Opini

Covid-19 dan Spirit Bela Negara

Thobib Al Asyhar

Thobib Al Asyhar

Upaya mencegah penyebaran Covid-19 terus dilakukan. Berbagai kebijakan pemerintah telah dikeluarkan. Dari imbauan, mitigasi bencana, hingga keputusan strategis, seperti penutupan tempat wisata, meliburkan sekolah, pembelajaran online, dan lain-lain. Presiden pun telah menyampaikan maklumat. Sebagian masyarakat merespon dengan enggan keluar rumah.

Pemerintah terus berupaya agar kekhawatiran secara massif terhadap penularan virus tidak berkepanjangan. Namun, di media sosial tetap saja muncul info-info hoax dan hate speech dari netizen yang sangat meresahkan. Bahkan masih banyak cacian dan umpatan kepada pemerintah karena dianggap kurang cepat bertindak.

Situasi ini semakin runyam oleh ulah oknum tak bertanggungjawab yang menjadikan wabah Corona sebagai "senjata" untuk menyerang pemerintah. Meski, ada pula yang secara tajam mengkritik kebijakan pemerintah dengan memperhatikan fatsun ketimuran.

Terlepas dari fakta-fakta tersebut semestinya wabah Corona ini menjadi momentum untuk mengukuhkan kebersamaan kita sebagai bangsa besar. Indonesia adalah negara yang sangat luas dan terbentang pulau-pulau, dengan pintu perlintasan penduduk antar negara cukup banyak. Tentu kritik terhadap kebijakan pemerintah bukan hal yang haram dalam iklim demokrasi. Hanya saja perlu kita pahami bahwa ini adalah tragedi kemanusiaan global yang harus disikapi bersama secara kompak, bukan mengungkapkan hate speech di ruang publik di tengah kegalauan masyarakat.

Bencana wabah penyakit Covid-19 yang melanda dunia ini pasti tidak ada orang waras yang menghendaki. Kejadian ini harus dijadikan momentum untuk merenung dengan menambah insight tentang kekurangan diri. Tentu tidak semua orang memiliki bahan renungan sama, karena setiap person memiliki latar belakang dan kemampuan yang berbeda.

Sebagai bangsa besar, kita tidak sepatutnya saling kutuk. Tidak perlu saling menyalahkan antar komponen bangsa. Ada ungkapan bijak bilang begini: lebih baik menyalakan lilin di tengah kegelapan daripada mengutuk kegelapan itu sendiri. Lebih baik berbuat kebaikan meski kecil dari pada tidak sama sekali. Waktunya untuk mengkonsolidasikan kekuatan dengan saling menguatkan dan memberi support agar krisis ini segera berlalu.

Spirit Bela Negara
Sebuah negara akan dinilai besar jika mampu melewati krisis besar dengan baik. Indonesia pernah mengalaminya saat reformasi bergulir, di mana ancaman perpecahan begitu nyata pasca kerusuhan Mei 1998. Meski harus memakan korban sebagian anak bangsa, namun pada akhirnya Indonesia mampu melewati dengan mulus, bahkan menjadi negara demokrasi terbesar ketiga setelah Amerika dan India.

Kejadian yang hampir sama sedang kita hadapi saat ini, yaitu penyebaran virus Corona global yang membuat resah seluruh mayarakat. Akankah kita mampu melewatinya dengan baik? Ataukah kita justru semakin terpuruk akibat cara kita yang salah dalam merespon, baik secara ekonomi, sosial, maupun politik?

Dalam situasi seperti ini, setiap kita harus memiliki jiwa bela negara. Jiwa bagaimana negara dan masyarakat tetap kuat dan mampu bertahan untuk melawan virus. Tidak sepatutnya ada pihak yang "mencari panggung", menepuk dada dengan menuduh sana sini. Kita harus banyak belajar dari negara lain dalam mengatasi ancaman serius, seperti Jepang. Jepang adalah negara yang sangat tangguh dalam menghadapi bencana. Bisa dikatakan, Jepang sebagai "negara bencana", namun mereka tetap memiliki spirit untuk bertahan hidup dengan kekompakan luar biasa dan sikap low profile.

Dalam situasi tidak menentu seperti ini, saatnya semua komponen bangsa untuk saling menguatkan dan memberikan support dengan spirit bela negara. Jika bukan kita, lalu siapa lagi yang membela bangsa ini dari keterpurukan? Lupakan kepentingan politik, mari singsingkan baju untuk negeri tercinta.

Banyak yang bisa kita ambil pelajaran dari Jepang dalam menghadapi musibah luar biasa, mulai dari gempa bumi, tsunami, dan pernah mendapat ancaman bahaya nuklir di tengah cuaca dingin dan salju. Hal sama juga mereka telah melewati krisis Covid-19 ini dengan baik. Cara menghadapi krisis dan bagaimana kita meresponnya benar-benar akan mengungkapkan siapa kita dan bagaimana kita memandang dunia. Lalu bagaimana wujud bela negara dalam menghadapi krisis ini?

Pertama, memegangi tradisi dan kepribadian nasional dengan teguh. Kita harus menambah keyakinan dan memegangi filosofi bangsa kita untuk menerima bahwa musibah adalah hal yang tidak dapat dihindari. Meskipun Covid-19 ini menjadi ancaman nyata, kita tidak perlu menyalahkan siapapun, baik Tuhan atau pemerintah. Kita perlu membangun kepribadian yang berbasis pada perilaku yang tenang, santun, sopan, menghormati otoritas, dan kepatuhan terhadap aturan.

Sebagai bangsa besar yang memiliki banyak "wisdom", kita perlu mengembangkan budaya bangsa seperti sikap tabah, tertib, rendah hati, dan tidak mengekspresikan emosi negatif di ruang publik. Sepatutnya dalam keadaan darurat, kita mesti tunjukkan situasi damai, kompak, patuh, dan mampu untuk bangkit.

Kedua, mengekspresikan emosi secara tepat. Media sosial memang ruang bebas bagi setiap orang untuk mengekspresikan sikap, apapun. Namun itu bukan satu-satunya fungsi sehingga bisa menimbulkan persoalan. Apalagi situasi seperti ini semua orang memiliki sensitifitas tinggi. Melihat atau mendengar orang bersin dan batuk saja sudah curiga. Belum telah disosialisasikan untuk tidak berjabat tangan dan cipika cipiki sementara waktu. Bahkan sholat Jumat pun diperbolehkan MUI untuk diganti dengan sholat dzuhur dalam siatuasi yang pandemic di suatu wilayah.

Sebagai bangsa Timur, Indonesia memiliki tradisi dan budaya yang sangat panjang untuk mengekspresikan perasaan secara halus. Menghadapi bencana seperti ini, kita semua perlu tenang dan melakukan tindakan yang efektif dan efisien untuk mencegah penyebaran virus. Imbauan pemerintah agar kita mengurangi aktifitas di keramaian perlu dilakukan sambil merekatkan hubungan keluarga.

Ketiga, membangun solidaritas dan empati kepada sesama anak bangsa. Saat ada sebagian masyarakat terpapar virus dan ancaman penularan nyata dalam pergaulan, maka yang dibutuhkan adalah sikap empati kepada orang lain. Jangan ada yang ingin selamat sendiri. Saat seseorang mengalami sakit batuk, demam, dan indikasi flu, maka dengan penuh kesadaran diri agar mematuhi protokol kesehatan, misalnya menggunakan masker, menjauh dari kerumunan dan lain-lain.

Demikian juga perilaku ekonomi tidak sepantasnya ada yang aji mumpung dengan menimbun barang yang dibutuhkan publik selama krisis, seperti masker, sembako, dan lain-lain. Situasi ini tentu akan menghambat atau membuat sebagian orang sulit, seperti kehilangan pekerjaan, kekurangan order, dan seterusnya. Inilah setiap kita dibutuhkan "sense" untuk menyikapi krisis ini dengan bijak.

Keempat, perlunya kesiapan untuk bangkit kembali pasca krisis Covid-19. Belajar dari pengalaman negeri Jepang yang bangkit secara mengagumkan pasca gempa 1923 yang melanda Tokyo, dengan korba jiwa sekitar 142.000, bahkan lebih besar dari korban tewas akibat bom atom Hiroshima dan Nagasaki. Dunia telah mengakui ketangguhan Jepang dalam membangkitkan warga pasca krisis.

Kesiapan terhadap situasi darurat harus melahirkan kesiapan publik dalam menghadapi segala kemungkinan. Apalagi Indonesia adalah negeri yang rawan bencana, sehingga masyarakat perlu menyiapkan diri atas segala kemungkinan wabah penyakit atau bencana yang akan terjadi. Kesiapan psikologis secara lebih matang akan mendewasakan dalam menyikapi bagaimana membangun spirit pasca krisis.

Empat langkah tersebut merupakan bagian dari cerminan sikap bela negara dalam masa krisis Covid-19 ini. Bela negara tidak selalu dalam bentuk aksi-aksi heroik seperti masa perjuangan kemerdekaan, namun setiap orang berbuat kebaikan untuk orang lain. Jika tidak mampu berbuat baik kepada sesama, setidaknya mampu mengendalikan diri untuk tidak menyakiti orang lain. Wallahu a'lam

Thobib Al-Asyhar, Peserta Pelatihan Kepemimpinan Administrator Angkatan I, Kabag Kerja sama Luar Negeri (KLN) Kemenag

Opini Lainnya Lihat Semua

Keislaman Lainnya Lihat Semua

Ruchman Basori (Inspektur Wilayah II, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI)
Puasa Birokrat