Opini

Kenapa Harus Moderasi Beragama?

Oman Fathurahman (Ketua Pokja Moderasi Beragama Kementerian Agama RI)

Oman Fathurahman (Ketua Pokja Moderasi Beragama Kementerian Agama RI)

Sebagai bangsa yang masyarakatnya amat majemuk, kita sering menyaksikan adanya gesekan sosial akibat perbedaan cara pandang masalah keagamaan. Ini tak ayal dapat mengganggu suasana rukun dan damai yang kita idam-idamkan bersama.

Di suatu waktu, misalnya, ada umat beragama yang membenturkan pandangan keagamaannya dengan ritual budaya lokal seperti sedekah laut, festival kebudayaan, atau ritual budaya lainnya. Di waktu yang lain kita disibukkan dengan penolakan pembangunan rumah ibadah di suatu daerah, meski syarat dan ketentuannya sudah tidak bermasalah. Karena umat mayoritas di daerah itu tidak menghendaki, masyarakat pun jadi berkelahi.

Di waktu lainnya, kita disibukkan dengan sikap eksklusif menolak pemimpin urusan publik, gegara beda agama. Ini terjadi mulai dari tingkat pemilihan gubernur, bupati, walikota, camat, RW, RT, hingga Ketua OSIS. Kalau pemilihan presiden sih, belum ada presedennya.

Selain itu, ada lagi orang yang atas nama agama ingin mengganti ideologi negara, yang sudah menjadi kesepakatan bersama bangsa kita. Yang juga mengkhawatirkan, ada pula seruan atas nama jihad agama untuk mengkafirkan sesama, bahkan boleh membunuh, menghunus pedang, memenggal kepala, dan menghalalkan darahnya.

Ini semua fakta yang kita hadapi, karena keragaman paham umat beragama di Indonesia memang amat tak terperi. Nyaris tak mungkin alias mustahil kita bisa menyatukan cara pandang keagamaan umat beragama di Indonesia. Sementara, keragaman klaim kebenaran atas tafsir agama, bisa memunculkan gesekan dan konflik.

Lalu, bagaimana menyikapinya? Membungkamnya tidak mungkin, karena itu bagian dari kebebasan ekspresi beragama. Tapi, membiarkan tanpa kendali keragaman pandangan yang ekstrem, juga bisa membahayakan persatuan dan kesatuan, apalagi ihwal agama adalah hal yang teramat sensitif untuk disepelekan.

Nah, Kementerian Agama sudah menawarkan sebuah solusi beragama jalan tengah, yang disebut “moderasi beragama”. Jangan buru-buru menilai bahwa beragama jalan tengah berarti beragama setengah-setengah, liberal, dan tidak kaafah. Sabar dulu yah. Saya akan menjelaskannya pelan-pelan.

Kita kupas terlebih dulu secara bahasa. Moderat adalah sebuah kata sifat, turunan dari kata moderation, yang berarti tidak berlebih-lebihan atau sedang. Kata moderasi sendiri berasal dari bahasa Latin moderâtio, yang berarti ke-sedang-an, tidak kelebihan, dan tidak kekurangan, alias seimbang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata moderasi didefinisikan sebagai pengurangan kekerasan, atau penghindaran keekstreman.

Maka, ketika kata moderasi disandingkan dengan kata beragama, menjadi moderasi beragama, istilah tersebut berarti merujuk pada sikap mengurangi kekerasan, atau menghindari keesktreman dalam cara pandang, sikap, dan praktik beragama.

Dalam bahasa Arab, padanan moderasi adalah wasath atau wasathiyah, yang berarti tengah-tengah. Kata ini mengandung makna i’tidal (adil) dan tawazun (berimbang). Orang yang menerapkan prinsip wasathiyah bisa disebut waasith. Kata waasith bahkan sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan tiga pengertian, yaitu: pertama wasit berarti penengah, atau perantara (misalnya dalam perdagangan, bisnis); makna kedua adalah: wasit berarti pelerai (pemisah, pendamai) antara pihak-pihak yang berselisih; dan makna ketiga adalah: wasit berarti pemimpin di pertandingan (seperti wasit sepakbola, badminton, atau olah raga lainnya). Wasit tentu harus adil, kan.

Adapun lawan kata moderasi adalah tatharruf, yang dalam bahasa Inggris mengandung makna extreme, radical, dan excessive, bisa juga dalam pengertian berlebihan. Dalam bahasa Arab, setidaknya ada dua kata yang maknanya sama dengan kata extreme, yaitu al-guluww, dan tasyaddud. Dalam konteks beragama, pengertian “berlebihan” ini dapat diterapkan untuk menyebut orang yang bersikap ekstrem, yaitu melampaui batas dan ketentuan syariat agama.

Jadi, tidak ekstrem, adalah salah satu kata kunci paling penting dalam moderasi beragama, karena ekstremitas dalam berbagai bentuknya, diyakini bertentangan dengan esensi ajaran agama dan cenderung merusak tatanan kehidupan bersama, baik dalam kehidupan beragama maupun bernegara.

Karenanya, kalau mau dirumuskan, moderasi beragama itu adalah cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama, dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama - yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum, berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa.

Pertanyaannya, memangnya moderasi beragama penting untuk Indonesia?

Ya sangat penting, karena Indonesia adalah negara yang masyarakatnya sangat religius dan sekaligus majemuk. Meskipun bukan negara berdasar agama tertentu, masyarakat kita sangat lekat dengan kehidupan beragama. Nyaris tidak ada satu pun urusan sehari-hari yang tidak berkaitan dengan agama. Itu mengapa, kemerdekaan beragama juga dijamin oleh konstitusi kita. Nah, tugas kita adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara kebebasan beragama itu dengan komitmen kebangsaan untuk menumbuhkan cinta tanah air.

Mungkin ada yang bertanya, memangnya cara pandang, sikap, dan praktik beragama seperti apa yang dianggap ekstrem atau melebihi batas?

Lihat saja, ada tiga ukuran yang bisa menjadi patokan. Pertama, dianggap ekstrem kalau atas nama agama, seseorang melanggar nilai luhur dan harkat mulia kemanusiaan, karena agama kan diturunkan untuk memuliakan manusia. Kedua, dianggap ekstrem kalau atas nama agama, seseorang melanggar kesepakatan bersama yang dimaksudkan untuk kemaslahatan; dan ketiga, dianggap ekstrem kalau atas nama agama, seseorang kemudian melanggar hukum. Jadi, orang yang atas nama menjalankan ajaran agamanya tapi melanggar ketiga batasan ini, bisa disebut ekstrem dan melebihi batas.

Logikanya, kemuliaan agama itu tidak bisa ditegakkan dengan cara merendahkan harkat kemanusiaan. Nilai moral agama juga tidak bisa diwujudkan melalui cara yang bertentangan dengan tujuan kemaslahatan umum. Begitu pula esensi agama tidak akan bisa diajarkan dengan cara melanggar ketentuan-ketentuan hukum yang sudah disepakati bersama sebagai panduan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Masyarakat perlu tahu bahwa moderasi beragama adalah cara kita, umat beragama, menjaga Indonesia. Kita tentu tidak mau mengalami nasib seperti saudara-saudara kita di negara yang kehidupan masyarakatnya carut marut, dan bahkan negaranya terancam bubar, akibat konflik sosial-politik berlatar belakang perbedaan tafsir agama. Kita harus belajar dari pengalaman yang ada.

Keragaman, di bidang apapun, memang pasti menimbulkan adanya perbedaan, apalagi yang terkait dengan agama. Dan, harus diakui bahwa perbedaan itu, apalagi yang tajam dan ekstrem, di mana pun selalu memunculkan potensi konflik. Kalau tidak dikelola dengan baik, potensi konflik seperti ini bisa melahirkan sikap ekstrem dalam membela tafsir klaim kebenaran versi masing-masing kelompok yang berbeda.

Padahal dalam hal tafsir agama, yang Maha Mengetahui Kebenaran sejati, kan hanya Tuhan belaka. Seringkali perbedaan yang diperebutkan itu sesungguhnya sebatas kebenaran tafsir agama yang dihasilkan oleh manusia, bukan kebenaran esensial yang merupakan pokok agama itu sendiri yang dikehendaki oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

Konflik yang berlatar belakang perbedaan klaim kebenaran tafsir agama, tentu daya rusaknya akan lebih dahsyat lagi, karena agama itu amat berkaitan dengan relung emosi terdalam dan terjauh di dalam jiwa setiap manusia.

Itulah mengapa moderasi beragama penting hadir di Indonesia. Ia bisa menjadi solusi untuk menciptakan kerukunan, harmoni sosial, sekaligus menjaga kebebasan dalam menjalankan kehidupan beragama, menghargai keragaman tafsir dan perbedaan pandangan, serta tidak terjebak pada ekstremisme, intoleransi, dan kekerasan atas nama agama.

Ingat! Yang disebut moderat itu bukan orang yang dangkal keimanannya, bukan orang yang menganggap sepele tuntunan agama, dan bukan pula orang yang ekstrem liberal. Orang yang moderat adalah mereka yang saleh, berpegang teguh pada nilai moral dan esensi ajaran agama, serta memiliki sikap cinta tanah air, toleran, anti kekerasan, dan ramah terhadap keragaman budaya lokal.

Semangat moderasi beragama adalah untuk mencari titik temu dua kutub ekstrem dalam beragama. Di satu sisi, kan ada pemeluk agama yang ekstrem meyakini mutlak kebenaran satu tafsir teks agama, lalu menganggap sesat mereka yang memiliki tafsir yang berbeda dengannya. Di sisi lain, ada juga umat beragama yang esktrem mengabaikan kesucian agama, atau mengorbankan kepercayaan dasar ajaran agamanya atas nama toleransi kepada pemeluk agama lain. Kedua sikap ekstrem ini perlu dimoderasi.

Dan, harus diingat, moderasi beragama adalah tanggungjawab bersama. Moderasi beragama tidak mungkin berhasil menciptakan kerukunan kalau hanya dilakukan oleh perorangan atau institusi tertentu saja seperti Kementerian Agama. Kita perlu bekerjasama dan saling bergandengan tangan, mulai dari masyarakat luas, pegiat pendidikan, ormas keagamaan, media, para politisi, dunia birokrasi, dan aparatur sipil negara.

Alhasil, moderasi beragama itu sesungguhnya adalah jati diri kita sendiri, jati diri bangsa Indonesia. Kita adalah negeri yang sangat agamis, umat beragama kita amat santun, toleran, dan terbiasa bergaul dengan berbagai latar keragaman etnis, suku, dan budaya. Toleransi ini pekerjaan rumah (PR) bersama kita, karena kalau intoleransi dan ekstremisme dibiarkan tumbuh berkembang, cepat atau lambat keduanya akan merusak sendi-sendi ke-Indonesia-an kita. Itulah mengapa moderasi beragama menjadi sangat penting dijadikan sebagai cara pandang, sikap, dan perilaku, dalam beragama dan bernegara.

Jadi, moderasi beragama merupakan perekat antara semangat beragama dengan komitmen berbangsa dan bernegara. Yakinlah bahwa bagi kita, bagi bangsa Indonesia, beragama pada hakikatnya adalah ber Indonesia dan ber Indonesia itu pada hakikatnya adalah beragama.

Moderasi beragama harus kita jadikan sebagai sarana mewujudkan kemaslahatan kehidupan beragama dan berbangsa yang rukun, harmonis, damai, toleran, serta taat konstitusi, sehingga kita bisa benar-benar menggapai cita-cita bersama menuju Indonesia maju.

Untuk itu, melalui moderasi beragama, mari kita jaga persatuan dan kesatuan negara Republik Indonesia ini, yang telah diperjuangkan dengan penuh pengorbanan, termasuk oleh tokoh dan umat beragama, para pahlawan kita.

Terima kasih.

Prof. Dr. Oman Fathurahman, M.Hum (Ketua Kelompok Kerja Moderasi Beragama Kementerian Agama RI)

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua