Opini

Kartini, Santriwati Kesayangan Mbah Sholeh Darat 

Dr. M. Rikza Chamami, MSi (Dosen UIN Walisongo Semarang)

Dr. M. Rikza Chamami, MSi (Dosen UIN Walisongo Semarang)

Satu keping sejarah Kartini yang belum banyak terungkap adalah hubungan dia dengan Mbah Sholeh Darat, ulama yang mempengaruhi kehidupan spiritual Kartini.

Raden Ajeng Kartini yang lahir di Mayong Jepara 21 April 1879 M bertepatan dengan 28 Rabi’ul Akhir 1297 H memang selalu menarik untuk dikaji. Ia adalah perempuan Jawa yang seakan memang sudah dewasa. Padahal dilihat dari sejarah hidupnya, ia hanyalah anak muda yang ketika menikah berusia 24 tahun dan meninggal pada usia 25 tahun (17 September 1904).

Bisa dibayangkan, dalam usianya yang 25 tahun itu ia telah menjadi inspirasi dunia. Lantas, bagaimana Kartini mampu menerobos pintu sejarah yang demikian ketat, sehingga dirinya mampu menjadi tauladan bangsa?

Jawabnya adalah bahwa Kartini merupakan sosok perempuan yang peduli pendidikan. Hari-harinya dimanfaatkan untuk belajar, membaca, beribadah, dan berdiplomasi dengan gaya korespondensi. Itu dilakukan karena tradisi Jawa kala itu tidak membolehkan perempuan keluar jauh-jauh dari rumah. Dan Kartini membuktikan bahwa tembok Kadipaten tidak menghalanginya untuk tetap belajar.

Salah satu guru Kartini adalah KH Muhammad Sholeh bin Umar (Mbah Sholeh Darat). KH Imam Taufiq, pengampu pengajian rutin Kitab Mbah Sholeh Darat di Masjid Agung Kauman Johar Semarang, menyebutkan bahwa Kartini punya hubungan guru-murid dengan Mbah Sholeh Darat. Hal senada disampaikan Amirul Ulum, santri Mbah Maimun Zubair yang menulis buku “Kartini Nyantri”. Dalam buku itu dibuatkan bab khusus berjudul: “Islam, Agama Kartini” yang juga membahas tentang “Hadiah Tafsir Pegon untuk Kartini”. Gus Amir juga menjelaskan secara kisah pertemuan dan dialog kyai-santriwati itu.

Imron Rosyadi dalam buku “RA Kartini, Biografi Singkat 1879-1904” juga mengungkap kisah yang sama. Bahkan dalam dua buku Biografi yang ditulis khusus oleh panitia untuk memperingati Haul Mbah Sholeh Darat juga menyebutkan pertemuan dan hubungan Kartini dengan Mbah Sholeh Darat. Buku biografi Mbah Sholeh Darat yang pertama ditulis Abdullah Salim pada 1982 dan disempunakan kembali edisi kedua pada 16 Juli 1983 M/5 Syawwal 1403 H. Buku ini menjelaskan pertemuan Kartini dengan Mbah Sholeh Darat.

Biografi Mbah Sholeh Darat juga ditulis Gus Agus Taufiq (menyamarkan namanya dengan Abu Malikus Salih Dzahir) dan Gus Mohammad Ichwan. Buku ini juga mengungkap persinggungan Mbah Sholeh dengan Kartini. Mastuki dan M. Ishom Elseha dalam bukunya “Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren” juga menjelaskan figur dialektika Kartini dengan Mbah Sholeh Darat sebagai Kyai akhir abad 19 yang menulis dengan huruf pegon. Kisah pertemuan Kartini dan Mbah Sholeh ini ada juga ditulis oleh Wiwid Prasetyo dalam bentuk novel bertajuk “The Chronicle of Kartini: Gadis Ningrat Pengubah Wajah Wanita Jawa dan Pencetus Sekolah Wanita Pertama”.

Jauh sebelum itu semua, surat-surat Kartini sudah terpublikasikan rapi dalam “Door Duisternis tot Licht” atau “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Ada dua buku berjudul “Brieven aan Mevrouw R.M. Abendanon-Mandri en Haar Echtgenoot Met Andere Documenten” yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Surat-Surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya”.

Dalam dua surat Kartini kepada Tuan EC Abendanon tertanggal 15 Agustus 1902 dan 17 Agustus 1902 secara eksplisit menyebut gurunya adalah seorang tua. Bahkan Kartini menyebut bahwa orang Jawa menulis naskah dengan menggunakan huruf Arab (dalam tradisi pesantren disebut huruf Pegon atau huruf Jawi).

“Saya sungguh gembira melihat perkembangan kesenian bangsa bumiputera… Bahagia mendapatkan segala sesuatu yang indah. Cahaya Tuhan ada dalam diri manusia, dalam apa saja, bahkan juga sesuatu yang tampaknya paling buruk… Saya berharap dengan pendidikan dapat membantu pembentukan watak, dan paling utama adalah cita-cita… Saya hendak berbicara dengan kamu tentang bangsa kami, dan bukan tentang pendidikan. Tentang hal itu nanti bukan? Di sini ada seorang orang tua, tempat saya meminta bunga yang berkembang di dalam hati. Sudah banyak yang diberikan kepada saya, sangatlah banyak lagi bunga simpanannya. Dan saya ingin lagi, senantiasa ingin lagi… Saya tidak mau lagi belajar membaca Al-Qur’an, belajar menghafal amsal dalam bahasa asing, yang tidak saya ketahui artinya. Dan boleh jadi, guru-guru saya, laki-laki dan perempuan juga tidak mengerti. Beritahu saya artinya dan saya akan mau belajar semua. Saya berdosa, kitab yang suci mulia itu terlalu suci untuk diterangkan artinya kepada kami”.

Surat yang sangat panjang itulah kata hati Kartini dalam mengungkapkan betapa dirinya mendapatkan ilmu dari orang tua dalam hal isi kandungan Al-Qur’an. Bahkan kalimat setelah itu ia menegaskan: “Tahun berganti tahun, kami namanya orang Muslim, karena kami turunan orang Muslim. Dan Kami namanya saja Muslim, lebih daripada itu tidak. Tuhan, Allah, bagi kami hanya semata-mata kata seruan. Sepatah kata, bunyi tanpa arti dan rasa. Demikian kami hidup terus, sampai tiba hari yang membawa perubahan dalam kehidupan jiwa kami. Kami telah menemukan Dia, yang tanpa disadari telah bertahun-tahun dirindukan oleh jiwa kami.”

Dalam surat lainnya kepada Tuan EC Abendanon tertanggal 17 Agustus 1902, Kartini menulis: “Selamat pagi, melalui surat ini Adik datang lagi untuk bercakap-cakap… Kami merasa senangnya, seorang tua yang telah menyerahkan kepada kami naskah-naskah lama Jawa yang kebanyakan menggunakan huruf Arab. Karena itu kini kami ingin belajar lagi membaca dan menulis huruf Arab. Sampai saat ini buku-buku Jawa itu semakin sulit sekali diperoleh lantaran ditulis dengan tangan. Hanya beberapa buah saja yang dicetak. Kami sekarang sedang membaca puisi bagus, pelajaran arif dalam bahasa yang indah. Saya ingin sekali kamu mengerti bahasa kami… Patuh karena takut! Bilakah masanya datang firman Allah yang disebut cinta itu, meresap ke dalam hati manusia yang berjuta-juta itu?… Demikianlah saya, anak yang baru berumur 12 tahun hanya seorang diri berhadapan dengan kekuasaan musuh… Tuhan itu besar, Tuhan itu kuasa!”

Dua surat itu sudah cukup menggambarkan siapa sosok Kartini. Kartini adalah seorang muslimah. Bahkan, KH Asrori Al Ishaqi menyebutkan bahwa Kartini adalah waliyullah (kekasih Allah). Sebagai putri keturunan raja, Kartini menguatkan dirinya dengan mengaji dan belajar agama. Dan yang menginspirasi isi agama Islam dalam Al-Qur’an bagi Kartini adalah Mbah Sholeh Darat.

Pertemuan Kartini dengan Mbah Sholeh Darat bukan hanya dalam satu kali pengajian saja, sebagaimana disebutkan beberapa penulis. Ternyata Kartini selalu hadir dalam pengajian-pengajian Mbah Sholeh Darat di Demak, Kudus, dan Jepara. Tentang kapan hal itu terjadi, ada perbedaan pendapat. KH Musa Machfudh sebagaimana ditulis Abdullah Salim menyebut bahwa pertemuan Mbah Sholeh dengan Kartini pada tahun 1901 (dua tahun sebelum pernikahan Kartini). Sementara Amirul Ulum meyakini pertemuan itu sebelum 19 Februari 1892. Sebab, Kartini mulai menjalani pingitan (penjara keluarga) sejak awal 1892 (ada yang menyebutkan akhir tahun 1891).

Terlepas dari perbedaan waktu itu, Kartini dikenal memiliki semangat belajar yang tinggi. Karena semangat Kartini dalam mempelajari isi Al-Qur’an, Mbah Sholeh selalu memberikan pretilan (tulisan tangan dengan satu dua lembar kertas) kepada Kartini. Dari situlah Kartini mulai belajar huruf Arab Pegon.

Bagi Kartini, belajar Arab bukanlah sulit. Sebab ia juga dikenal sebagai wanita Jawa yang menguasai bahasa Belanda, Perancis, dan Inggris. Kartini pun menjadi santri kalong kesayangan Mbah Sholeh Darat. Kartini sangat kritis, maka tidak aneh jika di usia 12 tahun ia sendiri mengatakan sudah berani melawan penjajah.

Pada awal belajar Al-Qur’an, Kartini mengaku hampa. Sebab, ia hanya belajar mengeja dan membaca, sementara isi kandungan Al-Qur’an tidak dapat diserap. Ia mengibaratkan bahwa belajar Al-Qur’an dengan model demikian akan menjadikan orang Islam tidak mengetahui mutiara hikmah yang terkandung di dalamnya. Ketika meminta gurunya mengartikan Al-Qur’an, justeru Kartini dimarahi.

Kartini pun gelisah. Ia berontak karena merasa belum sempurna Islamnya jika belum tahu isi Al-Qur’an. Bahasa asing seperti Belanda, Prancis, dan Inggris yang berhasil ia kuasai mendorong dirinya untuk memahami bahasa agamanya, yakni Arab. Namun, Kartini tidak menemukan guru bahasa Arab atau guru tafsir.

Kegelisahan itu kemudian dia tulis dalam suratnya kepada Stella EH Zeehandelaar tertanggal 6 November 1899: “Al-Qur’an terlalu suci untuk diterjemahkan dalam bahasa apapun juga. Di sini orang juga tidak tahu Bahasa Arab. Di sini, orang diajari membaca Al-Qur’an, tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Saya menganggap itu pekerjaan gila; mengajari orang membaca tanpa mengajarkan makna yang dibacanya”.

Begitu dahsyatnya Kartini melakukan kritik kuat terhadap pembelajaran agama di akhir abad 19 itu. Dan itu menunjukkan kuatnya minat Kartini untuk memahami isi Al-Qur’an. Dan saat itu, belum ada Tafsir Al-Qur’an yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Melayu atau Jawa. Wajar, jika Kartini menjadi penasaran!

Dalam lanjutan suratnya, Kartini menulis: “Sama halnya seperti kamu mengajar saya membaca buku bahasa Inggris yang harus hapal seluruhnya, tanpa kamu terangkan maknanya kepada saya. Kalau saya mau mengenal dan memahami agama saya, maka saya harus pergi ke negeri Arab untuk mempelajari bahasanya di sana. Walaupun tidak saleh, kan boleh juga jadi orang baik hati. Bukankah demikian Stella?”

Kalimat itu menyiratkan ketidakberdayaan Kartini akan bahasa Arab. Sampai-sampai dia ungkapkan keinginannya ke negeri Arab untuk belajar, dan itu tentu tidak mungkin. Bahkan, harapannya ke Belanda yang ia kuasai bahasanya saja gagal dan digantikan Agus Salim. Maka ia menanti kehadiran orang Jawa yang pernah di negeri Arab agar bisa menjelaskan isi Al-Qur’an.

Siapakah dia? Mbah Sholeh Darat lah yang mampu membuka wawasan Islam Kartini. Al-Qur’an yang demikian suci dibuka maknanya sehingga Kartini memahaminya. Kepada Mbah Sholeh Darat, Kartini belajar Tafsir Faidlur Rahman.

Tafsir Faidlur Rahman fi Tarjamati Tafsir Kalam Malikid-Dayyan jilid satu ditulis selama sebelas bulan oleh Mbah Sholeh Darat (20 Rajab 1309 H/19 Februari 1892 sampai 19 Jumadal Ula 1310 H/9 Desember 1892 M). Jilid pertama ini berjumlah 503 halaman dengan bahasan surat al-Fatihah dan surat al-Baqarah. Kitab tafsir itu selanjutnya dicetak oleh percetakan HM Amin Singapura pada 27 Rabiul Akhir 1311 H/7 November 1893.

Dr. M. Rikza Chamami, MSi (Dosen UIN Walisongo Semarang)

tulisan ini dikutip dari bersatoe.com dengan penyesuian seperlunya, atas izin penulis.


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua