Buddha

Berdamai dengan Kematian

Buddha Wacana

Buddha Wacana

Parijiṇṇamidaṁ rūpaṁ, roganiḍḍhaṁ pabhaṅguṇaṁ. Bhijjati pūtisandeho, maraṇantaṁ hi jīvitaṁ. Tubuh ini benar-benar rapuh, sarang penyakit dan mudah busuk. Tumpukan yang menjijikan ini akan hancur berkeping-keping. Sesungguhnya, kehidupan ini akan berakhir dengan kematian. (Dhammapada, Syair 148)

Bulan Juli 2021 seakan-akan menjadi puncak pandemi Covid-19. Ribuan orang terinfeksi Covid per hari, ratusan meninggal dan bunyi sirine ambulan meraung-raung hampir 24 jam. Berita-berita melonjaknya Covid terus menggema. Rumah sakit penuh sesak, pasokan oksigen buatan dan tabungnya sulit dicari. Banyak orang berada dalam ketakutan akan kematian. Covid yang dahulu masih berada jauh dari lingkungan kita kini menjadi semakin dekat dan meneror kita. Kematian serasa makin dekat dengan diri dan keluarga kita.

Masa itu telah kita lewati bersama. Walau masih menyisakan luka dan air mata, tetapi kita tidak putus asa untuk datangnya hari depan lebih baik. Badai Covid-19 dan badai kematian pada Juli lalu memberikan pelajaran penting kepada kita semua untuk kembali melihat, memahami dan mempraktikkan Dhamma ajaran Buddha dengan sungguh-sungguh. Apa yang disampaikan oleh Guru Agung Buddha Gautama tentang Dukkha, Anicca, Anatta bukan lagi hanya dalam tataran konsep tetapi nyata kita alami bersama.

Kini kita harus mengambil pelajaran penting atas peristiwa yang telah kita lalui itu. Terlalu murah jika itu hanya dijadikan kenangan dan peristiwa yang memilukan saja. Peristiwa itu mari kita jadikan pelajaran-pelajaran penting untuk kemajuan spiritual kita. Menjadikan peristiwa itu untuk mentransformasi kesadaran kita menjadi lebih tinggi dan mendalam.

Kita sadar bahwa hidup kita hanyalah perpaduan dari berbagai elemen baik jasmani (rupa) dan rohani (nama).

Keduanya elemen yang saling bergantung dan saling membutuhkan, nama bergantung dengan rupa, rupa bergantung dengan nama. Perpisahan keduanya adalah kematian. Walaupun kematian ini bukanlah akhir segalanya tetapi setidaknya mengakhiri kehidupan kita saat ini. Kita menyadari bahwa baik nama maupun rupa adalah sangat tidak kekal, harus seturut dengan hukum alam semesta. Mengingkari sifat alam semesta hanya akan menimbulkan luka dan penderitaan batin.

Badai Covid dan kematian Juli lalu semakin membuka mata kita tentang betapa rapuhnya kehidupan kita. Tubuh ini mudah sekali rapuh hanya dengan makhluk kecil bernama virus Covid-19 ini. Virus itu menimbulkan ketakutan yang luar biasa hingga melemahkan imunitas kita dan tidak jarang berakhir dengan kematian.

Adalah wajar kita perlu mempertahankan dan menjaga tubuh ini supaya tidak mudah rusak sehingga dapat kita pergunakan untuk melakukan aktifitas kebaikan dengan berbagai macam usaha. Namun demikian, kita juga perlu membangun mentalitas benar dengan pandangan Dhamma bahwa segala yang ada termasuk tubuh kita adalah tidak kekal sehingga tidak layak dilekati dan diagung-agungkan. Ini semua bukan pesimis pada kehidupan ini tetapi senantiasa mempunyai kewaspadaan dan kebijaksanaan terhadap hidup kita.

Jivitaṁ aniyataṁ, marana niyataṁ, kehidupan tidaklah pasti, kematianlah yang pasti. Semoga semua makhluk hidup berbahagia

Buddha Lainnya Lihat Semua

Mimbar Agama Lainnya Lihat Semua