Opini

Diklat dan Pengembangan SDM Bermutu Tinggi

Thobib Al-Asyhar. (foto: istimewa)

Thobib Al-Asyhar. (foto: istimewa)

Cerita tentang pegawai yang "menolak" dipanggil ikut Pendidikan dan Latihan Kepemimpinan (Diklatpim) bukanlah kisah baru. Berbagai alasan diajukan agar tidak diikutkan Diklat. Ada kecenderungan munculnya anggapan bahwa Diklatpim yang diselenggarakan oleh organ internal Kementerian/Lembaga sebagai "beban" dan bukan "kebutuhan".

Lain lagi cerita tentang diklat (training) yang diadakan perusahaan swasta untuk pegawainya. Di sana, training pegawai (SDM) adalah kebutuhan primer. SDM adalah aset termahal perusahaan yang perlu diasah dan dikembangkan untuk menunjang kinerjanya agar produknya tetap kompetitif di pasar. Perusahaan yang tidak mampu meng-upgrade SDM-nya, maka hanya menunggu waktu kebangkrutannya.

Dalam banyak teori manajemen, skill dan wawasan SDM menjadi penentu arah sebuah organisasi, sehingga keberadaannya harus menjadi fokus utama. Dalam bahasa agama, upaya peningkatan SDM merupakan salah satu "rukun" kompetisi di dunia usaha, sehingga perusahaan yang tidak mampu membangun kapasitas SDM, maka perusahaan itu tidak layak ikut dalam dunia persaingan. Sehebat apapun sumber daya selain SDM yang dimiliki, tanpa didukung oleh karyawan yang mumpuni, maka di situlah sejarah buruk perusahaan akan dimulai.

Fatsun dasar swasta tersebut seharusnya juga berlaku bagi instansi pemerintah. Presiden Jokowi dalam beberapa kesempatan menyampaikan pentingnya instansi pemerintah melakukan perubahan mendasar dalam pengelolaan birokrasi, khususnya dalam memberikan pelayanan publik, seperti pelayanan bidang perizinan. Tentu, selain sistem yang harus ditata ulang, yang paling pokok adalah peningkatan kualitas ASN yang profesional dan berintegritas, sehingga mampu memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.

Peraturan Kepala Lembaga Administasi Negara (Perkalan) No. 13 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Pembinaan Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Teknis mengatur bahwa Pendidikan dan Latihan Teknis merupakan Diklat yang dilaksanakan untuk memenuhi persyaratan kompetensi teknis yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas ASN sebagai bagian integral dari sistem pembinaan karier dan prestasi kerja bagi ASN. Dalam pengertian tersebut, jelas bahwa spirit kediklatan, apapun jenisnya, entah substantif maupun teknis, adalah bagian dari sistem pembinaan karier dan prestasi kerja yang secara implisit menyiratkan makna agar birokrasi di Indonesia tetap kompetitif.

Sementara, pengelolaan birokrasi yang buruk akan berdampak pada kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Pada level lebih besar, pemerintahan sebuah negara tidak akan dipercaya oleh (mitra) negara lain untuk menjalin kerjasama atau investasi ekonomi karena terkait dengan public trust (kepercayaan publik) yang rendah. Sehingga pada gilirannya, sebuah negara menjadi tidak bisa maju atau bahkan bangkrut karena kualitas SDM nya yang buruk.

Pertanyaannya, kenapa Diklatpim yang dilaksanakan internal Kementerian/Lembaga kurang diminati pegawai (pejabat)? Bukankah Diklatpim itu dimaksudkan agar kualitas birokrasi semakin membaik dan pelayanan publik semakin berkualitas dan akuntabel?

Bukan hal mudah untuk menjawab pertanyaan tersebut. Banyak faktor penyebab yang menjadikan fenomena itu muncul sehingga masalahnya menjadi kompleks dan rumit. Satu masalah terhubung dengan masalah lainnya. Namun, berdasarkan pengalaman dan pengamatan penulis, bisa dirumuskan beberapa faktor penyebab sebagai berikut:

Pertama, rendahnya budaya kompetisi berkualitas di lingkungan birokrasi. Kompetisi bermutu adalah cara paling masuk akal untuk memunculkan SDM yang mumpuni dan berintegritas. Sebuah organisasi yang dikelola tanpa ada kompetisi sehat hanya akan menyisakan persoalan-persoalan klasik, seperti budaya korupsi dan nepotisme, dan keduanya hanya bisa dilakukan dengan negosiasi.

Semua kita harus jujur, budaya nepotisme dan kolutif masih menjadi isu faktual di lingkungan birokrasi. Meski casing-nya sudah mulai berubah nama, semisal assesmen, uji kompetensi, tes seleksi, dan semacamnya, namun masih dirasakan bahwa budaya fairness belum berjalan optimal.

Ketiadaan kompetisi berkualitas tersebut, membentuk sikap pegawai (ASN) menjadi tidak bersemangat untuk meng-upgrade diri. Lalu, muncul ungkapan: "buat apa ikut Diklat ini dan itu, toh semua itu tidak ada manfaatnya".

Itulah gambaran apatisme ASN yang sudah mencapai tahap mengkhawatirkan. Sementara di sektor swasta sebaliknya, siapa cakap dan memiliki kemampuan untuk memajukan perusahaan, dialah yang akan mendapatkan kesempatan untuk berkarier. Sedangkan bagi karyawan yang tidak berkualitas, lambat atau cepat, akan tersingkir oleh seleksi alam.

Kedua, mindset pegawai yang cenderung pragmatis. Ini yang mungkin agak sulit dipahami oleh orang luar birokrasi (the others). Bagaimana bisa, Diklatpim yang diperuntukkan untuk menunjang karier pegawai justru dihindari akibat alasan kesibukan kerja di kantor masing-masing. Sering kita dengar, si A atau si B tidak mau ikut Diklatpim karena ingin konsentrasi mengurus kegiatan yang telah dicanangkan, dan umumnya hal itu terkait juga dengan hal ihwal finansial.

Mindset pragmatis tersebut memang menjadi persoalan serius di lingkungan birokrasi. Mental ingin mendapat uang secara instan jelas menutup spirit pengembangan SDM sebagaimana yang diinginkan dari hasil Diklat. Tujuan jangka panjang dari pelaksanaan Diklat adalah tercukupinya kapasitas SDM. Artinya, pegawai seharusnya merasa membutuhkan terhadap Diklat, bukan karena terpaksa memenuhi kewajiban.

Ketiga, pengelolaan Diklatpim yang belum mengikuti trend kebutuhan kekinian. Diklatpim selama ini belum dikelola dan dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan mendasar.

Untuk diklat teknis pendidikan keagamaan yang meliputi guru, pengawas, penghulu, penyuluh, dan pelayan keagamaan lainnya, umumnya sangat dinanti pegawai. Apalagi Diklat Pra-jabatan yang ditunggu sebagai prasyarat, angka kredit, atau menjadi pengalaman langka. Diklat yang dihindari pegawai umumnya Diklatpim, selain masih harus ditungkatkan kualitasnya juga karena tidak ada efek bagi karier jabatan.

Banyak yang menyampaikan bahwa Diklatpim belum ideal karena belum dikemas secara menarik, masih terlalu banyak sistem klasikal sehingga peserta tidak bisa keluar imajinasinya, tidak mampu menunjukkan kreatifitas dan inovasi terbaiknya. Belum lagi membincang kualitas rerata instrukaturnya yang masih belum memenuhi standar ideal.

Perlu diberikan catatan, bahwa Diklatpim harus ada rekonsepsi pelatihan yang lebih mendasar dari "teaching oriented" menjadi "training oriented". Hal ini bertolak sebaliknya dengan training-training swasta yang dikelola secara menarik dan profesional, sehingga nampak gegap gempita dan banyak diminati oleh para calon peserta.

Memang ada kecenderungan upaya perubahan paradigma, kurikulum, dan desain pembelajaran Diklat yang digerakkan oleh LAN dengan berbagai kebijakan baru, seperti munculnya ide proyek perubahan, standarisasi kualitas widyaiswara, dan lain-lain. Namun, hal itu nampaknya belum menyentuh akar permasalahan.

Keempat, tidak adanya konsistensi penerapan kebijakan terhadap karier pegawai. Ini yang juga menjadi salah satu sebab pegawai kurang minat mengikuti Diklatpim. Kepemilikan sertifikat Diklatpim ternyata tidak selalu menjadi bahan pertimbangan yang bersangkutan "dijamin" kariernya dengan promosi jabatan, misalnya. Karena faktanya, banyak pegawai yang tidak ikut Diklat tetap saja bisa promosi jabatan.

Sebagai misal, sertifikat kelulusan Diklat Pim IV ternyata tidak menjadi salah satu syarat wajib apabila seseorang akan promosi menjadi pejabat eselon III. Banyak ditemukan fakta bahwa seorang pejabat eselon IV bisa dilantik menjadi eselon III tanpa terlebih dahulu mengikuti Diklat Pim IV. Pada akhirnya seseorang akan mengatakan, buat apa Diklat, toh saat syarat golongan sudah mencukupi tetap saja bisa promosi jabatan ke jenjang lebih tinggi. Inilah yang dimaksud tidak ada konsistensi dalam penerapan kebijakan untuk menunjang karier pegawai.

Kelima, belum adanya grand-design pengembangan pegawai. Ini mungkin poin yang paling sulit. Khusus di Kementerian Agama yang memiliki Satker paling banyak dan tersebar di seluruh pelosok nusantara, menjadi PR besar untuk memastikan peta potensi dan rencana pengembangan pegawai yang akan datang agar seluruh sistemnya dapat terukur.

Namun, keberadaan grand design adalah sebuah keniscayaan jika kita ingin membangun kekuatan SDM yang berkualitas, terencana, dan tepat sasaran. Dengan adanya grand desain pengembangan pegawai akan sangat membantu dalam pembuatan peta kompetensi, sistem, dan pola training (Diklat) dengan menyesuaikan dinamika zaman yang terus berubah.

Kelima poin di atas, hemat penulis, perlu mendapat perhatian oleh semua pihak. Kualitas penyelenggaraan Diklat (khususnya Diklatpim) dengan output yang berkualitas tidak hanya menjadi tanggung jawab unit pelaksana Diklat, dalam hal ini Badan Litbang dan Diklat, tetapi seluruh unsur unit pembina pegawai di semua jenjang. Sebab, antara satu unit dengan unit yang lain di Kementerian Agama saling terkait.

Akan tetapi itu semua kembali kepada kita, apakah Diklatpim ini ingin benar-benar menjadi kebutuhan pegawai dan organisasi, atau kegiatan rutin yang akan menjadi beban pekerjaan pegawai. Wallahu A'lam.

Thobib Al-Asyhar
(Kabag Ortala, Kepegawaian, dan Hukum Ditjen Bimas Islam)

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua