Hindu

Implentasi Ajaran Tri Hita Karana Dalam Kehidupan

I Made Budiastika (Rohaniwan Hindu)

I Made Budiastika (Rohaniwan Hindu)

OM avighnam astu namo sidham. OM anno badrah kratvo yantu visvatah. OM Svastyastu,

Hadirin dan umat sedharma yang berbahagia. Puja astungkara kiranya patut kita haturkan ke Padma suci Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Kuasa, karena hanya perkenan Beliau sajalah kita bisa bertemu, bercengkrama, dan sebagainya dalam keadaan sehat selamat dan berbahagia.

Mimbar Hindu kali ini mengulas tema tentang ”Tri Hita Karana”. Tema ini rasanya sangat baik untuk bisa kita pahami, hayati atau kita renungkan di masa-masa yang penuh dengan situasi dan kondisi terkini. Dalam masa yang penuh keterbatasan akibat adanya pandemi Covid-19 ini, semua orang dipaksa bersedia melakukan adaptasi. Semua harus dibatasi gerak, waktu, tempat atau ruang dan banyak hal-hal lainnya.

Tri Hita Karana merupakan konsep atau ajaran dalam agama Hindu yang selalu menitikberatkan bagaimana antara sesama bisa hidup berdampingan, saling bertegur sapa satu dengan yang lain, tidak ada riak-riak kebencian, penuh toleransi dan penuh rasa damai. Tri Hita Karana bisa diartikan secara leksikal yang berarti tiga penyebab kesejahteraan. Istilah ini terambil dari kata tri yang artinya tiga, hita yang artinya keseimbangan atau sejahtera, dan karana yang artinya penyebab. Ketiga hal tersebut adalah Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan.

Kalo kita lihat lebih jauh, maka unsur- unsur Tri Hita Karana itu meliputi : Sanghyang Jagatkarana (Tuhan Yang Maha Esa), bhuana (alam), dan manusia. Unsur- unsur Tri Hita Karana itu terdapat dalam kitab suci Bhagavad Gita (III.10), berbunyi sebagai berikut: “Sahayajnah prajah sristva pura vaca prajapatih anena prasavisya dhvan esa vo'stivistah kamadhuk.” (Pada jaman dahulu, Prajapati menciptakan manusia dengan yajna dan bersabda “dengan ini engkau akan berkembang dan akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu).

Penerapan Tri Hita Karana
Penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan umat Hindu selama ini adalah sebagai berikut: hubungan antara manusia dengan Tuhannya yang diwujudkan dengan Dewa yadnya, hubungan manusia dengan alam lingkungannya yang diwujudkan dengan Bhuta yadnya, sedangkan hubungan antara manusia dengan sesamanya diwujudkan dengan Pitra, Resi, Manusia Yadnya. Padahal, hubungan ini jauh daripada itu. Misal Parahyangan bisa saja diwujudkan dengan PHBS di Pura, yaitu menjaga kebersihan, keindahan dan kesuucian di Pura juga merupakan wujud hubungan bhakti kita kepada Hyang Widhi.

Awalnya konsep Tri Hita Karana muncul berkaitan dengan keberadaan desa adat di Bali. Hal ini disebabkan oleh terwujudnya suatu desa adat di Bali, bukan saja merupakan kepentingan hidup tapi adalah kepentingan bersama dalam masyarakat, dalam hal kepercayaan memuja Tuhan. Dengan kata lain, bahwa ciri khas desa adat di Bali harus mempunyai unsur wilayah, orang-orang atau masyarakat yang menempati suatu wilayah serta adanya tempat suci untuk memuja Tuhan.
Pertama, Parahyangan. Parahyangan berasal dari kata para (tertinggi) dan hyang (Beliau) yang artinya Tuhan. Parahyangan berarti ketuhanan atau hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan dalam rangka memuja Ida Sanghyang Widhi Wasa. Banyak di kalangan kita mengartikan bahwa parahyangan berarti tempat suci (Pura) untuk memuja Tuhan.
Manusia menyembah atau memuja kepada Tuhan disebabkan oleh sifat-sifat satvika (kebajikan) yang dimilkinya. Rasa bhakti dan sujud pada Tuhan timbul dalam hati manusia oleh karena Sanghyang Widhi yang maha ada, maka kuasa, maha pengasih yang melimpahkan kasih dan kebijaksanaan kepada ciptaan-Nya. Kita Sebagai umat yang beragama yang yang selalu memohon perlindunganNya, sangat berhutang budi, baik lahir dan batin kepadaNya. Hutang budhi tersebut tak akan terbayarkan dengan apapun. Karena hal tersebut, maka satu-satunya cara yang dapat kita lakukan kepadaNya hanyalah dengan jalan menghaturkan bhakti dan sradha yang setinggi-tingginya.

Adapun contoh implementasi rasa syukur kita kepada Tuhan adalah dengan jalan :

1. Dengan sradha dan bhakti menghaturkan yadnya dan persembahyangan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Melakukan Punia (persembahan) tanpa ada rasa pamrih, melakukan tirtta yatra (perjalanan suci) ke tempat-tempat yang bisa mengantarkan pada nilai-nilai kesuciannya.
2. Peduli dengan sesama terutama di saat mendenganr ada saudara (sesama) tertimpa musibah. Sebagai orang yang yang senantiasa bisa menjadi suri tauladan, menjadi suluh bagi orang lain maka setidaknya harus bisa menjadi suluh bagi diri kita terlebih dahulu. Rajin bicara kebajikan dengan disertai tindakan yang nyata.
3. Alam sekitar atau lingkungan kita merupakan cermin kita yang paling dekat wujud peduli terhadap alam. Lingkungan tampak asri, bersih, tertata rapi artinya kita sudah bisa mewujudkan salah tri hita karana ini. Dalam Bhagawadgita dikatakan bahwa “Satatam kirtayatom mam. Yatantas ca drsha vrtatah. Namasyantas ca mam bhatya. Ni tyayuktah upsate”(IX.14)
(Berbuatlah selalu hanya untuk memuji-Ku dan lakukanlah tugas pengabdian itu dengan tiada putus-putusnya. Engkau yang memujaku dengan tiada henti-hentinya itu serta dengan kebaktian yanbg kekal adalah dekat dengan-Ku)

Di samping itu rasa bhakti kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa itu timbul dalam hati manusia berupa sembah, puji-pujian, doa penyerahan diri, rasa rendah hati dan rasa berkorban untuk kebajikan. Kita sebagai umat manusia yang beragama dan bersusila harus menjunjung dan memenuhi kewajiban, antara lain cinta kepada kebenaran, kejujuran, keikhlasan, dan keadilan.

Dengan demikian jelaslah begaimana hubungan antara manusia dengan Sanghyang Widi. Hubungan ini harus dipupuk dan ditingkatkan terus kearah yang lebih tinggi dan lebih suci lahir bhatin. Sesuai dengan swadharmaning umat yang religius, yakni untuk dapat mencapai moksartam jagadhita ya ca iti dharma, yakni kebahagiaan hidup dunia (sekala niskala) yang dilandasi oleh Dharma (kebenaran).

Kedua, Pawongan. Pawonan berasal dari kata wong (wwang dalam bahasa Jawa/Kawi) yang artinya orang. Pawongan adalah perihal yang berkaitan dengan orang dalam satu kehidupan masyarakat. Dalam arti yang sempit, pawongan adalah kelompok manusia yang bermasyarakat yang tinggal dalam satu wilayah.

Sebagai mahluk sosial, manusia tidak dapat hidup menyendiri. Mereka memerlukan bantuan dan kerja sama dengan orang lain. Karena itu hubungan antara sesamanya harus selalu baik dan harmoni. Hubungan antar manusia harus diatur dengan dasar saling asah, saling asih dan saling asuh, yang artinya saling menghargai, saling mengasihi dan saling membimbing. Hubungan antar keluarga di rumah harus harmoni. Hubungan dengan masyarakat lainnya juga harus harmoni. Hubungan baik ini akan menciptakan keamanan dan kedamaian lahir batin di masyarakat. Masyarakat yang aman dan damai akan menciptakan negara yang tenteram dan sejahtera.

Pada mulanya Tuhan yang lebih dulu menciptakan bhuwana atau alam, maka munculah palemahan, setelah itu barulah Beliau menciptakan manusia beserta mahluk hidup lainya. Setelah manusia berkembang dan menghimpun diri dalam kehidupan bersama dan mendiami suatu wilayah tertentu maka muncullah masyarakat yang disebut dengan pawongan.

Selain menyelaraskan hubungan atman dengan paramatman atau hubungan manusia dengan Tuhan, kita sebagai makhluk sosial juga harus membina hubungan dengan sesama manusia dan makhluk lainnya. Hubungan manusia dengan makhluk lainnya hendaknya dapat menciptakan suasana rukun, harmonis, dan damai serta saling bantu membantu satu sama lain dengan hati yang penuh dengan cinta kasih. Yang mana kasih merupakan dasar kebajikan. Kasih muncul dari dalam kalbu yang merupakan alam paramatman, yaitu ananda (kebahagiaan).

Dalam Manu Smrti II,138 disebut: “satyam bruyat priyam bruyam na bruyam satyam, Priyam canartam, bruyat esa dharmah sanatanah” (Berkatalah yang sewajarnya, jangan mengucapkan kata kata yang kasar. Walaupun kata- kata itu benar, jangan pula mengucapkan kata-kata lemah lembut namun dusta. Inilah hukum susila yang abadi (sanatana dharma).

Perkataan adalah akar dasar dari perilaku, karena itu dalam menjalin hubungan, semua dipengaruhi oleh perkatan atau ucapan kita. Kemudian akan menjadi perilaku yang baik yang menjadi dasar mutlak dalam kehidupan sebagai manusia, karena dengan berbuat susila manusia dapat meningkatkan taraf hidupnya baik di alam sekala maupun di alam niskala.

Ketiga, Palemahan. Palemahan berasal dari kata lemah (Bahasa Jawa) yang artinya tanah. Palemahan juga berarti bhuwana atau alam. Dalam artian yang sempit palemahan berarti wilayah suatu pemukiman atau tempat tinggal. Manusia hidup dalam suatu lingkungan tertentu. Manusia memperoleh bahan keperluan hidup dari lingkungannya. Manusia dengan demikian sangat tergantung kepada lingkungannya. Oleh karena itu, manusia harus selalu memperhatikan situasi dan kondisi lingkungannya.

Lingkungan harus selalu dijaga dan dipelihara serta tidak dirusak. Lingkungan harus selalu bersih dan rapi. Lingkungan tidak boleh dikotori atau dirusak. Hutan tidak boleh ditebang semuanya, binatang-binatang tidak boleh diburu seenaknya, karena dapat menganggu keseimbangan alam. Lingkungan justu harus dijaga kerapiannya, keserasiannya dan kelestariannya. Lingkungan yang ditata dengan rapi dan bersih akan menciptakan keindahan. Keindahan lingkungan dapat menimbulkan rasa tenang dan tenteram dalam diri manusia.

Manusia hidup dimuka bumi ini memerlukan ketentraman, kesejukan, ketenangan dan kebahagiaan lahir dan bhatin, untuk mencapai tujuan tersebut manusia tidak bisa hidup tanpa bhuwana agung (alam semesta). Manusia hidup di alam dan dari hasil alam. Hal inilah yang melandasi terjadinya hubungan harmonis antara manusia dengan alam semesta ini.

Demikianlah penjelasan mengenai pembagian dari tri hita karana tersebut. Arti penting ajaran Tri Hita Karana ini merupakan ajaran agama Hindu yang universal. Ajaran Tri Hita Karana mengarahkan manusia untuk selalu mengharmoniskan hubungan manusia dengan sang pencipta, manusia dengan alam semesta, dan hubungan manusia dengan alam semesta atau lingkunganya.

Arah dan sasaran dari tri hita karana adalah mencapai mokrastham jagadhita ya ca iti dharma, yakni mencapai kebahagiaan lahir dan bhatin sehingga dengan keharmonisan maka tercapailah kebahagiaan yang merupakan tujuan akhir dari agama Hindu yakni bersatunya atman dengan paramatman.

Implementasi ajaran Tri Hita Karana di masa pandemi
Berbicara kebahagiaan atau mengenai Tri Hita Karana tidaklah bisa dipisahkan antara pawongan, palemahan, dan parahyangan. Sebab antara satu dan yang lainya saling terikat yang mana implementasi ketiga ajaran tersebut menentukan kebahagiaan manusia dan alam semesta ini. Sebab dalam Tri Hita Karana tidak saja hubungan antara manusia saja, melainkan hubungan dengan alam dan Tuhan pula diajarkan.

Implementasi Tri Hita Karana sesungguhnya dapat diterapkan di mana dan kapan saja. Idealnya, dalam setiap aspek kehidupan, manusia dapat menerapkan dan mempraktikkan Tri Hita Karana ini yang sangat sarat dengan ajaran etika. Seperti di masa pandemi ini, orang tidak bisa dan tidak boleh semaunya sendiri melakukan sesuatu. Seperti mengadakan keramaian, mengadakan kegiatan yang menimbulkan mobilitas manusia yang banyak.

Mengapa demikian? Ada persoalan yang sedang mengintai kita yang bisa menyebakan sakit bahkan kematin yang tidak bisa dielakan. Manusia satu dengan yang lain harus patuh pada aturan pemerintah. Sebab, pemerintah sangat peduli dengan kesehatan dan keselamatan rakyatnya. Kita tidak boleh bersentuhan, harus selalu menjaga jarak, harus menutup hidung dengan masker. Semua ini kalau tidak disadari oleh semua orang, maka bisa terjadi kekacauan. Nah di sini penting hubungan manusia yang harmonis agar terjadi keselarasan dan kebahagiaan.

Demikianlah sedikit ulasan yang dapat saya sampaikan, semoga dapat diterapkan dalam kehidupan kita.

OM Ksama sampurna ya namah. Svaha OM Shanti, Shanti, shanti OM.

I Made Budiastika (Rohaniwan Hindu)


Fotografer: Istimewa

Hindu Lainnya Lihat Semua

I Gusti Agung Istri Purwati, S.Sos, M.Fil.H (Penyuluh Agama Hindu Kankemenag Badung, Bali)
Mengatasi Stres

Mimbar Agama Lainnya Lihat Semua