Opini

Guru Agama Tiang Kerukunan Nusantara

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sangatlah majemuk. Memiliki wilayah yang sangat luas, beragam suku, bahasa, agama, budaya dan adat istiadat. Keberagaman tersebut tetap mengokohkan kesatuan dan kerukunan umat antar agama. Karena perbedaan itu bukan untuk berpecah, tapi sebagai kekayaan khazanah di negara kita.

Maka, sudah seharusnya keberagaman tersebut harus bisa kita rawat untuk dijadikan satu kekuatan, kebersamaan dan persatuan. Sehingga kita menjadi lebih rukun, damai dan kuat dari negara-negara lainnya.

Tugas dan tanggung jawab menjaga dan merawat kerukunan bukan hanya milik pemerintah, semua memiliki saham untuk berperan merawat dan mewujudkan kerukunan umat beragama di Indonesia. Mulai dari pemerintah, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), tokoh agama, tokoh masyarakat, guru, penegak hukum dan masyarakat sendiri juga memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing untuk mewujudkan kerukunan.

Kementerian Agama melalui Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) terus berikhtiar untuk merawat kerukunan umat beragama di nusantara. Berupaya mendeteksi dan mencegah hal-hal yang dapat mengusik kerukunan, melaksanakan sejumlah program dari Papua sampai ke Aceh.

Selain itu, juga dilakukan dialog dengan tokoh agama, tokoh adat, FKUB, hingga menggelar dialog dengan para guru untuk membahas peningkatan peran guru pendidikan agama lintas agama terkait kerukunan umat beragama.

"Guru memiliki peran strategis dalam upaya menjaga dan merawat kerukunan beragama di Indonesia. Guru agama merupakan tiang kerukunan sekaligus aktor yang menjadi ujung tombak moderasi beragama yang telah menjadi program nasional," demikian disampaikan Kepala Pusat PKUB Kemenag RI, Dr. Nifasri saat membuka kegiatan tersebut.

Peran guru sangat dibutuhkan untuk mensosialisasikan pesan moderasi agama kepada siswa didik. Lewat pembelajaran di sekolah, guru agama dituntut untuk melahirkan siswa-siswa yang memahami ajaran agama secara konprehensif, dan paham ajaran agamanya secara menyeluruh. Prinsip ajaran agama seperti kebaikan, akhlak, budi pekerti, kejujuran dan daya saing diharapakan menjadi materi pendidikan agama yang disampaikan para guru.

Di sekolah/madrasah harus diajarkan mengenai toleransi umat beragama, saling menghormati, menghargai kesetaraan dan bekerja sama dalam masyarakat tanpa memandang suku, agama, etnis dan derajat seseorang.

Syukur Alhamdulillah, saya mendapatkan undangan untuk mengikuti kegiatan ini dari PKUB Kemenag RI. Banyak ilmu dan pengalaman, bisa berdiskusi dan sharing dengan para guru agama lintas agama di Papua Barat dan beberapa provinsi lainnya beberapa waktu lalu.

Mereka bercerita banyak pengalaman saat mengajar mata pelajaran agama di sekolah masing-masing. Ada banyak murid yang harus dihadapi dengan latar status, ekonomi, budaya dan agama yang berbeda, namun tidak muncul sikap diskriminatif.

Mereka mengajar toleransi umat beragama, saling menghormati, menghargai kesetaraan dan bekerja sama dalam masyarakat tanpa memandang suku, agama, etnis, dan derajat seseorang.

Seperti kisah Sugianto, Kepala SMP dan MTs Muhammadiyah Jayapura, Papua. Ia menceritakan madrasah yang dipimpinnya menerima murid dengan latar agama yang berbeda. Ada yang Islam dan ada juga yang Kristen.

Kadang kala mata pelajaran bercirikan Islam dianggap berat oleh yang beragama Kristen. Peserta didik kebanyakan keluarga besarnya beragama Kristen, sekolah kemudian berkomunikasi dengan keluarga peserta didik. Contohnya memasuki lokasi sekolah harus berjilbab, tetapi keluarga yang non-muslim tidak dipaksakan. Demikian juga dalam hal pelaksanaan ibadah seperti salat dll.

Pengakuan lainnya disampaikan Ansia F. Nanlohy salah seorang pengawas sekolah di Kota Sorong. Ia menceritakan pengalamannya saat mengajar di YPK 2 yang dikenal sebagai sekolah Bombay.

Tidak hanya yang beragama Kristen yang bersekolah di YPK tetapi juga yang beragama Islam, mereka mengikuti ketentuan yayasan bahwa mereka harus mengikut pendidikan agama Kristen sesuai nuansa sekolah setempat. Hal utama yang dilakukan adalah pembinaan secara keseluruhan tanpa membedakan.

Meskipun mata pelajaran agama Kristen tetapi dalam aplikasi anak-anak diarahkan sesuai agama yang dianutnya. Pengalaman mengajar itu membekas sehingga sampai saat ini meskipun mereka sudah lulus tetapi ajaran baik akan tetap diingat.

Kemudian ada juga kisah menarik lainnya yang dialami Dina Kurnia Restanti. Dina seorang guru Agama Kristen di Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Gunungkidul. Ada 174 siswa yang belajar di sekolah tersebut, yang terdiri dari 165 orang beragama Islam, lima orang beragama Kristen, tiga orang Katolik dan satu orang Buddha.

Pengalaman menarik yang pernah dialaminya adalah, Dina juga pernah mengajarkan pelajaran Agama Islam, misalnya tentang rukun Islam, cara wudhu, sifat-sifat nabi Muhammad dan Bahasa Arab yang sederhana. Bahan ajar tersebut telah terlebih di konsultasi dahulu kepada guru yang bersangkutan.

Kebetulan saat kuliah S1, Dina mendapatkan mata kuliah tentang 6 agama yang ada di Indonesia. Selain itu, ia juga mengaku pernah mengajar murid agama Katolik dan Budha atas persetujuan dari orang tua murid.

Sekarang, saatnya guru agama harus kuat, harus bersemangat, harus percaya diri, menunjukkan bahwa guru agama adalah tiang kerukunan, tanpa guru agama masyarakat kita sulit untuk rukun, tiang tiang itu harus di ikat kuat karena dari tiang itulah pendidikan agama tersampaikan, menjadikan manusia ingat dengan Tuhan, patuh kepada Tuhan, berbuat baik kepada sesama serta patuh kepada pemimpinnya.

Intinya, para guru sebagai tiang dan garda terdepan harus mampu mendidik siswa-siswinya untuk bertoleransi, saling menghargai dan tidak ekstrim. Mereka dituntut mampu mengajarkan moderasi beragama dan tidak menyalahkan perbedaan.

Pendidikan Agama memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk karakter siswa, di samping menumbuhkan keterampilan ilmu pengetahuan.

Beberapa hari di tanah Papua, bisa Berdialog dengan tokoh agama, guru agama lintas agama dan akademisi tentang peningkatan peran guru pendidikan agama lintas agama dalam menjaga dan merawat kerukunan umat beragama di nusantara.

Dialog ini menghasilkan rekomendasi, suatu rumusan atau solusi terkait dengan moderasi dan kerukunan umat beragama. Diantaranya adalah peningkatan peran para guru dan juga membentuk forum Guru Agama Lintas Agama sebagai wadah komunikasi dalam menjalankan tugas merawat kerukunan di lembaga pendidikan.

Kesimpulannya, seperti pesan Dr Nifasri agar kerukunan umat beragama dapat terus terjaga, maka seluruh umat beragama di Indonesia harus menjalankan indikator kerukunan yakni, saling menghormati, menghargai kesetaraan, dan bisa bekerja sama.[]

Muhammad Nasril, Lc. MA

(Peserta Dialog Kerukunan Guru Agama Lintas Agama di Papua Barat)

Tags:

Opini Lainnya Lihat Semua

Keislaman Lainnya Lihat Semua

Ruchman Basori (Inspektur Wilayah II, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI)
Puasa Birokrat