Nasional

DPRD NTT DUKUNG PENCABUTAN SKB MENAG DAN MENDAGRI

Kupang, 9/03 (Pinmas) - DPRD Nusa Tenggara Timur (NTT) mendukung penuh langkah Aliansi Masyarakat Peduli Kebebasan Beragama (Ampera) di NTT yang menuntut pencabutam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.01/BER/mdn-mag/1969 soal pendirian rumah ibadah. Menurut para aktifis AMPERA yang melakukan demo ke DPRD NTT di Kupang, Rabu, SKB Menag-Mendagri (Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri) itu bertolak belakang dengan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. "Aspirasi AMPERA NTT akan segera kami sampaikan kepada Menag dan Mendagri karena kami (DPRD NTT) juga sudah menyampaikan kepada pemerintah pusat untuk meninjau kembali SKB tersebut sejak 17 Oktober 2005," kata Ketua DPRD NTT, Melkianus Adoe kepada utusan AMPERA NTT yang berunjuk rasa di Kupang, Rabu, menentang SKB tersebut. Dalam pandangan AMPERA NTT, SKB Menag-Mendagri, baik sebelum maupun sesudah direvisi tetap diskrimantif terhadap umat beragama yang minoritas, khususnya umat Kristiani, dan berpotensi besar menimbulkan konflik. "Seharusnya semua umat beragama di Indonesia belajar tentang toleransi kehidupan beragama di NTT, jarak antara masjid dan gereja begitu dekat, tetapi tidak ada persoalan. Dengan adanya SKB dua menteri itu, tidak tertutup kemungkinan suasana kerukunan hidup beragama di NTT bisa jadi rusak," kata Ketua DPRD NTT seakan mengamini pandangan AMPERA NTT. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam telekonferensi dengan Uskup Atambua, Mgr Anton Pain Ratu SVD beberapa waktu lalu malah mengajak semua umat beragama di Indonesia untuk mencontohi kerukunan hidup umat beragama di NTT, kata Adoe mengenang pernyataan Presiden SBY saat itu. Koordinator Umum AMPERA NTT, Moris Moniyong mengatakan, SKB tersebut sebagai landasan hukum bagi umat agama lain untuk menutup gereja di daerah mayoritas muslim serta mempersulit izin perolehan lahan untuk mendirikan gereja. Inti dari SKB kedua menteri itu menegaskan, pendirian rumah ibadah harus seizin kepala daerah setempat dan sebelum mengeluarkan izin, kepala daerah perlu mempertimbangkan pendapat kepala kantor agama, ahli tata kota dan organisasi keagamaan serta ulama atau rohaniawan dan warga setempat. SKB hasil revisi, kata Moris, justeru lebih mempersulit umat beragama untuk melakukan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing, karena menyaratkan minimal 100 orang jemaat atau umat di sekitar lokasi mendirikan rumah ibadah. "SKB ini jelas-jelas melanggar Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 serta pelanggaran HAM serius karena kebebasan beragama merupakan hak azasi seseorang yang paling hakiki dan universal," kata Moris dan menilai, SKB Menteri Agama dan Mendagri itu adalah bagian kecil dari sebuah skenario besar untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. (Ant/Ba)
Tags:

Nasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua