Opini

Belajar pada Spirit Peradaban Ilmu di USA

Thobib Al-Asyhar, penulis buku, dosen, bekerja pada Ditjen Bimas Islam, Kemenag RI. (foto: istimewa)

Thobib Al-Asyhar, penulis buku, dosen, bekerja pada Ditjen Bimas Islam, Kemenag RI. (foto: istimewa)

Beberapa waktu lalu, saya kedatangan tamu di kantor yang sebelumnya mengirim surat untuk mengajukan permohonan buku-buku terbitan terbaru dari Kementerian Agama.

“Selamat siang pak. Saya Arief Pranomo, dari Library of Congress Amerika, kantor perwakilan Jakarta,” kata lelaki paruh baya menyapa saya saat serius bekerja.

“O iya pak,” sela saya. “Kalau tidak salah kantor bapak pernah kirim surat untuk meminta buku-buku terbitan kami?,” kata saya. “Betul sekali pak,” jawabnya.

“Maaf ya pak, saya mau tanya, kok Amerika begitu agresif mengumpulkan buku-buku terbitan kami. Apa motivasinya? Sementara bangsa kita sendiri, termasuk Perpustakaan Nasional saja gak begitu-begitu amat. Bahkan banyak perpustakaan di tanah air kurang serius mengelolanya,?” tanya saya sambil menyelidik.

“Persis pak. Amerika sangat konsen terhadap pengembangan ilmu pengetahun. Gedung Library of Congress itu perpustakan terbesar di dunia. Memiliki koleksi lebih dari 100-an juta buku dari berbagai negara dan bahasa. Setiap tahun target pengumpulan buku-buku di seluruh dunia sebanyak 1 juta buku,” jawabnya bangga.

What? 1 Juta buku tiap tahun?

Mendengar itu saya tertegun sejenak. Menghela nafas panjang. Lalu saya nelen ludah, dengan raut muka culun karena kagum, sekaligus sedih. Kagum sama Amerika yang sangat agresif menjadikan negaranya sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan.

Gak percaya? Coba googling “library” langsung muncul Library of Congress berada paling atas. Tengok foto gedungnya, tengok fasilitasnya, dan buka fitur-fitur pada website resminya, baca kategori koleksinya. Dan, akhirnya saya hanya bilang bilang, “Keren abis!”

Bagi pecinta buku dan ilmu pengetahuan pasti akan bilang “wow”. Inilah sorga ilmu pengetahuan. Berbagai jenis buku, jurnal, majalah, koran, dan paper dalam berbagai bahasa tersedia dengan rapi dan aman. Belum lagi perpustakaan kampus terkenal seperti Harvard University, Yale University, California University, Chicago University, dan lain-lain. Sayangnya saya belum pernah pergi ke negeri Paman Sam, negeri yang sangat dibenci oleh para pengagum Osama bin Laden itu. Ijinkan saya mengafirmasi diri, suatu waktu nanti saya berkunjung ke tempat ini (insya Allah, amin).

Terus, kenapa sedih? Ya jelas lah. Di negeri sendiri, buku-buku, jurnal, dan karya-karya intelektual dan seni orang Indonesia tenyata kurang, bahkan tidak diminati untuk dikoleksi dan dibaca oleh anak negeri sendiri. Budaya mencintai buku nyaris hilang. Berapa banyak buku-buku karangan para ulama dalam bentuk artefak-artefak masih berserakan. Minim sekali anak negeri yang tertarik untuk menggali khazanah kecuali sedikit dari mereka yang minat pada bidang filologi.

Sekedar contoh, sekarang ini budaya memberikan hadiah buku buat orang lain, khususnya kepada anak-anak semakin menghilang. Ulang tahun lebih suka dibeliin kue, coklat, mainan karakter kekinian, dan aksesoris lainnya dari pada dalam bentuk buku-buku bacaan. Kalau ada temen menerbitkan buku, inginnya minta gratisan. Lha kenapa pula sih gak beli saja, di samping harganya gak semahal harga pulsa internet, setidaknya sebagai cara menghargai karya intelektual.

Bagaimana dengan budaya membaca? Jangan tanya deh! Keinginan memiliki perpustakaan lengkap dengan berbagai program agar orang gemar baca, saya hanya sedikit menemukannya. Banyak di antara kita yang hanya sebatas semangat membeli buku, tapi hanya ditumpuk dan sebagai hiasan di rak buku rumah. Setelah terkumpul berlemari-lemari hanya jadi bahan koleksi, difoto dan dipamerkan.

Terus, bagaimana dengan kebijakan pemerintah kita? Nah itu pertanyaan saya sejak lama. Kebijakan apa yang membuat buku-buku menjadi murah? Lihatlah setiap waktu harga buku terus melambung. Buku murah saja banyak yang gak mau beli, bagaimana kalau bukunya mahal?

Lebih dari itu, berapa banyak perpustakaan di negeri ini tutup gegara tidak memiliki anggaran untuk merawat, selain jarang orang datang untuk mengunjunginya. Berapa banyak penerbit dan toko buku yang bangkrut karena buku-buku yang diterbitkan tidak laku dijual. Terakhir beberapa penerbit terkenal yang memiliki peran besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan resmi tutup karena tekor. Beberapa penerbit buku yang lain juga menunggu giliran gulung tikar seiring dengan rendahnya minat baca masyarakat.

Lha bagaimana gak bangkrut, orang kita diberi buku saja gak dibaca, apalagi harus beli dengan harga mahal pula! Please deh!

Kembali kepada Library of Congress, semangat Amerika tehadap pengembangan Ilmu Pengetahuan harus ditiru. Janganlah melihat negeri om Trump ini hanya dilihat dari kaca mata politik kekuasaan, jangan pula hanya berhenti pada gaya hidup masyarakatnya. Lihatlah bagaimana negeri ini membangun pilar-pilar peradaban dengan terus memperhatikan simpul-simpul ilmu pengetahuan. Berapa banyak ahli-ahli di negeri ini lulusan dari sekolah bergengsi di Amerika.

Ambisi Amerika yang ingin terus mengoleksi buku-buku dan jurnal versi paper yang diterbitkan oleh berbagai lembaga di dunia, khususnya Indonesia menunjukkan betapa negeri ini memiliki kesadaran bahwa untuk menjadikan Amerika maju butuh referensi yang cukup. Untuk menjadi pusat peradaban dunia harus mau mengumpulkan kepustakaan dari berbagai sumber sebanyak-banyaknya.

Karena itu, rasanya patut kita tiru bahwa Amerika memang pantas dijadikan kiblat pengembangan ilmu pengetahuan. Selain memiliki visi bagaimana mengambangkan ilmu, mereka juga rajin mengais karya-karya intelektual di seluruh dunia untuk kemudian didokumentasikan dan kelak jadi warisan peradaban bangsanya.

Sekarang teserah kita, mau sekedar jadi bangsa follower atau pemrakarsa? Kalau ingin jadi pemrakarsa, saatnya kita mencintai buku dan membacanya dengan sebanyak-banyaknya. Tapi kalau hanya rajin baca status dan postingan di media sosial sih berarti memang tidak ingin maju seperti Amerika. Nah!

Wallahu a’lam.

Ditulis: Thobib Al-Asyhar, penulis buku, dosen, bekerja pada Ditjen Bimas Islam, Kemenag RI

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua

Ahmad Zainul Hamdi, Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kemenag RI
Kenangan dan Kemenangan