Opini

Dua Tantangan Besar PTKIN

Hayatul Islam (Ketua Forum Humas Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri)

Hayatul Islam (Ketua Forum Humas Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri)

Dunia pendidikan di Indonesia kian dikepung banyak tantangan. Namun, paling tidak ada dua tanggung jawab yang penting untuk segera diseriusi. Pertama, lambatnya pertumbuhan Angka Partisipasi Kasar (APK) atau Gross Enrollment Ratio (GER), terutama di perguruan tinggi (APK-PT). Kedua, amanat untuk memastikan tetap terciptanya generasi toleran di dalam negeri yang penuh keberagaman.

Institusi pendidikan sebagai lini terdepan dalam pembentukan moral generasi harus kembali mengecek, lalu melengkapi formula pengajarannya demi bisa tetap mempersembahkan lulusan yang cerdas, kreatif, dan berwawasan kebangsaan kuat.

Terkait tantangan pertama, data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat, penduduk Indonesia berjumlah 275,36 juta jiwa pada Juni 2022. Namun, dari jumlah tersebut hanya 6,41% yang sudah mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi.

Rinciannya, pendidikan di level D1 dan D2 memiliki proporsi 0,41%, D3 (1,28), S1 (4,39), S2 (0,31), dan hanya 0,02% penduduk yang sudah mengenyam pendidikan jenjang S3.

Meski masih terbilang aman ketimbang APK sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara lainnya, akan tetapi, dalam kurun lima tahun terakhir (2017-2022), kenaikannya begitu tipis, yakni hanya 1,23%.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan APK-PT yang pada 2017 tercatat di angka 29,93% hanya naik menjadi 31,16% pada 2022.

Menggenjot Transformasi
Salah satu entitas yang turut dituntut menjawab kedua tantangan tersebut ialah Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN). Bahkan, jika langsung disambungkan dengan problem moral kebangsaan, PTKIN dengan seabrek sistem kurikulum keagamaannya yang moderat dinilai lebih strategis ketimbang institusi lainnya.

Malah, kesadaran PTKIN terkait pentingnya menjawab tantangan tersebut sudah menguat sejak hampir sewindu lalu. Terutama terkait gagasan untuk memasifkan transformasi kelembagaan.

Pada 2016 lalu, Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Kementerian Agama (Kemenag) merasakan perlunya pengakuan kontribusi PTKIN terhadap kemajuan peradaban masyarakat Indonesia. Caranya, dengan melakukan peningkatan kualitas dan kuantitas lewat kebijakan alih status.

Poin-poin faktor pendorong transformasi kelembagaan PTKIN pun menjadi pokok bahasan yang kian didiskusikan dengan mempertimbangkan berbagai masukan stakeholders. PTKIN merasa perlu untuk terus dikembangkan melalui kelahiran prodi-prodi non-keagamaan sebagai nilai tambah bagi pengembangan potensi sosial kemasyarakatan.

Terbaru, pada pertengahan 2022 lalu, Kemenag kembali menambah alih status lima Institut Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Kelimanya adalah UIN Mahmud Yunus Batusangkar, UIN Sjech M Djamil Djambek Bukittinggi,UIN KH Abdurrahman Wahid Pekalongan, UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan, dan UIN Salatiga.

Salah satu faktor yang menjadi pendorong transformasi itu adalah adanya kebutuhan akses perguruan tinggi keagamaan untuk sekaligus mencakup prodi-prodi umum demi meninggikan APK PT di seluruh daerah hingga di tingkat kabupaten/kota.

Di Provinsi Lampung, misalnya, UIN Raden Intan Lampung menambah kuota menjadi sebanyak 6.000 kursi untuk mahasiswa baru strata-1 (S1) tahun akademik 2023/2024. Rektor UIN Raden Intan Lampung, Prof Wan Jamaluddin berharap penambahan kuota mahasiswa baru itu dapat meningkatkan APK-PT di Lampung yang tahun ini baru mencapai 21,48%.

Matikan Bom Waktu Intoleransi
Sejumlah riset menyatakan lingkungan kampus menjadi sasaran masif propaganda intoleransi. Hal itu bisa dilihat dari laporan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta pada 2020 yang menyebutkan sebayak 24,89% mahasiswa Indonesia terindikasi sikap intoleran.

Kesimpulan senada juga disajikan Alvara Research (2020). Disebutkan bahwa sebesar 23,4% mahasiswa dan pelajar Indonesia mengaku anti-Pancasila dan malah pro-khilafah.

Sikap intoleransi merupakan cikal bakal atau setahap sebelum memijak faham radikalisme dan terorisme. Prof. Thomas Santoso dalam Radikalisme dan Kekerasan Agama (2012) menyebutkan, radikalisme memiliki sejarah yang dimunculkan dengan sikap fanatik, intoleransi, dan ekslusif. Dan inilah tantangan kedua PTKIN, yakni sebagai penjaga moral dalam keberagaman dan kesatuan bangsa.

Kemenag sebagai induk kampus berbasis agama terus menguatkan kampanye moderasi keberagamaan di lingkungan perguruan tinggi. Bahkan, hal itu dilakukan dengan melibatkan banyak pihak, terutama Kemendikbudristek. Selain itu, diterbitkan pula Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 494 Tahun 2022 tentang Tahun Toleransi 2022.

Di mata Kemenag, moderasi beragama merupakan salah satu modal yang perlu dimiliki setiap individu dalam menjalankan peran sosial di tengah masyarakat yang multikultural. Moderasi beragama yang dimaksud itu memiliki empat indikator, yakni komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan penerimaan terhadap tradisi.

Guna lebih menguatkan visi tersebut, Kemenag juga menggelar Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) Ke-21 di kampus UIN Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 20–22 Oktober dan di Bali pada 1-4 November 2022. Konferensi tahunan yang diselenggarakan Ditjen Pendidikan Islam itu mengangkat tema “Future Religion in G-20, Digital Transformation, Knowledge Management and Social Resilience."

Pada forum yang diikuti para akademisi kampus dengan melibatkan sejumlah narasumber kunci dan pembicara undangan dari manca negara latar belakang agama yang berbeda itu, Menag Yaqut Cholil Qoumas menegaskan bahwa AICIS merupakan salah satu bentuk komitmen Kemenag dalam memberikan capacity building kepada para ilmuwan dan dunia intelektual di Indonesia. Dan secara lebih tegas, Menag juga menyebut bahwa forum tersebut merupakan kajian Islam di Indonesia yang terbuka dan moderat.

Di akhir rangkaian acara, diterbitkan rekomendasi forum bernama Bali Document yang memuat sembilan poin dengan fokus tujuan pada kesejahteraan masyarakat dalam beragama, baik untuk masa kini maupun masa depan. Sedangkan pada poin enam disebutkan secara spesifik, "Agama masa depan harus berdiri bersama untuk mencegah segala bentuk intoleransi agama, radikalisme dan ekstremisme, dan mempromosikan moderasi agama dengan mempromosikan pendidikan agama yang tepat, keadilan ekonomi dan keadilan politik.

Inilah puncak tekad Kemenag, yang sudah tentu menjadi ladang amal bakti PTKIN. Kerja-kerja PTKIN hari ini secara langsung sangat menentukan wajah Indonesia di masa depan, khususnya di bidang pendidikan dan kebangsaan.

Hayatul Islam (Ketua Forum Humas Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Kolom Lainnya Lihat Semua