Opini

Ekspresi Beragama di masa Pandemi Corona

Ahmad Zayadi

Ahmad Zayadi

Bagi masyarakat Indonesia, agama merupakan rumah besar dan kokoh yang dihuni sejak lahir, tumbuh berkembang dari masa kanak-kanak, remaja, dewasa, tua hingga meninggal dunia. Semua aktivitas dan tahapan kehidupan tidak pernah lepas dari kesadaran beragama. Terlebih bagi seorang muslim, dalam melakukan aktivitas apapun selalu diperintahkan untuk berdo’a, memohon perlindungan bimbingan dari Tuhan.

Agama selalu mengajarkan agar kita bersabar ketika berada dalam suasana susah, lalu bersyukur sewaktu kesuksesan dan keberhasilan datang. Secara eksplisit, agama juga menganjurkan agar kita berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan.

Jika agama kita ibaratkan sebagai rumah, maka beragama semestinya memberikan kenyamanan dan keamanan bukan hanya kepada penghuninya, tetapi juga kepada tetangganya bahkan ketika juga pemeluk agama menjadi sebuah komunitas ummat beragama. Agama menjadi sumber rahmat, yang menyebarkan pesan kedamaian dan kemaslahatan bagi alam semesta. Memberikan kemaslahatan untuk semua orang adalah inti dari pesan agama.

Ekspresi Beragama saat Pandemi Corona

Banyak ragam orang dalam mengekspresikan atau mengamalkan keberagamaannya. Ada dimensi agama yang sangat personal, tidak terlihat (esoteris), karena berada pada wilayah hati yang tidak dapat diketahui oleh orang lain, namun ada pula ekspresi keberagamaan yang terlihat oleh orang lain (eksoteris). Tentu ekspressi keagamaan yang dilakukan setiap orang, semuanya bertujuan dalam kerangka mencari ridha dari Tuhan, berikhtiar untuk menjadi pribadi yang sempurna. Sekalipun tentu saja kita menyadari untuk bisa sempurna, rasanya tidak mungkin, mengingat setiap orang memiliki keterbatasan dan kelebihan masing-masing. Yang bisa kita lakukan adalah melakukan amaliyah keagamaan sesuai kapasitas dan pilihannya masing-masing sesuai dengan kaidah-kaidah agama.

Dalam konteks kehidupan sosial kemasyarakatan, ekspressi beragama begitu sangat banyak dan beragam. Dari memberi senyum, mendoakan, menolong hingga bersedekah dan berderma semuanya adalah ibadah sosial, yang begitu sangat dicintai Allah.

Ekspresi beragama juga terejawantah pada saat ini, ketika pandemi wabah Covid-19 melanda dunia. Keyakinan kita sebagai ummat beragama, tentu kita percaya bahwa pandemi ini adalah bagian dari takdir yang sudah ditetapkan ketentuannya oleh Allah. Namun, kita tetap dituntut untuk berikhtiar, baik lahiriyah maupun bathiniyah untuk mencegah dan memutus mata rantai penularannya, mencari obatnya dan menangkal penyebabnya. Karenanya, maka beberapa tahapan dalam penanggulangan wabah corona dengan strategi preventif/pencegahan dengan menjaga kebersihan, penggunaan masker, physical and social distancing , strategi promotif/promosi pentingnya perilaku hidup sehat, strategi kuratif/pengobatan dan tindakan medis lainnya, sesungguhnya adalah menjadi bagian dari ekspressi beragama.

Misi utama agama adalah kemaslahatan untuk ummat manusia. Untuk itu, ummat beragama wajib mengikuti semua anjuran ataupun protokol kesehatan yang dibuat pemerintah dalam masa pandemi corona ini. Sebab, anjuran ataupun protokol kesehatan itu dibuat untuk kemaslahatan semua orang.

Tahun ini, ummat Islam harus menyesuaikan amaliyah ibadah selama bulan Ramadan karena pandemi Covid-19. Kita dituntut untuk menunjukkan solidaritasnya dalam memutus mata rantai penyebaran virus yang menjadi penyebab penyakit Covid-19, dan salah satu bentuknya adalah ummat Islam diimbau untuk beribadah di rumah selama bulan Ramadan.

Ibadah di masjid memang lebih mulia, tetapi dengan catatan ketika kondisinya sedang normal. Namun, karena saat ini sedang dalam situasi darurat, maka kita diminta untuk beribadah di rumah saja. Kita berusaha agar ibadah yang kita lakukan di rumah dilandasi dengan kesucian jiwa, ikhlas, dan khusyu. Sehingga kendati dilaksanakan di rumah, ibadah kita tetap memiliki kualitas yang baik. Selama pandemi ini juga, kita diminta untuk tidak melaksanakan mudik ke kampung halaman masing-masing.

Refleksi dan Introspeksi

Pandemi Covid-19 yang sedang melanda dunia saai ini harus kita ambil hikmahnya, untuk meneguhkan komunikasi vertikal kita dengan Tuhan (hablum minallah), dengan menjadikan rumah sebagai episentrum ibadah. Kita juga perlu memperkuat hubungan antar sesama (hablum minannas) dengan menjadi solusi atas masalah yang terjadi saat ini, yakni turut berkontribusi untuk memutus mata rantai penularan sekaligus meredakan wabah covid 19 ini.

Selama pandemi ini, kita juga harus banyak melakukan refleksi dan instrospeksi. Kita sering menyaksikan munculnya berbagai bentuk perilaku dan sikap a-sosial yang kurang sepatutnya di tengah masyarakat yang dipicu oleh masalah-masalah yang kadang-kadang sangat sepele. Latar belakang dan dorongan bawah sadar dari perilaku dan sikap a-sosial tersebut bermacam-macam, bisa karena disebabkan informasi yang salah, bisa karena ekonomi, idiologi, bahkan bisa karena memahami agamanya yang tidak sesuai kaidah yang semestinya. Dari aneka bentuk perilaku dan sikap a-sosial yang muncul, barangkali tidak ada yang setragis dan seironis perilaku dan sikap a-sosial atas nama agama. Kenapa, karena agama sejak semula diturunkan ke bumi untuk menciptakan perdamaian, mendorong persaudaraan, dan menebarkan kasih sayang di antara ummat manusia.

Dalam kajian fiqh, salah satu kewajiban ummat Islam terhadap ummat manusia adalah saling menjaga, tanpa membedakan agama dan etniknya, termasuk pada saat terjadi pandemi Covid-19 ini. Kita punya kewajiban untuk menyelamatkan mereka dari lokasi musibah dan penderitaan dan jangan dikucilkan apalagi dibuat stigma negative terhadap korban pandemi Covid-19. Saling tolong-menolong di antara sesama manusia adalah wujud dari ekspresi beragama sekaligus wujud dari rasa kasih sayang.

Bahkan, sekiranya ketika sudah menjadi mayat sekalipun, tetap menjadi fardu kifayah bagi ummat Islam untuk mengurus jenazah tersebut. Berdosa massal semua orang dalam satu wilayah tertentu (desa) yang menyaksikan ada mayat tanpa menunaikan kewajiban atas mayat tersebut. Juga menjadi berdosa ketika kemudian menolak mayat yang akan dikuburkan hanya karena didasari ketakutan dan kekhawatiran yang tidak beralasan. Karena mayat itu sesungguhnya sudah milik Allah (al-mayyit haq Allah).

Seiiring dengan sikap kasih sayang, adalah ekspresi beragama melalui kegiatan berderma, berdonasi, memiliki sifat dermawan. Menjadi dermawan tidak hanya berarti memiliki kemampuan untuk memberi atau menolong orang lain, tetapi lebih dari itu ialah mampu menahan derita demi kesenangan atau kebahagiaan orang lain. Kalau sekedar memberi, apalagi kalau kebetulan kita memiliki harta berlebih, itu bukanlah sesuatu yang luar biasa. Tetapi kesanggupan untuk memberi pada saat kita sendiri kekurangan, itulah kedermawanan yang paling hakiki. Mengutamakan orang lain yang lebih membutuhkan merupakan peringkat tertinggi. Zakat mal, infaq dan shodaqoh yang biasa dibagikan pada masa Ramadhan bisa dikeluarkan ataupun dibayarkan untuk membantu saudara-saudara kita yang terdampak karena pandemi Covid-19 baik secara langsung maupun tidak.

Kedermawanan akan mampu mendekatkan diri seseorang dengan Tuhannya. Di sekitar kita, saat pandemi corona, banyak yang memerlukan perhatian dan bantuan. Itu ujian bagi kita. Rasulullah menyatakan “Orang yang dermawan dekat dengan allah, dekat dengan surga, dekat dengan sesama manusia, dan jauh dari neraka. Sedangkan orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari surga, jauh dari manusia, dan dekat dengan neraka”.

Ekspresi beragama lainnya, adalah introspeksi atas kekurangan, kekhilafan dan dosa yang sudah kita lakukan. Kita bertaubat, untuk kembali ke jalan yang benar sebagaimana yang telah diberi tuntunannya oleh Allah. Jika seseorang datang dan bertaubat dengan taubatan nashuha, maka tidak ada mudharatnya bagi Allah untuk mengampuninya. Sebesar apapun dosa seseorang, kasih sayang Tuhan jauh lebih besar. Tidak ada dosa besar jika yang datang adalah kemahapengasihan Tuhan, dan sebaliknya, tidak tidak ada dosa kecil jika yang datang adalah kemaha-adilan Tuhan. Sebesar apapun kesalahan dan dosa seseorang jika ia bertaubat sepenuh hati maka ia akan dapat pengampunan dari Tuhan. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. (QS, an-Nisa;110). Wallahu A'lam

Ahmad Zayadi (Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur)

Opini Lainnya Lihat Semua

Keislaman Lainnya Lihat Semua

Ruchman Basori (Inspektur Wilayah II, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI)
Puasa Birokrat