas) naskah artikel hasil riset yang terpublikasi pada 1.943 (seribu sembilan ratus empat puluh tiga) jurnal. Tentu, dokumentasi secara tertulis baik melalui buku maupun jurnal itu sangat penting dan memiliki makna tersendiri dalam dunia akademik. Akan tetapi, upaya diseminasi dan sosialisasi hasil riset secara masif dan dapat dipahami dengan tidak “bersusah payah” mengerutkan kening tentu tidak kalah menariknya. Melalui instrumen Tadarus Litapdimas, hasil-hasil riset tersosialisasi secara masif dan pada aspek substansi mengena secara efektif.

Terbukti, Tadarus Litapdimas amat diminati oleh kalangan terdidik, yakni sebanyak 84% (9.576 orang) yang berprofesi sebagai dosen, sisanya non-dosen sebanyak 3% (369 orang), mahasiswa 9% (1.004 orang), dan lainnya 3% (387 orang). Dilihat dari aspek latar belakang pendidikan, diketahui 67% (7.637 orang) yang berpendidikan magister (S2), dan 21% (2.361 orang) yang bergelar doktor. Data-data ini menunjukkan bahwa tradisi akademik baru model Tadarus Litapdimas di masa covid-19 ini amatlah tepat dilakukan.

Dalam konteks ini, menurut hemat penulis, masa covid-19 perlu didudukkan sebagai “masa panen” akan hasil-hasil riset secara massif. Di saat situasi pelaksanaan riset dengan terjun langsung ke lapangan menghadapi kendala, karena dikhawatirkan tertular atau menularkan covid-19, sudah semestinya jika dimanfaatkan untuk mendiseminasi serta melakukan hilirisasi hasil riset itu kepada berbagai stakeholder terkait. Diseminasi dan hilirisasi merupakan tahap penting untuk dilakukan oleh para peneliti, agar temuan-temuannya itu dapat dimanfaatkan secara faktual.

Hilirisasi hasil riset melalui diseminasi dan menghasilkan hak kekayaan intelektual (HKI) merupakan tahapan penting yang dilakukan peneliti. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi terutama pada Pasal 21 amat jelas menyatakan bahwa “Hasil Penelitian dan Pengembangan wajib dipublikasikan dan didiseminasikan oleh sumber daya manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dan/atau Kelembagaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, kecuali dinyatakan lain oleh peraturan perundang-undangan”. Demikian juga, pada Pasal 22 ayat (1) dinyatakan bahwa “Kekayaan Intelektual dari Penelitian dan/atau Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dikelola sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Regulasi ini menunjukkan bahwa para peneliti sudah saatnya untuk terus aktif melakukan diseminasi dan memproses hasil-hasilnya itu hingga meraih hak kekayaan intelektual secara sah.

Pada aspek lain, Tadarus Litapdimas dapat dijadikan sebagai instrumen dalam pemetaan tema riset yang diminati. Meski pemetaan berbasis pada karakter partisipan, setidaknya Tadarus Litapdimas telah memberikan inspirasi dan sekaligus koreksi atas tema-tema riset yang dilakukan oleh dosen PTKI. Bisa jadi, jika sementara ini tema riset lebih banyak pada kepentingan akademik, maka melalui Tadarus Litapdimas diketahui tema-tema yang dibutuhkan secara nyata di lapangan.

Berdasarkan hasil instrumen yang disebar, ternyata terdapat keseimbangan tema yang diminati. Tema yang terkait dengan sosial-humaniora serta sain dan teknologi mendapatkan porsi minat yang sama, yakni 24%. Disusul dengan isu integrasi keilmuan sebanyak 22%. Sementara studi Islam/tafaqquh fiddin dan moderasi beragama mendapatkan peminat yang sama, yakni 15%. Melihat hasil ini, terdapat kecenderungan isu-isu yang terkait dengan studi keislaman cenderung kalah peminat. Partisipan lebih menyenangi dengan isu sains dan sosial-humaniora. Jika ada pembahasan dengan isu keislaman, maka itu pun harus direlasikan dengan disiplin lainnya, atau dengan bahasa lain integrasi keilmuan. Data yang diperoleh melalui Tadarus Litapdimas ini penting untuk diperhatian oleh semua pihak.

Integrasi Keilmuan

Data peminatan tema yang mengkonsentrasikan pada integrasi keilmuan dalam Tadarus Litapdimas dijadikan tema pamungkas sebagai bagian dari rangkaian khataman Tadarus Litapdimas, dengan menghadirkan para narasumber yang berlatar belakang dosen dan peneliti yang sangat berkompeten.

Isu integrasi keilmuan sebagai tema yang paling dimintai, pada sisi tertentu, mengkonfirmasi atas kebijakan transformasi kelembagaan dan kebijakan di lingkungan Kementerian Agama. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2019 tentang Pendidikan Tinggi Keagamaan, Kementerian Agama secara nyata menempatkan PTKI sebagai salah satu instrumen akademik dalam melakukan proyek integrasi keilmuan. Kebijakan transformasi kelembagaan dari IAIN (Institut Agama Islam Negeri) menjadi UIN (Universitas Islam Negeri) menjadi bagian dari implementasi integrasi keilmuan itu. Di samping sebagai distingsi PTKI sebagai perguruan tinggi yang berbeda dari perguruan tinggi lainnya, juga mengisi “ruang kosong” dunia perguruan tinggi di tanah air.

Menurut hemat penulis, ruang akademik perguruan tinggi di tanah air terpolarisasi ke dalam tiga bagian. Bagian pertama, perguruan tinggi umum yang berada di bawah naungan Kemendikbud, cenderung mengeksplorasi disiplin ilmu-ilmu sosial dan sains murni. Isu dan kompetensi keagamaan cederung kurang dipentingkan dalam kedua disiplin tersebut. Bagian kedua, peguruan tinggi yang berbasis agama murni, seperti Ma’had Aly dan beberapa program studi atau fakultas keagamaan, seperti akhwal syakhsyiyah, tafsir hadis, dll, pada lembaga Institut Agama Islam. Bagian kedua ini dapat dikatakan sebagai kebalikan dari bagian pertama, mengkhususkan pada disiplin ilmu-ilmu keagamaan murni yang kurang mementingkan disiplin ilmu umum. Bagian ketiga adalah lahirnya Universitas Islam (Negeri) dengan membuka program studi atau fakultas umum, seperti kedokteran, sain, sosial politik dll. Bagian ketiga ini menjembatani atas keterbatasan-keterbatasan baik pada bagian pertama maupun bagian kedua, sehingga “ruang kosong” ini perlu diisi dengan bangunan akademik yang merelasikan antara keduanya. Secara tegas, PTKI dalam bentuk UIN diharapkan menjadi lokomotif relasi agama dan ilmu pengetahuan, terutama bidang sains dan sosial-humaniora, secara masif.

Dalam kerangka di atas, kebijakan integrasi keilmuan merupakan respon atas tuntutan kebutuhan pembangunan bangsa yang direspon oleh dunia PTKI, yang menurut hemat penulis, saat ini memasuki periode ketiga. Periode pertama, ADIA (Akademi Dinas Ilmu Agama) yang lahir pada tanggal 1 Juni 1957, merupakan tahapan transformasi kelembagaan pendidikan pesantren ke dalam jalur formal untuk memenuhi kebutuhan tenaga-tenaga guru agama Islam di sekolah dan penyuluh agama Islam di masyarakat. Selain itu, ADIA juga diharapkan dapat menghasilkan tenaga-tenaga profesional yang memiliki kecakapan agama untuk menjadi pegawai di lingkungan Kementerian Agama.

Periode kedua, transformasi kelembagaan dari ADIA menjadi IAIN (Institut Agama Islam), merupakan akselerasi kebutuhan ulamawan yang sekaligus cendekiawan dan cendekiawan yang ulamawan. Transformasi kelembagaan yang terjadi mulai pada tahun 1963 ini tidak hanya beroientasi untuk menghasilkan guru agama Islam dan penyuluh agama Islam an sich, sebagaimana masa ADIA, tetapi melahirkan tokoh-tokoh pemikir agama Islam yang sekaligus memiliki kepribadian dan kompetensi ulama. Sampai di sini, baik ADIA maupun IAIN, keduanya berorientasi pada keahlian di bidang agama atau dalam terminologi lain, DNA (Deoxyribo Nucleic Acid)-nya PTKI adalah bidang agama Islam.

Periode ketiga, transformasi dari IAIN menjadi UIN (Universitas Islam Negeri) yang dimulai sejak lahirnya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 031 tanggal 20 Mei 2002, merupakan tahapan untuk membangun hubungan yang harmonis (relasi) antara ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu sosial humaniora dan/atau sain dan teknologi. Dengan lahirnya UIN, diharapkan dapat melahirkan ahli di bidang sosial humaniora dan/atau sain dan teknologi yang memiliki kapabilitas ilmu keislaman yang mendalam. Lahirnya sejumlah sainstis muslim, sebagaimana yang pernah terjadi pada abad keemasan Islam, dapat lahir kembali. Di samping itu, secara akademik terjadinya relasi Islam dan ilmu pengetahuan yang produktif. Sebab, pada sejarah gereja hal ini pernah terjadi konflik-mendalam antara doktrin gereja dengan temuan saintis, sehingga Galileo Galilei yang mengembangkan teori heliosentrisme mendapat hukuman dari otoritas gereja.

Jika merunut babak transformasi PTKI di atas, sejatinya DNA-nya PTKI adalah disiplin agama Islam. Hal ini menjadi catatan penting agar transformasi kelembagaan menjadi UIN itu jangan sampai mendegradasikan fakultas atau prodi-prodi keagamaan Islam. Sebab, integrasi keilmuan hanya dapat dilakukan oleh tenaga-tenaga, baik dosen maupun mahasiswa, yang memiliki kapabilitas di bidang agama Islam yang disinergikan dengan disiplin ilmu pengetahuan sosial-humaniora dan/atau sain dan teknologi. Jika tidak demikian, maka integrasi keilmuan tidak akan menemukan buktinya secara nyata.

Suwendi

(Kepala Subdit Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI)

Tags:

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Kolom Lainnya Lihat Semua