Khonghucu

Filosofi Karinding dan Ajaran Khonghucu

Dewi Laras Bumi, (Mahasiswi STIKIN)

Dewi Laras Bumi, (Mahasiswi STIKIN)

Nabi bersabda, “Bercitalah menempuh jalan suci (dao-too), Berpangkallah pada Kebajikan, Bersandarlah pada Cinta Kasih, dan Bersukalah di dalam Kesenian.” (Kitab Si Shu bagian Sabda Suci Lun Yu VIII:6).

“Hidup adalah seni, cari iramanya dan menarilah!” Kalimat sederhana yang terlintas dalam pikiran saat sedang asyik menulis.

Hidup adalah seni yang banyak memberi warna nada dan perspektif indah pada sudut-sudutnya. Seni adalah sebuah kejujuran yang timbul dan diwujudkan menjadi sebuah karya oleh penciptanya. Seni tercipta dari cara batin mengolah rasa. Mari menikmati seni dalam hidup dan terus berjalan. Bila lelah datang, istirahatlah sejenak dan jangan lupa bernafas tenang. “Bila Nabi mendengar orang menyanyikan lagu yang baik, niscaya minta diulanginya, dan kemudian ikut menyanyi,” tertuang pada Sabda Suci Jilid VII:32.

Ada salah satu alat musik tradisional yang mempunyai makna dan filosofi yang menarik untuk dikupas. Namanya Karinding.

Karinding adalah alat musik tradisional dari Jawa Barat. Karinding terbuat dari bambu atau pelepah aren yang dibentuk sedemikian rupa menjadi satu kesatuan alat musik pukul dan tiup. Pada zaman dahulu, alat musik ini dimainkan sebagai alat komunikasi untuk menginformasikan kepada para warga ketika sesuatu penting terjadi. Misalnya, ketika terjadi gerhana bulan atau gerhana matahari, sebagai tanda bila ada warga yang sedang dalam suka (mengadakan hajat/pesta), ketika mengalami duka (jika ada warga yang meninggal dunia), sebagai alat musik dalam upacara ritual adat istiadat di Tatar Sunda sendiri.

Karinding juga dimainkan oleh para petani pada zamannya. Digunakan sebagai pengusir hama atau serangga yang mengganggu sawah atau ladang palawija mereka karena suara resonansinya akan mengganggu hama atau serangga.

Beberapa literatur mengatakan, keberadaan alat musik ini sudah ada sejak awal masa sejarah Sunda. Sejak ditemukannya sumber-sumber tulisan pada masa Kerajaan Tarumanegara. Karinding sudah lama eksis di beberapa daerah di Parahyangan, sebut saja daerah Pasir Mukti yang berada di Tasikmalaya, Malangbong yang berada di daerah Garut, Cikalong, Cianjur, Sumedang dan Pajampangan yang berada di Sukabumi juga Banten.

Alat musik Karinding memiliki makna kata, “Hariring nu ngadalingding.” Artinya nyanyian yang menentramkan. Terkandung makna baik dan mendalam bagi yang memainkannya.

Karinding mempunyai filosofi yang dalam. Bagian itu dianalogikan ke dalam ”yakin, sadar, dan sabar.”
1. Pada bagian pancepengan adalah “yakin.” Yakin bahwa setiap orang bisa memainkannya
2. Pada bagian cecet ucing adalah”sadar.” Bahwasanya suara yang keluar adalah suara yang keluar bukan suara diri namun suara alam semesta.
3. Pada bagian ujung (paneunggeul) “sabar” dalam memainkannya.

Bagi masyarakat Sunda, Karinding bukan sekedar alat musik karawitan semata. Lebih dari itu, Karinding adalah sebuah ajaran dari leluhur atau nenek moyang yang harus dijaga dan dilestarikan. Ada nasihat yang terkandung di dalamnya. Nasihat agar kita bersikap sederhana, hidup rukun tentram dalam kedamaian dan hidup berkasih sayang.

Kesederhanaan dalam kehidupan masyarakat Sunda sangat tercermin dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Masyarakatnya yang ramah membawa kehangatan bagi setiap orang yang bertemu. Kehidupannya yang menyatu dengan alam membuat keselarasan dan keseimbangan pada lingkungannya. Bumi, air, tanah adalah pemberian Tuhan yang wajib dilestarikan sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat dan warisan kepada anak cucunya.

Filosofi pada alat musik Karinding ini linier dengan ajaran Nabi Khongcu bahwa hidup seharusnya dijalani dengan penuh keyakinan, kesadaran, kesabaran dan kasih sayang. Kita beraktivitas dengan yakin, gembira (dengan sabar dan rasa maklum), dapat menyesuaikan diri terhadap oranglain maupun lingkungan dan kondisi yang ada. Sehingga tercipta kehidupan yang damai, tentram, membahagiakan, dan kita merasa puas.

Nabi Kongzi bersabda, “Jauhkah cinta kasih? Kalau Aku inginkan cinta kasih, cinta kasih itu sudah besertaku.” (Kitab Si Shu bagian Ajaran Besar Da Xue-Thai Hak IX.3 tertulis pada Jilid VII:30).

Perjalanan hidup manusia tidak akan selalu mulus adanya. Dalam perjalanannya kita pasti akan menemui tantangan dan kesulitan. Namun, jika kita meyakini dengan iman, dengan sepenuh kesadaran dan kesabaran dalam melewatinya, niscaya kita akan semakin bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.

Sebagai penutup, mari kita simak sebuah perumpamaan tatar Sunda, “Ka cai jadi saleuwi, ka darat jadi salebak.” Petuah agar kita bisa saling menghargai antar sesama manusia dan makhluk hidup lain di seluruh penjuru alam kehidupan serta bentuk rasa syukur akan kebesaran Tuhan yang Maha Kuasa. Demikianlah sebaik-baiknya.

Dewi Laras Bumi, (Mahasiswi STIKIN)


Fotografer: Istimewa

Khonghucu Lainnya Lihat Semua

Js Jenny Sudjiono (Rohaniwan Khonghucu)
Berkah di Jalan Tian

Mimbar Agama Lainnya Lihat Semua

Khutbah Jumat
Keagungan Ramadan