Opini

Dokumen Abu Dhabi: Merayakan Persaudaraan Manusia

Paulus Tasik Galle’ (ASN Pusat Kerukunan Umat Beragama/PKUB. Alumnus Fakultas Teologi Katolik Universitas Muenchen, Jerman dan program Doktor SP

Paulus Tasik Galle’ (ASN Pusat Kerukunan Umat Beragama/PKUB. Alumnus Fakultas Teologi Katolik Universitas Muenchen, Jerman dan program Doktor SP

Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah menetapkan tanggal 4 Februari setiap tahun, yang dimulai sejak tahun 2019, sebagai hari untuk merayakan Hari Persaudaraan Manusia Internasional (International Day of Human Fraternity). Penetapan tanggal ini bertepatan pada hari ditandatanganinya sebuah dokumen penting dan bersejarah di Abu Dhabi, ibu kota Persatuan Emirat Arab, oleh Pemimpin Umat Katolik sedunia Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar, Prof. Dr. Ahmed Al-Tayeb. Judul dokumen tersebut berbunyi “Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama” (The Document on Human Fraternity for World Peace and Living Together).

Sebelum penandatanganan dokumen dimaksud, telah didahului dengan sebuah Konferensi Internasional tentang Persaudaraan Kemanusiaan yang diselenggarkan oleh Majelis Hukama Al-Muslim (Council of Muslim Elders) yang diketuai oleh Imam Besar Al-Azhar dan yang beranggotakan belasan ulama dan cendekiawan yang berasal dari beberapa negara. Konferensi ini dihadiri oleh puluhan tokoh lintas agama yang bertujuan menghidupkan dialog tentang keharmonisan dan persaudaraan antar sesama manusia serta untuk menemukan cara-cara yang lebih efektif dalam usaha memperkuat pergaulan internasional, serta bagaimana usaha menangkal pemikiran ekstremisme dan dampak-dampak negatifnya. Para peserta dalam konferensi ini merasakan adanya persaudaraan sekemanusiaan dan kesadaran kuat betapa pentingnya perdamaian di atas muka bumi ini. Dambaan akan perdamaian itu bukan hanya menjadi ajaran esensial setiap agama tetapi juga dambaan semua umat manusia, termasuk yang tidak beragama sekalipun.

Dalam catatan, hubungan dan kerja sama resmi antara Vatikan melalui Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama (Pontifical Council for Interreligious Dialogue/PCID) dan Al-Azhar di Kairo, Mesir sudah terjadi sejak tahun 1998, tepatnya pada 28 Mei 1998 dengan ditandatanganinya Pakta Kerjasama Permanen Antaragama Monoteistik oleh PCID dan Komisi Tetap Al-Azhar di Vatikan. Penandatanganan ini masih dalam kepemimpinan Paus Yohanes Paulus II, yang ketika menerima delegasi kedua pihak di Vatikan pada tanggal 29 Mei 1998 menekankan betapa pentingnya kerja sama untuk menumbuhkembangkan lebih lanjut relasi persahabatan antara umat Katolik dan umat Islam yang sudah ada. Juga dalam pertemuan itu, Paus mengingatkan bahwa dialog antar kedua agama semakin penting dan harus “kredibel” (terpercaya) yang dilandasi dengan saling menghormati (mutual respect), saling mengetahui (mutual knowledge), dan saling menerima (mutual acceptance).

Kerja sama PCID dan Al-Azhar berjalan lancar, di mana setiap dua tahun dilakukan pertemuan atau konferensi untuk membahas berbagai isu dan untuk memberikan kontribusi pemikiran dalam usaha mendorong dan meningkatkan perdamaian dunia serta kerja sama yang nyata bagi kemanusiaan. Akan tetapi hubungan dan kerja sama kedua belah pihak itu, juga pernah mengalami “krisis” pada masa kepemimpinan Paus Benediktus XVI, pengganti Paus Yohanes Paulus II. Hal ini disebabkan oleh pernyataan Paus Benediktus XVI dalam kuliah umum tanggal 12 September 2006 di Regensburg, Jerman dan sebuah wejangan terbuka Paus pada awal tahun 2011 tentang kondisi umat Kristiani di negara-negara Timur Tengah. Pernyataan Paus tersebut dianggap kurang bersahabat dan bahkan menyinggung perasaan umat Islam. Sekalipun demikian kerinduan dari lubuk hati paling dalam kedua belah pihak selalu dan terus menguatkan hubungan dan kerja sama apalagi bila diperhadapkan dengan adanya kepentingan lebih besar bahkan yang menyangkut nasib dunia.

Oleh karena itu, setelah pengunduran Paus Benediktus XVI tahun 2013 dan digantikan oleh Paus Fransiskus, muncul pesan kuat akan keterbukaan dan kemauan memperkuat hubungan dan kerja sama dengan umat Islam dalam usaha memajukan perdamaian dan kerukunan lintas agama. Pada bulan Mei 2016, Imam Besar Al-Azhar hadir di Vatikan memenuhi undangan ketua PICD saat itu yakni Kardinal Jean Louis Tauran untuk bertemu Paus Fransiskus. Ingatan akan pertemuan tersebut, diceritakan kembali oleh Imam Besar Al-Azhar dalam sambutannya sebelum Dokumen Abu Dhabi ditandatangani, “Saya diundang oleh sahabat dan saudara saya, Fransiskus, ke rumah beliau yang dipenuhi keramahtamahan untuk bersantap bersama, lalu salah seorang hadirin yang berusia relatif muda, mengajukan harapan dan ide tentang persaudaraan sekemanusiaan. Hal tersebut disambut baik oleh Paus dan memperoleh juga dukungan kuat saya”.

Tahun 2017, tepatnya tanggal 28 dan 29 April, Paus Fransiskus melakukan kunjungan balasan kepada sahabatnya Imam Besar Al-Azhar di Mesir, Kairo. Pertemuan kedua dan bersejarah ini telah menjadi momentum untuk semakin membuka pintu lebih lebar lahirnya sebuah dokumen bersama. Wacana sejak pertemuan pertama di Vatikan dan kedua di Kairo telah menyinggung berbagai butir fundamental yang akan dijadikan dokumen untuk kepentingan banyak orang. Premis awalnya mengambil contoh hubungan Katolik dan Muslim, tetapi spektrum pengejawantahannya jauh lebih luas dari itu yakni menyangkut relasi lintas agama yang lebih luas. Setelah pertemuan tersebut, kedua belah pihak melakukan refleksi dan kerja sama yang semakin intensif untuk menghasilkan dokumen tentang “Persaudaraan Manusia”, dan sampai akhirnya pada bulan Februari 2019, kedua sahabat dan saudara bertemu kembali di Abu Dhabi, dan Dokumen tersebut ditandatangani.

Sejumlah harapan dari Dokumen Abu Dhabi nampak dalam Mukadimah Dokumen antara lain disebutkan bahwa ingin mengembalikan sebab utama krisis yang dialami umat manusia dewasa ini pada ketidakhadiran nurani kemanusiaan dan peminggiran ke tepi nilai-nilai akhlak keagamaan serta merebaknya egoisme dan meterialisme. Harapan lain bahwa dokumen ini ingin mengukuhkan kembali hubungan keakraban khususnya umat Islam dan umat Kristiani. Lewat dokumen ini, umat manusia diantar menuju keluhuran dan ketinggian yang menghantar menuju pertemuan dengan Tuhan Yang Mahakuasa. Dalam konteks sejarah, dokumen ini dapat dipandang sebagai sebuah simbol rujukan dan rekonsiliasi baru, sebuah persaudaraan antara umat Katolik dan umat Islam, antara Timur dan Barat, antara Utara dan Selatan.

Dalam perspektif dialog antaragama, Dokumen mengingatkan bahwa “Setiap orang harus ingat bahwa di dasar kerja sama dan dialog antaragama, selalu ada akar kemanusiaan kita yang sejatinya telah hadir lebih dahulu sebelum seorang memeluk sebuah agama tertentu. Ini berarti bahwa kita tidak memulai dari nol dalam dialog, selalu ada kemanusiaan kita bersama yang berlaku sebagai sebuah “reminder permanen” tanpa kita harus mengenal diri dan orang lain berdasarkan perspektif agama”. Dokumen ini terus menyerukan untuk mengembangkan budaya dialog sebagai jalan terbaik di dalam kerja sama lintas agama yang pada gilirannya membantu membuka wawasan pengetahuan yang lebih baik terhadap yang lain. Agama-agama tidak dapat meninggalkan tugas pentingnya untuk membangun jembatan antarmasyarakat dan budaya. Sudah waktunya bahwa agama-agama harus lebih aktif mengerahkan diri, dengan keberanian bulat tanpa pretensi untuk membantu keluarga manusia dalam upaya memajukan rekonsiliasi dan merealisasikan visi, harapan, dan jalan perdamaian yang diimpikan bersama. Persaudaraan Manusia sudah harus beralih dari sekedar toleransi ke koeksistensi fraternal, semua aktif dengan kesadaran memiliki hak dan kewajiban berkontribusi bagi pengembangan masyarakat dan kebaikan bersama (bonum commune).

Tokoh dan Pemikir Katolik Hans Kueng dalam bukunya Projekt Weltethos (Proyek Etik Global), terbit tahun 1990, sudah menegaskan keyakinan dan kesadarannya bahwa kelanjutan globus dan segala isinya hanya akan dimungkinkan bila umat manusia beragama dapat bertemu dan mengikatkan dirinya secara bersama dalam kesadaran pada titik nilai-nilai universal agama. Nilai-nilai itu sudah ada secara “in heren” dalam semua agama tinggal menyadari, membangkitkan dan menghidupinya serta mewariskannya. “Weltethos, das ist die Vision eines globalen Bewusstseinswandels im Ethos: Menschen-ob weltweit, national oder lokal-sind für ein friedliches Zusammenleben auf gemeinsame elementare ethische Werte, Maßstäbe und Haltungen angewiesen. Solche Werte finden sich in allen großen religiösen und philosophischen Traditionen der Menschheit. Sie müssen nicht neu erfunden, wohl aber den Menschen neu bewusst gemacht, sie müssen gelebt und weitergegeben werden”:

“Etik Global, itulah visi sebuah perubahan pada kesadaran global dalam etik: Manusia, baik secara internasional, nasional, maupun lokal-menghendaki sebuah kehidupan bersama yang damai yang didasarkan pada nilai-nilai, norma-norma, dan sikap-sikap etik dasar. Nilai-nilai itu ditemukan dalam semua agama-agama besar dan tradisi-tradisi filsafat kemanusiaan. Nilai-nilai itu tidak perlu dicari lagi secara baru, yang dibutuhkan adalah membuat manusia menyadarinya secara baru, menghidupinya, dan meneruskannya”. Titik-titik pertemuan itu ada dan hadir di dalam sisi kemanusiaan setiap umat beragama. Selamat Merayakan Persaudaran Manusia.

Paulus Tasik Galle’ (ASN Pusat Kerukunan Umat Beragama/PKUB. Alumnus Fakultas Teologi Katolik Universitas Muenchen, Jerman dan program Doktor SPs UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta).


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua